Topswara.com -- Salah satu akhlak mulia yang sangat ditekankan dalam Islam adalah tawadhu (rendah hati). Tawadhu bukanlah kelemahan, melainkan tanda kesempurnaan iman. Ia adalah perhiasan hati yang menjadikan seseorang mulia di sisi Allah dan dicintai oleh manusia.
Rasulullah ï·º bersabda:
“Tidaklah seorang hamba bersikap tawadhu’ karena Allah, melainkan Allah akan meninggikan derajatnya.”
(HR. Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa setiap kerendahan hati yang ikhlas karena Allah, akan dibalas dengan pengangkatan derajat oleh-Nya, baik di dunia maupun di akhirat.
Hakikat Tawadhu
Tawadhu bukan sekadar menampakkan kesederhanaan di luar, tetapi ketundukan hati di hadapan Allah. Orang yang tawadhu menyadari bahwa semua kelebihan yang ia miliki ilmu, harta, jabatan, bahkan ibadah hanyalah titipan Allah, bukan hasil jerih payah semata.
Ciri-ciri orang yang tawadhu:
Pertama, mengakui kebenaran, meski datang dari orang yang lebih rendah kedudukannya.
Kedua, tidak meremehkan orang lain, karena setiap manusia memiliki kelebihan yang mungkin tidak kita miliki.
Ketiga, tidak merasa diri paling mulia, sebab kemuliaan hakiki hanya milik Allah.
Keempat, rela melayani sesama, tanpa merasa direndahkan.
Tawadhu Menambah Kemuliaan
Nabi ï·º bersabda:
“Sifat rendah hati itu hanyalah menambah kemuliaan manusia. Maka bersikaplah rendah hati, semoga Allah merahmati kamu.” (HR. Ahmad)
Orang yang rendah hati tidak akan kehilangan harga diri. Justru, ia akan semakin mulia. Sementara kesombongan hanya akan menjatuhkan martabat seseorang.
Teladan Kerendahan Hati Rasulullah ï·º
Rasulullah ï·º adalah manusia paling mulia, pemimpin seluruh umat, kekasih Allah, tetapi beliau adalah orang yang paling tawadhu.
Beberapa contoh kerendahan hati beliau:
Beliau makan di lantai bersama para sahabat, tanpa membedakan status. Beliau menjahit pakaiannya sendiri dan menambal sandalnya. Beliau duduk bersama orang miskin dan tidak menolak undangan meski hanya disuguhi makanan sederhana.
Saat memasuki Makkah dalam peristiwa Fathul Makkah, beliau menundukkan kepala dengan penuh kerendahan, padahal beliau masuk sebagai pemenang.
Kisah Para Sahabat dalam Tawadhu
Para sahabat meneladani Rasulullah ï·º dengan kerendahan hati yang luar biasa:
Abu Bakar Ash-Shiddiq meski menjadi khalifah, beliau sering memerah susu kambing untuk tetangganya. Umar bin Khattab rela memikul sendiri karung gandum untuk rakyatnya yang kelaparan, padahal beliau seorang khalifah. Ali bin Abi Thalib tidak segan membersihkan masjid dan melayani kaum fakir miskin.
Semua ini menunjukkan bahwa kemuliaan sejati justru lahir dari kerendahan hati.
Relevansi Tawadhu di Zaman Modern
Di era modern, manusia sering berlomba-lomba menonjolkan status, kekayaan, dan jabatan. Media sosial kerap menjadi panggung untuk pamer diri. Padahal, semua itu hanyalah fatamorgana.
Tawadhu membuat hati tenang, pergaulan harmonis, dan manusia dihargai bukan karena yang ditampakkan, melainkan karena ketulusan yang terpancar.
Penutup Reflektif
Rendah hati bukanlah tanda kelemahan, melainkan puncak kemuliaan akhlak seorang mukmin. Dengan tawadhu, Allah meninggikan derajat seorang hamba, menjadikannya terhormat di dunia, dan meninggikannya di akhirat.
Marilah kita menghiasi diri dengan sifat ini, sebagaimana sabda Nabi ï·º:
“Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap tawadhu, sehingga tidak ada seorang pun yang berlaku sombong terhadap yang lain, dan tidak ada seorang pun yang berbuat zalim terhadap yang lain.” (HR. Muslim)
Semoga Allah menghiasi hati kita dengan kerendahan hati, menjauhkan kita dari kesombongan, dan mengangkat derajat kita di dunia dan di akhirat.
Oleh: Dr Nasrul Syarif M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo
0 Komentar