Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Dari Sekolah ke Judol dan Pinjol: Negara ke Mana?


Topswara.com -- Seorang siswa SMP di Kulon Progo bolos hampir sebulan, bukan karena malas, tapi malu terjerat pinjaman online untuk membiayai judi online. Kasus ini mengguncang nurani: generasi bangsa dirusak racun digital, sementara negara gagal menjadi pelindung.

Wakil Ketua Komisi X DPR RI, My Esti Wijayanti, mengakui maraknya pelajar terjerat pinjol dan judol sebagai bukti kegagalan sistem pendidikan. Ini bukan sekadar salah teknis, tapi salah paradigma. 

Pendidikan kini sekadar pabrik nilai dan ijazah tanpa arah pembentukan akal dan karakter. Maka kehancuran moral tinggal menunggu waktu (nasional.kompas.com, 29/10/2025) 

Kasus Kulon Progo hanyalah satu dari banyak. Diwartakan Tirto.id, (29/10/2025) menunjukkan bahwa fenomena ini sistemik, bukan insidental.

Judol dan Pinjol Menyeret Anak

Iklan judi online kini menembus situs pendidikan, game anak, hingga media sosial. Filter digital lemah, pengawasan longgar, bandar judi lihai memanfaatkan algoritma. Ruang belajar anak tak lagi aman mereka dicekoki budaya spekulasi dan ilusi kaya instan.

Sekali terjerat, lingkaran setan dimulai. Anak yang kalah mencari modal baru lewat pinjol. Proses cepat, verifikasi longgar, bujuk rayu “mudah cair” menjadikan mereka korban sistem digital predatoris. Moral hancur, rasa bersalah menekan, masa depan kabur.

Pengawasan keluarga dan sekolah pun tak cukup. Orang tua sibuk, guru tenggelam dalam administrasi, negara hanya mengeluarkan imbauan moral. Padahal ini kejahatan terorganisir lintas negara dengan kekuatan finansial besar.

Namun negara merespons dengan kampanye “bijak bermedia sosial” dan seminar literasi digital seolah melawan badai dengan payung bocor. Sampai kapan generasi diserahkan pada algoritma tanpa perlindungan ideologis?

Pendidikan Karakter Tanpa Akidah: Kosong dan Tak Bertaji

Program “pendidikan karakter” dan “literasi digital” hanyalah tambal sulam. Karakter sejati tidak lahir dari modul, tetapi dari akidah yang benar. 

Anak-anak diajari kejujuran, tapi melihat kebohongan justru dihargai. Mereka disebut “generasi kreatif”, tetapi tanpa fondasi akidah, kreativitas bisa berubah jadi petaka.

Dalam sistem kapitalisme, nilai manusia diukur dari profit. Judi online pun subur karena menguntungkan. Di dunia digital kapitalistik, klik adalah emas, pengguna adalah pasar. Anak-anak bukan amanah, tapi target industri.

Negara Hari Ini: Regulator Pasar

Akar persoalan ada pada sistem. Dalam kapitalisme, negara bukan pengasuh umat, melainkan regulator pasar. Fungsinya menjaga stabilitas industri, bukan keselamatan moral generasi. Maka pemblokiran situs judi hanya formalitas yang ditutup hari ini, muncul seribu besok pagi.

Pinjol ilegal diberantas sebagian, namun ratusan aplikasi baru lahir karena sistem membuka ruang. Negara hadir sebatas administratif, tanpa arah ideologis. Hukum berdiri di atas asas kebebasan individu, bukan ketaatan pada Tuhan.

Khilafah Pelindung Generasi

Perjudian dalam bentuk apa pun haram bagi kaum Muslimin. Allah Ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, berjudi, berkorban untuk berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah agar kamu beruntung”
(QS. Al-Maidah: 90).

Ayat ini menegaskan bahwa judi adalah dosa besar, amalan setan, dan harta hasilnya haram. Ketika larangan Allah dilanggar, lahirlah permusuhan dan kebencian, sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya setan bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu melalui khamar dan judi” (QS. Al-Maidah: 91).

Faktanya, para penjudi sering kehilangan akal sehat, bertengkar, bahkan berbuat kriminal. Umat pun terpecah dan lemah akalnya rusak, hartanya dirampas, moralnya hancur.

Sebagai negeri Muslim, Indonesia seharusnya tegas melarang segala bentuk perjudian. Semua akses judi wajib ditutup. Siapa pun yang terlibat bandar, pemain, promotor harus dihukum ta’zir sesuai tingkat kesalahannya.

Negara juga wajib menyelenggarakan pendidikan berlandaskan akidah Islam agar rakyat tumbuh dalam iman dan ketaatan. Islam memandang generasi bukan sebagai sumber ekonomi, tapi amanah yang wajib dijaga akal, akidah, dan akhlaknya.

Teknologi pun wajib dikelola berdasar hukum Allah, dikendalikan negara sesuai syariat. Negara Islam tidak berhenti di pemblokiran situs, tapi menutup seluruh rantai ekonomi judi dan memburu bandarnya hingga akar.

Ketika negara berfungsi sebagai rā‘in (pengurus) dan junnah (pelindung), anak tumbuh dalam lingkungan bersih, berpikir lurus, dan berakhlak mulia.

Hanya sistem Islam khilafah yang mampu menutup celah kejahatan digital, menjaga moral, serta mendidik generasi agar berkepribadian Islam dan mengarahkan potensi mereka menuju kemuliaan. []


Oleh: Zahida Ar-Rosyida 
(Aktivis Muslimah Banua)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar