Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

MBG dan Siklus Nestapa: Saat Rakyat Jadi Korban Kebijakan Populis


Topswara.com -- Panggungnya tak pernah berganti, hanya aktor dan latar yang berubah. Setiap kali rakyat mulai berharap, layar realita kembali menayangkan kisah lama: janji manis yang berujung getir. 

Kini, naskah itu kembali dimainkan lewat program Makan Bergizi Gratis (MBG) — kebijakan yang diklaim peduli, tapi justru berujung petaka. Ketika program sosial beraroma bisnis, dan keberpihakan rakyat diukur dari pencitraan, maka derita pun lahir dari niat yang kabur.

Tragedi keracunan MBG kembali menyeruak. Kali ini di Kabupaten Banjar, Martapura, Kalimantan Selatan, ratusan pelajar mengalami keracunan setelah mengonsumsi menu MBG. 

Berdasarkan laporan CNN Indonesia (10/10/2025), sekitar 130 anak dilarikan ke rumah sakit dengan gejala mual, muntah, dan pusing. Beberapa di antaranya bahkan harus mendapat perawatan intensif. 

Pemeriksaan awal menemukan kandungan nitrat pada sampel nasi kuning dan sayur yang disajikan. Hasil lengkap kini tengah menunggu uji forensik pangan oleh pihak berwenang.

Tak lama berselang, Kodim dan BPOM melakukan inspeksi mendadak ke dapur MBG di Martapura. Hasilnya, sejumlah pelanggaran sanitasi dan kelalaian prosedur ditemukan. 

Yang menarik, salah satu anggota DPRD Kabupaten Banjar bahkan mengakui bahwa perusahaan katering MBG di daerah itu adalah milik keluarganya
(tribunnews.kalsel, 10/10/2025).

Kejadian ini bukan yang pertama, dan tampaknya bukan pula yang terakhir. Polanya selalu sama: kebijakan populis dicanangkan dengan gegap gempita, disambut publik dengan harapan, namun berakhir dengan kelalaian dan korban. 

Di atas kertas, program ini tampak mulia memberi makan anak bangsa agar sehat dan cerdas. Tetapi di lapangan, aroma kepentingan begitu kuat: tender proyek, vendor langganan, dan target realisasi anggaran di atas kepedulian terhadap keselamatan penerima manfaat.

Akar masalahnya jauh lebih dalam daripada sekadar nasi basi atau dapur kotor. Ia berakar pada paradigma sistem yang menempatkan profit sebagai tujuan utama. Dalam sistem kapitalisme, bahkan kebijakan sosial bisa menjadi ladang ekonomi, tempat angka dan laporan menggantikan nurani. 

Negara pun tereduksi menjadi regulator pasif, hanya hadir sebagai pengawas administratif, bukan pelindung umat. Etika bisnis menjadi relatif, bergantung pada seberapa besar keuntungan, bukan halal atau haramnya. Dan masyarakat terbiasa hidup dalam logika konsumerisme, di mana setiap program gratis dianggap kebaikan, tanpa sempat bertanya: apakah ia benar-benar baik dan layak dikonsumsi?

Islam memandang pangan bukan sekadar kebutuhan fisik, melainkan bagian dari penjagaan jiwa (hifzh an-nafs). Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 168, “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal lagi thayyib dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan.”

Dalam tafsir Ibnu Katsir, thayyib dimaknai sebagai makanan yang suci, baik, dan bermanfaat bagi tubuh serta akal. Sedangkan Imam al-Ghazali menegaskan bahwa thayyib adalah makanan yang tidak merusak jasad, akal, maupun jiwa. 

Artinya, tayib bukan hanya soal higienitas atau izin edar, tetapi juga tentang nilai moral dan spiritual dari apa yang kita konsumsi.

Karena itu, Islam menempatkan negara sebagai penjamin utama keamanan pangan. Negara tidak cukup hanya mengatur, tetapi wajib memastikan bahwa setiap makanan yang beredar halal dan thayyib, aman bagi tubuh dan jiwa rakyatnya. 

Etika bisnis pun harus tunduk pada syariat di mana pelaku usaha dituntut bertanggung jawab, dan jika lalai hingga menimbulkan bahaya, maka negara berhak menjatuhkan sanksi yang tegas dan mendidik, bukan sekadar teguran formal atau klarifikasi media.

Kasus MBG di Kalimantan Selatan menjadi cermin yang jujur tentang rapuhnya jaminan keamanan pangan dalam sistem sekuler kapitalistik. Sistem ini mengukur keberhasilan dari angka: berapa banyak paket yang tersalurkan, berapa persen serapan anggaran, berapa tinggi tingkat kepuasan publik.

Tetapi di balik semua itu, nyawa rakyat tereduksi menjadi statistik, dan tragedi hanya dianggap insiden. Tidak ada perubahan mendasar, karena sistemnya sendiri sudah pincang sejak awal.

Sementara itu, pejabat terus berlomba menunjukkan kepedulian di layar kamera. Pernyataan duka, janji evaluasi, hingga investigasi yang berujung redup bersama sorotan media. 

Masyarakat pun pelan-pelan terbiasa dengan luka seperti tubuh yang kehilangan rasa sakit karena terlalu sering terluka. Inilah siklus nestapa yang terus berulang: kebijakan populis yang dikemas sebagai solusi, namun sesungguhnya menambah masalah.

Islam mengajarkan bahwa kebijakan sejati lahir dari akidah yang benar. Dalam khilafah, negara hadir bukan sebagai penyedia proyek, tetapi sebagai pelindung umat. Pangan, kesehatan, dan pendidikan adalah hak dasar yang dijamin secara langsung, bukan dikomersialisasi lewat tender. Semua kebijakan berakar pada nilai kemaslahatan dan pelayanan, bukan kepentingan dan pencitraan.

Karena itu, tragedi MBG di Kalsel bukan sekadar kecelakaan dapur, tapi peringatan keras bahwa sistem ini telah gagal menjamin keamanan rakyatnya. Selama negeri ini tetap berpijak pada paradigma sekuler kapitalistik, selama kebijakan publik disetir oleh kepentingan ekonomi dan citra politik, maka tragedi serupa hanya menunggu giliran. []


Oleh: Zahida Ar-Rosyida 
(Aktivis Muslimah Banua) 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar