Topswara.com -- Setiap mukmin mendambakan cinta Allah. Namun, cinta yang tulus kepada Allah tidak datang begitu saja, melainkan melalui tahapan-tahapan ruhani. Sahal bin Abdullah at-Tustari, seorang sufi besar abad ke-3 Hijriah, menjelaskan tanda-tanda cinta yang sejati dengan rantai yang indah dan sistematis.
Beliau berkata:
“Tanda kecintaan kepada Allah adalah kecintaan terhadap Al-Qur’an, tanda kecintaan kepada Al-Qur’an adalah kecintaan kepada Nabi ï·º, tanda kecintaan kepada Nabi ï·º adalah kecintaan terhadap hadis, tanda kecintaan kepada Allah, Al-Qur’an, Nabi ï·º, dan hadis adalah kecintaan terhadap akhirat, tanda kecintaan terhadap akhirat adalah kecintaan kepada dirinya sendiri, tanda kecintaan kepada dirinya sendiri adalah ketidaksenangan terhadap dunia, dan tanda ketidaksenangan terhadap dunia adalah hidup sederhana tanpa berlebihan maupun merasa kekurangan.”
Mari kita uraikan makna dari rantai cinta ini.
1. Cinta kepada Allah
Inilah puncak dari segala tujuan hidup. Cinta kepada Allah melahirkan ketaatan, keikhlasan, dan kerinduan untuk selalu dekat dengan-Nya. Allah berfirman:
“Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” (QS. Al-Maidah: 54).
Cinta kepada Allah adalah cahaya hati, tetapi ia perlu bukti. Buktinya adalah kecintaan terhadap Al-Qur’an.
2. Cinta kepada Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kalam Allah, pedoman hidup, cahaya, dan penenang hati. Orang yang mencintai Allah pasti mencintai firman-Nya.
Tanda cinta kepada Al-Qur’an:
Membaca dengan tadabbur, mengamalkan perintahnya, menjadikannya pedoman hidup, bukan sekadar bacaan.
3. Cinta kepada Nabi ï·º
Al-Qur’an menegaskan:
“Katakanlah (wahai Muhammad): Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian.”
(QS. Ali Imran: 31)
Cinta kepada Nabi ï·º adalah konsekuensi cinta kepada Al-Qur’an. Sebab, beliau adalah penjelas, penafsir, sekaligus teladan hidup dari Al-Qur’an. Tanpa Nabi ï·º, Al-Qur’an tidak akan bisa dipahami secara sempurna.
4. Cinta kepada Hadis
Hadis adalah rekaman ucapan, perbuatan, dan persetujuan Nabi ï·º. Orang yang benar-benar mencintai beliau akan merujuk kepada hadis, mencintai sunnah, dan mengamalkannya dalam keseharian.
Imam Malik berkata:
“Sunnah itu adalah seperti bahtera Nabi Nuh. Barang siapa menaikinya, ia selamat. Barang siapa enggan, ia tenggelam.”
5. Cinta kepada Akhirat
Jika cinta kepada Allah, Al-Qur’an, Nabi ï·º, dan hadis sudah tertanam, maka orientasi hati seorang mukmin akan bergeser dari dunia ke akhirat. Ia tidak lagi terpesona dengan gemerlap dunia, melainkan merindukan kampung abadi yang dijanjikan Allah.
Rasulullah ï·º bersabda:
“Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim)
6. Cinta kepada Diri Sendiri (dengan Makna Ruhani)
Bukan cinta egois, tetapi cinta yang sejati: menjaga diri dari azab Allah, mengarahkan diri menuju keselamatan akhirat, dan menghindari hal-hal yang membahayakan iman. Orang yang mencintai dirinya secara benar akan lebih peduli pada nasib ruhnya daripada kesenangan jasadnya.
7. Tidak Senang terhadap Dunia
Cinta kepada akhirat menumbuhkan sikap zuhud—tidak menjadikan dunia sebagai tujuan utama. Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia sepenuhnya, melainkan menempatkannya di tangan, bukan di hati.
8. Hidup Sederhana
Akhir dari rantai cinta ini adalah kesederhanaan. Orang yang zuhud hidup seimbang: tidak berlebihan, tidak pula merasa miskin. Ia makan, berpakaian, dan bekerja secukupnya, lalu hatinya tenang.
Rasulullah ï·º adalah teladan dalam kesederhanaan. Beliau tidur di atas tikar kasar, makan seadanya, tetapi hati beliau dipenuhi cahaya Allah.
Refleksi untuk Umat
Perkataan Sahal bin Abdullah mengajarkan kepada kita:
Cinta bukan klaim, tetapi bukti, cinta kepada Allah harus tercermin dalam cinta kepada Al-Qur’an, Nabi ï·º, sunnah, dan akhirat. Dunia hanyalah sarana, bukan tujuan. Kesederhanaan adalah puncak kemuliaan.
Penutup
Rantai cinta yang diajarkan Sahal bin Abdullah adalah jalan menuju kebahagiaan hakiki. Cinta kepada Allah bermula dari Al-Qur’an, berlanjut kepada Nabi ï·º dan sunnahnya, lalu berujung pada kesederhanaan hidup yang menenangkan jiwa.
Inilah hakikat perjalanan seorang mukmin:
Hidup sederhana, berhati akhirat, bersandar pada Allah, dan menapaki jalan Rasulullah ï·º.
Semoga Allah menjadikan kita bagian dari hamba-hamba-Nya yang benar-benar mencintai-Nya, mencintai Al-Qur’an, mencintai Nabi ï·º, dan menjadikan dunia hanya sekadar jembatan menuju akhirat.
Oleh: Dr. Nasrul Syarif M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo

0 Komentar