Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Menjaga Pernikahan di Zaman Liberal Itu Berpahala


Topswara.com -- Hidup di zaman liberal itu rasanya seperti tinggal di pasar godaan setan yang buka 24 jam.

Nilai hidup bukan lagi iman, tetapi materi. Bukan cuma janda, anak-anak baru lulus SMA pun ikut lomba cari bapak-bapak mapan. Targetnya satu, yaitu keamanan finansial. Urusan dosa belakangan. Yang penting, orang tua di desa tidak tahu, dan kiriman bulanan lancar.

Zaman ini memang aneh. Maksiat diberi nama “kebebasan”. Perselingkuhan disebut “hak personal”. Nafsu dibungkus istilah healing. Maka jangan heran kalau menjaga iman bagi bapak-bapak mapan ekonomi hari ini itu berat.

Bayangin aja Sob, saat di rumah, rutinitas dengan wanita yang sama dengan obrolan yang berulang. Sedangkan di luar rumah, godaan hawa nafsu berjejer rapi, manis, penuh perhatian, asal ada imbalannya materi.

Di titik inilah setan bekerja paling rajin. Ia tidak datang dengan wajah seram, tetapi dengan kalimat halus: “cuma hiburan.” “ganti suasana.” “yang penting nggak ketahuan istri sah.”

Padahal Allah sudah mengingatkan dengan sangat tegas, “Dan janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32)

Perhatikan ayat ini, Sob.
Bukan hanya “jangan berzina”, tetapi jangan mendekati. Artinya, semua pintu yang mengarah ke sana wajib ditutup. Chat genit, perhatian berlebihan, candaan tak perlu, semuanya bagian dari “mendekati”.

Bagi yang kuat iman, aman. Semua bisikan dikembalikan pada syariat. Islam tidak pura-pura buta terhadap naluri manusia. Tetapi Islam mengatur, bukan membebaskan tanpa batas.

Kalau dorongan nafsu besar tapi belum mampu poligami, Islam tidak menyuruh cari simpanan. Solusinya jelas, lampiaskan nafsu kepada istriku dirumah,
puasa, menundukkan pandangan, memperbanyak aktivitas, menguatkan ikatan dengan keluarga.

Rasulullah SAW bersabda, “Wahai para pemuda, barang siapa mampu menikah maka menikahlah. Dan barang siapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu benteng baginya” (HR. Bukhari dan Muslim). 

Bukan malah menjadikan zina versi modern sebagai pelarian. Masalah besar hari ini adalah tujuan pernikahan telah dipelintir. Menikah bukan lagi dipandang sebagai ibadah, tapi kontrak kenyamanan.
Kalau sudah bosan, gugat.

Kalau ada yang lebih menyenangkan, pindah. Inilah yang melahirkan fenomena grey divorce. Ujungnya tragis. Keluarga hancur, anak-anak terluka, harta terkuras, dan tak sedikit yang akhirnya menua sendirian.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah menegaskan bahwa kerusakan keluarga bukan semata kesalahan individu, tetapi buah dari sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. 

Beliau menjelaskan bahwa pernikahan dalam Islam bukan sekadar hubungan biologis, melainkan institusi penjaga nasab, kehormatan, dan ketenangan jiwa, yang hanya bisa kokoh jika masyarakat diatur dengan hukum Allah, bukan hawa nafsu.

Ketika masyarakat liberal memuja kebebasan tanpa batas, maka kesetiaan dianggap beban. Padahal dalam Islam, kesetiaan adalah kemuliaan.

Allah berfirman, “Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu agar kamu mendapatkan ketenangan, dan Dia menjadikan di antara kalian rasa cinta dan kasih sayang” (QS. Ar-Rum: 21). 

Perhatikan, sakinah (ketenangan), bukan sensasi. Rahmah (kasih sayang), bukan sekadar hasrat.

Maka benar, menjaga pernikahan di zaman liberal itu berpahala besar. Setia ketika peluang terbuka lebar, itu jihad. Bertahan saat dunia memprovokasi untuk berpaling, itu bukti iman.

Menikah bukan tentang mencari yang baru, tetapi merawat yang lama karena Allah. Setia mungkin terlihat kuno di mata dunia, tetapi ia sangat mahal di sisi Allah SWT. []


Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar