Topswara.com -- Sepekan terakhir, Indonesia diguncang kabar yang cukup miris. Seorang santri nekat membakar gedung asrama pondok pesantren di Kuta Baro, Aceh Besar.
Santri tersebut membakar pesantren karena kesal mendapatkan perundungan dari teman-temannya. Hanya selang sepekan, seorang siswa kelas XII di Jakarta Utara nekat meledakan sekolahnya karena menjadi korban perundungan. (WartakotaLive.com, 11/11/2025).
Sebelumnya ada kasus dua anak yang bunuh diri di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Begitupun di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, di mana dua siswa sekolah menengah pertama, ditemukan tewas tergantung di sekolah mereka pada Oktober 2025.
Fenomena ini menambah panjang daftar kasus rapuhnya kesehatan mental remaja. Lebih mengkhawatirkan lagi, Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono mengungkapkan bahwa lebih dari dua juta anak Indonesia mengalami gangguan mental berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan jiwa gratis terhadap 20 juta jiwa. (Kompas.com, 30/10/2025).
Peningkatan masalah kesehatan mental remaja menunjukkan kerapuhan kepribadian. Banyak remaja kehilangan kemampuan untuk menghadapi tekanan, gagal menyalurkan emosi secara sehat, dan tidak memiliki arah hidup yang kuat.
Kerapuhan ini merupakan buah dari lemahnya dasar akidah yang ditanamkan sejak dini. Pendidikan yang sekuler, yang hanya berorientasi pada pencapaian akademik dan fisik, telah menyingkirkan aspek pembentukan ruhiyah dan moralitas yang kokoh.
Agama hanya diajarkan sebatas teori, tanpa dihidupkan dalam keseharian anak. Akibatnya, nilai-nilai spiritual tidak membentuk karakter mereka, dan jiwa mereka menjadi rapuh ketika menghadapi beban hidup.
Islam memandang pendidikan bukan sekadar sarana mentransfer pengetahuan, tetapi sebagai proses membentuk kepribadian Islam yang utuh yang menyatukan pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) berdasarkan akidah Islam.
Pendidikan Islam menjadikan keimanan sebagai fondasi utama yang menguatkan jiwa anak dalam menghadapi ujian hidup.
Dalam Islam, pendidikan anak sebelum balig diarahkan untuk mematangkan kepribadiannya agar siap menjadi pribadi aqil baligh yang memiliki kemampuan berpikir benar dan berperilaku sesuai tuntunan syariat.
Anak dididik bukan hanya agar cerdas, tetapi juga agar tegar, sabar, dan memiliki kesadaran bahwa hidup adalah ujian dari Allah SWT yang harus dihadapi dengan iman.
Kurikulum pendidikan dalam sistem khilafah menyeimbangkan antara penguasaan ilmu pengetahuan dan penguatan kepribadian Islami. Anak tidak hanya diajarkan berpikir kritis, tetapi juga berpikir syar’i dengan menjadikan syariat sebagai standar menilai baik-buruk, benar-salah.
Dari sinilah lahir generasi tangguh yang tidak mudah rapuh oleh tekanan, karena mereka memahami hakikat hidup dan kematian dalam bingkai iman.
Kasus yang terjadi akibat rapuhnya kesehatan mental remaja bukan sekadar tragedi individu, tetapi cermin kerusakan sistemik dalam pendidikan dan masyarakat.
Selama pendidikan masih berlandaskan sekularisme dan kehidupan diatur oleh sistem kapitalisme yang menindas, maka krisis kejiwaan akan terus berulang.
Wallahu 'alam.
Oleh: Lia Julianti
Aktivis Dakwah Tamansari Bogor

0 Komentar