Topswara.com -- Ada longsor yang tidak lahir dari hujan, tetapi dari kerakusan yang digalakkan sistem. Ada tanah yang tak lagi kokoh, karena akarnya dicabut dari rahmat dan digali demi laba.
Di Banjarsari, Kalimantan Selatan, jalan negara runtuh bukan semata karena alam lelah, tapi karena negara sendiri menambang amanahnya melalui tangan-tangan kapitalis. (Narasinews, 7/11/ 2025).
WALHI Kalsel menyebut tragedi di Desa Banjarsari, Kecamatan Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu, sebagai alarm kegagalan negara dalam mengendalikan pertambangan izin yang tumpang-tindih, aktivitas di luar konsesi, pengawasan yang koma, dan penegakan hukum yang tertidur.
Negara hadir bukan sebagai penjaga amanah bumi, melainkan fasilitator investasi. Regulasi dibuat, tetapi pengawasan dimatikan. Rakyat jadi korban, alam jadi tumbal
(Tribunnews Banjarmasin, 7/11/ 2025).
Negara memberi izin tambang seperti orang membagi kue tetapi lupa menyiapkan piring dan sendoknya. Pengawasan lemah, penegakan hukum tumpul, dan ketika tanah longsor menelan jalan semua berpura-pura kaget.
Padahal di balik dokumen izin, ada rakus yang dilindungi, ada konsesi yang tumpang tindih, ada aktivitas luar izin yang dibiarkan. (Media Indonesia, 9/11/2025).
Di Tapin dan daerah lain di Kalsel, bukaan tambang di luar konsesi seluas puluhan hektar ditemukan oleh WALHI. Artinya: hukum berlaku hanya bagi yang lemah, sementara yang kuat punya “peta izin cadangan” di dalam saku pejabatnya.
Negara seharusnya menjaga bumi dan manusia, tapi kini justru mengurus investor dan perpanjangan izin. Ketika gunung dikupas, hutan dibakar, sungai dikotori, lahan pertanian terkikis apa lagi makna pembangunan? (walhi.or.id, 13/11/2022).
Inilah wajah peradaban kapitalistik yang bertumpu pada mentalitas perampasan. Alam diperlakukan sebagai “aset”, bukan amanah. Rakyat dianggap penghalang investasi, bukan pemilik sejati sumber daya.
Maka longsor bukan kejadian alamiah, tapi buah dari keserakahan yang dilegalkan. Dan tragisnya: setiap kali bencana datang, narasinya selalu sama “karena curah hujan tinggi.”
Padahal hujan memang dari langit, tapi kerentanan diciptakan oleh tangan manusia. Longsor bukan muncul dari awan, tetapi dari tambang yang dibiarkan menggali bumi tanpa kontrol. Negara yang semestinya menahan kerakusan malah membuka pintunya lebar-lebar atas nama pertumbuhan ekonomi.
Islam memiliki pandangan berbeda. Dalam sistem Islam, tambang dan sumber daya alam adalah milik umum, bukan milik korporasi atau individu. Rasulullah SAW bersabda: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Hadis ini menegaskan bahwa sumber daya vital seperti tambang, air, dan energi harus dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat. Negara Islam tidak berhak menjual izin atau menyerahkan konsesi kepada swasta.
Khalifah hanya menjadi pengelola amanah; hasilnya dikembalikan kepada umat, bukan segelintir elite. Dalam sistem khilafah, tambang bukan ladang bisnis, tapi sumber keberkahan. Negara tidak menambang rakyatnya, tetapi menumbuhkan kesejahteraan.
Allah pun memperingatkan, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar-Rum: 41).
Ayat ini bukan sekadar peringatan ekologis, tapi seruan ideologis: kerusakan bumi adalah tanda kerusakan sistem manusia. Selama hukum Allah diganti oleh hukum pasar, selama amanah diganti oleh izin tambang, maka longsor, banjir, dan bencana bukan lagi musibah melainkan konsekuensi dari sistem yang rusak.
Tragedi Banjarsari bukan sekadar bencana alam, tapi cermin dari negara yang kehilangan ruh amanah. Ia memperlihatkan bagaimana kapitalisme menggali bumi hingga menelan negeri.
Jalan keluarnya bukan sekadar audit atau perbaikan teknis, tetapi perubahan sistemik: kembali pada hukum Allah, di mana negara berperan sebagai pengurus rakyat dan penjaga bumi, bukan kaki tangan investor.
Selama sistem yang mengatur bumi ini masih kapitalistik, bumi akan terus menangis. Tetapi ketika hukum Allah ditegakkan, kepemimpinan yang amanah berdiri, dan sumber daya dikelola untuk rakyat maka bumi akan berhenti berduka. Longsor tak lagi menjadi berita, melainkan sejarah masa lalu yang tidak akan terulang. “Jika amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancuran.”
(HR. Bukhari). []
Oleh: Zahida Ar-Rosyida
(Aktivis Muslimah Banua)

0 Komentar