Topswara.com -- Indonesia kembali berduka karena salah satu ikon destinasi wisata dunia yakni Bali harus mengalami bencana banjir dan longsor.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq memberikan pernyataan di depan awak media saat meninjau langsung situasi terkini di Bali, penyebab banjir selain cuaca ekstreem, diakibatkan karena alih fungsi lahan dari kawasan persawahan dan resapan air, sampah yang menumpuk, dan titik daerah aliran sungai yang sedikit.
Data menunjukkan wilayah tutupan hutan terutama di area Gunung Batur di Kabupaten Bangli dan daerah aliran sungai (DAS) sangat kecil. Dari 49 ribu daerah aliran sungai, daerah tutupan hutan hanya sekitar 1.200 hektare.
Pemerintah provinsi Bali dihimbau agar tidak melakukan konversi lahan dan hutan untuk mencegah banjir (kumparan.com, 13/09/2025).
Bali yang dikenal bak surga dunia dengan alam yang memanjakan mata, menjadi tumpuan destinasi wisata. Namun, konsentrasi untuk pemberdayaan pariwisata ini malah seperti paradoks dengan dampak kerusakan alam dan lingkungan yang terjadi hari ini.
Dibalik daya tariknya sebagai destinasi wisata, Bali menyimpan segudang permasalahan dan tekanan untuk menciptakan surga bagi siapapun yang berkunjung. Dan pada akhirnya, overtourism menjadi masalah yang tidak bisa terelakan.
Hal ini terbukti dengan kenaikan jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Provinsi Bali. Untuk periode April saja, kenaikannya mencapai 25,56 persen (bali.bps.go.id,2/6/2025).
Di satu sisi, peningkatan ini berdampak pada roda perekomian Bali, namun disisi lain, masyarakat Bali harus menghadapi lonjakan wisatawan yang melebihi dari kapasitas wilayah.
Terlebih lagi, jika wisatawan terkonsetrasi datang ke wilayah tertentu, pastinya akan membebani kapasitas lokal, baik dari sisi infrastruktur maupun sisi sosial.
Secara nalar ekonomi, kehadiran para wisatawan memang sangat menggiurkan. Namun, ada konsekuensi serius yang harus dihadapi saat ini yakni bencana alam, yang tidak hanya diakibatkan karena cuaca ekstreem semata, melainkan hasil dari tata kelola wilayah yang menggangu ekosistem lingkungan.
Maka tak heran, jika kita melihat wajah Bali yang cantik dengan balutan pariwisatanya, bertolak belakang dengan kondisi kemacetan, kepadatan yang berlebih, menumpuknya sampah dan limbah di banyak titik, hingga terganggunya ekosistem lingkungan karena mudahnya izin pembangunan alih fungsi lahan yang menghilangkan keseimbangan alam.
Lahan yang awalnya pesawahan, hutan maupun kawasan resapan air berubah menjadi tempat-tempat pendukung pariwisata.
Gambaran ini mengingatkan kita pada kalam Ilahi di surat Ar rum ayat 41 yang berbunyi “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)". Ayat ini menjadi peringatan bahwa kerusakan alam yang terjadi hari ini tidak bisa lepas dari perbuatan manusia itu sendiri.
Mestinya isyarat ini bisa ditangkap oleh kita sebagai manusia untuk bertanggungjawab atas apa yang sudah kita perbuat.
Dalam perspektif Islam, alam adalah anugerah dari Allah SWT yang harus dijaga keberadaanya. Merusaknya sama dengan menantang Pencipta. Alasan dengan nilai ekonomi tidak bisa dijadikan dalil untuk mengeksploitasi alam.
Mekanisme kebijakan saat ini berkiblat pada sistem kapitalisme yang menempatkan ekonomi dan keuntungan sebagai sumber kehidupan, hingga lupa bahwa kita hidup berdampingan dengan alam semesta yang memiliki ekosistem tersendiri.
Tetapi, sistem ini malah mendorong manusia untuk mengganggu ekosistem tersebut dengan landasan ekonomi. Berbagai fasilitas pendukung wisata semakin marak, karena izin pembangunan yang mudah dan bebas selama modal mengalir.
Hal ini jelas sangat berbeda dengan sistem Islam yang mengharamkan pengelolaan alam secara bebas oleh swasta baik individu maupun kelompok, karena alam dan segala kekayaanya termasuk kedalam kepemilikan umum yang harus dikelola oleh negara untuk kemakmuran rakyat tanpa eksploitasi yang merusak ekosistem alamnya.
Tidak peduli sebesar apapun kekuatan modal yang dimiliki oleh swasta, Islam tidak akan pernah mengizinkan hal itu karena alam adalah amanah.
Jangankan untuk sengaja merusak alam demi kepentingan ekonomi, dalam kondisi yang tidak kondusif pun, Rasulullah Saw sendiri melarang para sahabat dan pasukannya melakukan pengrusakan lingkungan ketika berperang.
Ini menunjukkan komitmen yang luar biasa terhadap penjagaan alam sebagai bentuk ketaatan kepada Rabbnya dan kecintaanya kepada alam yang telah Allah ciptakan dan sediakan untuk kita para hambaNya.
Maka, dengan konsep Islam seperti ini, kemungkinan terjadinya kerusakan alam secara sistematis akibat pengelolaan manusia akan bisa diminimalisir. Karena dasarnya bukan ekonomi semata, melainkan berbekal dari keimanan dan ketaatan kepada Rabbnya.
Oleh: Sheila Nurazizah
Aktivis Muslimah
0 Komentar