Topswara.com -- Hari Santri Nasional yang diperingati tiap tanggal 22 Oktober telah berlalu. Tapi spirit sebagai agen perubahan Islam akan selalu menyala di dada penghuni pondok pesantren ini.
Momen Hari Santri tahun ini dimeriahkan dengan berbagai kegiatan seperti upacara, kirab santri bahkan berbagai festival sinema.
Antusias yang ditunjukkan masyarakat dalam memperingatinya menunjukkan betapa besar perhatian masyarakat terhadap eksistensi santri dan pesantren di tengah kehidupan mereka.
Hal ini selaras dengan pesan Presiden Prabowo Subianto dalam sambutannya pada Hari Santri. Presiden Prabowo Subianto menyampaikan bahwa santri adalah “penjaga moral bangsa dan pelopor kemajuan.” Ia juga mengingatkan semangat Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang dipelopori KH Hasyim Asy’ari sebagai tonggak perjuangan kemerdekaan.
Tema peringatan tahun ini pun sarat makna: “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia.” (ksp.go.id, diakses 3 November 2025).
Tentu saja ini menjadi kabar baik bagi bangsa kita. Di tengah tatanan sistem kemasyarakatan yang semakin jauh dari Islam, ternyata sambutan masyarakat untuk memeriahkan hari santri begitu positif.
Tetapi, di tengah euforia tersebut, rasanya kita juga harus merenung. Apakah hari santri benar-benar merefleksikan peran strategis santri sebagai agen perubahan atau hanya sekedar seremonial saja?
Benarkah pondok pesantren saat ini telah berhasil melahirkan sosok-sosok generasi emas yang tidak hanya paham dan dapat membaca kitab akan tetapi mampu menjadi rujukan umat dalam mengurai berbagai problematika di tengah masyarakat?
Sayangnya, saat ini santri dipuji atas peran heroiknya di masa lalu, tetapi tidak diarahkan untuk mengemban misi besar yang sejalan dengan semangat jihad melawan penjajahan ideologis, ekonomi, dan budaya di negeri kita.
Peran santri saat ini dibatasi pada dua hal saja yaitu sebagai agen moderasi beragama dan sebagai agen pemberdayaan ekonomi. Semangat mempelajari Islam untuk menjadikannya jawaban dalam setiap problematika umat tak lagi di gaungkan. Peran santri telah dikebiri dan dibatasi geraknya hanya pada hal-hal yang bersifat ritual saja.
Potensi yang ada pada santri begitu besar dan istimewa, yaitu menjadi pribadi yang fakih fiddin dan menerapkannya dalam dalam berkehidupan secara sempurna. Akan tetapi, tidak jarang pembelajaran yang dilakukan dalam pondok pesantren tidak menyentuh aspek politik sama sekali.
Pengkajian santri lebih banyak berputar pada hal-hal yang sifatnya teoritis dan dogmatis saja. Padahal, pada sejarahnya santri pernah terlibat secara langsung dalam merubah arah perpolitikan di negara kita.
Melalui jaringan pesantren dan kepemimpinan ulama, santri menjadi garda terdepan dalam perjuangan kemerdekaan.
Maka seharusnya semangat jihad ini tetap hidup sebagai nafas kehidupan para santri dan mampu membentuk pribadi yang berani menegakkan kebenaran serta menjaga umat dari segala bentuk penjajahan, kemudian menyuarakan tegaknya syariat Islam sebagai solusi peradaban.
Keterlibatan santri secara politik, ekonomi dan sosial juga perlu dikuatkan. Santri harus memahami bahwa syariat tidak hanya berhenti dalam kitab-kitab yang mereka pelajari di pondok saja, akan tetapi harus diterapkan secara sempurna dalam kehidupan dunia.
Santri juga harus mampu menjaga umat dari segala bentuk penyesatan pemikiran di tengah-tengah umat, kemudian tampil secara aktif memberikan kesadaran di tengah umat dengan ideologi Islam secara kaffah.
Peran santri dan para ulama saat ini benar-benar menjadi kebutuhan yang harus segera diwujudkan. Umat membutuhkan sosok ideologis untuk mengawal mereka dalam berkehidupan agar tetap berada dalam rel yang benar.
Santri sejati bukanlah mereka yang hanya berdiri tegak di upacara dan kirab, tetapi mereka yang teguh berdiri di medan perjuangan menegakkan kebenaran. Saatnya Hari Santri tidak hanya diperingati, tetapi dihidupkan dengan semangat jihad, ilmu, dan keteguhan iman.
Oleh: Maziyahtul Hikmah, S.Si.
(Aktivis Muslimah)

0 Komentar