Topswara.com -- Kasus korupsi seolah tiada matinya di negeri ini. Berbagai cara telah dilakukan untuk memberantasnya, tetapi korupsi terus terjadi. Setiap saat ada saja pejabat yang ditangkap karena korupsi.
Pejabat yang kali ini terjerat kasus korupsi adalah Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko. Sang bupati terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK di Ponorogo pada Jumat (7/11).
KPK kemudian langsung menahannya bersama tiga orang lainnya, yakni Agus Pramono selaku Sekda Kabupaten Ponorogo, Yunus Mahatma selaku Direktur RSUD Dr. Harjono Kabupaten Ponorogo, dan Sucipto selaku rekanan RSUD Ponorogo.
Keempat orang ini ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus suap pengurusan jabatan serta proyek RSUD Ponorogo dan penerimaan lainnya di lingkunngan Pemkab Ponorogo. (kompas.com, 9-11-2025)
Tak habis-habis pejabat yang melakukan korupsi. Bukannya bekerja melayani rakyat, mereka malah memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Pikirnya, mumpung menjabat dimanfaatkan untuk memperkaya diri dan golongannya.
Hal ini tak terlepas dari biaya pesta demokrasi yang mahal. Bukan rahasia lagi kalau siapa pun yang ingin mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah atau anggota legislatif harus punya banyak modal.
Di sinilah celah masuknya para pemilik modal. Politik transaksional pun terjadi antara si calon dengan pemodal. Keduanya bersepakat untuk saling menguntungkan. Si calon dibantu naik ke kursi kekuasaan. Kekuasaan inilah yang dipakai untuk membalas budi kepada si pemodal dalam menjaga eksistensinya.
Dalam demokrasi memang selalu ada politik balas budi sebab tidak ada yang namanya gratisan. Setiap bantuan untuk meraih kekuasaan pasti menuntut imbalan. Muncullah suap menyuap, gratifikasi, dan korupsi.
Demokrasi menjadi lahan subur bagi korupsi. Sistem ini mendorong orang untuk bertindak curang demi meraih kekuasaan dan jabatan. Melihat pola ini, maka tak salah bila dikatakan kalau korupsi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari demokrasi.
Korupsi adalah masalah sistemis. Karena itu, setiap upaya pemberantasan korupsi akan menemui jalan buntu selama berada dalam koridor demokrasi.
Meskipun sudah dibuat lembaga pemberantasan korupsi ataupun undang-undang antikorupsi, korupsi tak akan berhenti. Selalu bermunculan kasus-kasus korupsi baru dengan modusnya yang kian canggih dan makin ugal-ugalan.
Sistem hukumnya yang lemah menjadi celah korupsi terus eksis. Sanksi yang ringan bagi koruptor tidak memberikan efek jera. Meskipun telah terbukti merugikan negara milyaran, bahkan triliunan, tetapi hukuman bagi koruptor hanya beberapa tahun saja.
Belum lagi sel tahanan bagi koruptor biasanya memiliki berbagai fasilitas. Bahkan, ketika sudah dipenjara, para koruptor masih dapat hidup nyaman. Sungguh mengoyak keadilan rakyat.
Kondisi ini terjadi akibat dari penerapan sistem sekularisme yang menafikan agama dari kehidupan. Manusia hidup tanpa mengikuti aturan agama sehingga berbuat sesukanya.
Standar perbuatannya adalah manfaat materi dan mengabaikan halal haram. Ia juga tidak memiliki kontrol internal untuk mencegah dirinya melakukan perbuatan dosa. Aturan agama diabaikannya.
Tak heran bila dalam demokrasi sekuler muncul pejabat yang tidak amanah. Ia tidak bekerja melayani rakyatnya, melainkan demi keuntungan pribadi. Amanah jabatan dan kekuasaan bukan untuk pengabdian, melainkan jalan untuk mempertahankan eksistensi dengan menghalalkan segala cara.
Berbeda halnya ketika Islam menjadi sistem kehidupan. Sistem Islam yang tegak di atas landasan akidah Islam akan menuntun manusia untuk beramal sesuai perintah syarak. Halal haram menjadi standar.
Dengan begitu, setiap individu terdorong untuk taat syariat sebagai wujud keimanan. Demikian pula dengan pejabat yang menunaikan amanahnya dilandasi ketaatan pada Allah sehingga menjauhi perilaku khianat seperti korupsi. Ia akan menjalankan jabatannya sesuai tuntunan syariat.
Pejabat dalam Islam memiliki visi pelayanan umat. Khalifahlah yang mengangkat dan memberhentikan pejabat. Pejabat dipilih berdasarkan ketakwaan dan kapabilitasnya sehingga mereka adalah orang-orang yang bersih dan memiliki kemampuan.
Masyarakat pun akan melakukan amar makruf nahi mungkar sehingga setiap penyimpangan syariat akan segera dideteksi dan ditindak. Benih-benih korupsi tidak akan dibiarkan tumbuh dan berkembang.
Sistem hukum Islam yang tegas juga mampu memberikan efek jera. Pejabat yang melakukan korupsi akan dikenai sanksi takzir yang bentuk dan kadarnya berdasarkan ijtihad khalifah atau kadi. Sanksi tersebut bisa berupa penyitaan harta, penjara, disiarkan namanya di tengah masyarakat hingga hukuman mati.
Demikianlah Islam dalam memberantas korupsi. Penerapan sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan secara konsisten oleh negara menjamin terselenggaranya urusan umat dengan baik sekaligus menghindarkan dari penyimpangan seperti halnya korupsi. Dengan begitu, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat dapat terwujud.
Oleh: Nurcahyani
Aktivis Muslimah

0 Komentar