Topswara.com -- Kalimantan Selatan (Kalsel) belakangan ini ramai menggaungkan jargon Pelayanan Kesehatan Ramah Anak (PRAP). Pelatihan tenaga medis, sosialisasi modul hak anak, hingga dorongan percepatan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) digelar di berbagai daerah (lenterakalimantan.net, 27/08/2025).
Narasinya pun terdengar indah. Anak diposisikan sebagai subjek pembangunan, hak mereka tak boleh diabaikan. Namun, di balik narasi yang manis ini, realita pahit masih mencengkeram. Angka stunting tetap tinggi, tata ruang permukiman tidak sehat, pangan anak dikepung produk ultra-proses, sementara anggaran kesehatan daerah pun dipertanyakan.
Stunting Tinggi, Indikator Jadi Formalitas
Data Survey Status Gizi Indonesia (SSGI) 2023 menunjukkan prevalensi stunting di Kalsel masih 24,6 persen, di atas ambang batas WHO sebesar 20 persen (kalsel.bpk.go.id). Ironis, karena program ramah anak semestinya menekan angka ini.
Fakta lapangan memperlihatkan, fokus sering bergeser pada sekadar memenuhi indikator administratif KLA/PRAP. Modul hak anak disebarkan, tenaga kesehatan dilatih, tetapi problem mendasar—ketahanan keluarga, ketersediaan pangan sehat, sanitasi air, hingga tata ruang— tercecer di dinas lain tanpa koordinasi.
Tata Ruang: Pondasi yang Sering Terabaikan
Kualitas kesehatan anak erat dengan tata ruang. Permukiman padat tanpa drainase memperburuk banjir dan kontaminasi air; sanitasi buruk memicu diare dan infeksi berulang dua faktor langsung penyebab stunting (ADB; The Lancet).
Tragisnya, tata ruang jarang dibicarakan dalam isu ramah anak. Padahal ruang hidup yang sehat air bersih, drainase baik, ruang bermain, dan akses pangan lebih menentukan gizi anak daripada modul sosialisasi yang dibagikan di kelas.
Pangan Sehat: Agresi Ultra-Proses
Konsumsi ultra-processed food (UPF) snack, biskuit manis, minuman kemasan kian mendominasi pola makan anak Indonesia. Hal ini terjadi merata di kota-kota besar, bahkan di daerah -daerah. Studi menunjukkan konsumsi UPF berhubungan dengan defisiensi mikronutrien, obesitas dini, hingga gangguan metabolik (WHO).
Alih-alih proteksi, regulasi masih longgar: label gizi lemah, iklan makanan tak sehat menyasar anak, edukasi gizi pun minim. Kita pun dibuat khawatir keadaan diperparah oleh mencuatnya kasus korupsi di semua lini kehidupan.
Program negara yang seharusnya menyuplai makanan bergizi rawan dikorupsi. Kasus korupsi biskuit untuk bayi dan ibu hamil di Kemenkes yang diusut KPK memperlihatkan betapa kejamnya sistem hari ini. Produk memang ada, tapi gizinya dikurangi demi keuntungan (detik.com, 21/06/2024). Bayangkan, hak gizi generasi dirampas tikus berdasi.
Anggaran Daerah: Janji dan Realita
Kalsel kerap menyebut kesehatan sebagai prioritas. Namun, sorotan muncul ketika belanja kesehatan dalam APBD belum sepenuhnya memenuhi standar minimal 10 persen di luar gaji, sebagaimana amanat UU Kesehatan (antaranews.com, 28/11/2024).
Belanja sering terkonsentrasi pada fisik dan seremoni, bukan penguatan layanan dasar. Dengan kondisi fiskal yang masih bergantung pada pajak pusat, transfer dana, bahkan utang, program kesehatan anak rentan terpangkas ketika terjadi refocusing anggaran.
Situasi ini menggambarkan betapa sistem sekarang tidak berdaulat menjamin layanan anak. Alokasi anggaran bisa berubah sesuai dinamika politik, prioritas digeser ketika “proyek besar” lain dianggap lebih penting. Pada akhirnya, kesehatan anak sering kalah bersaing dengan pembangunan infrastruktur atau agenda jangka pendek.
Islam Menawarkan Paradigma Alternatif
Islam memandang anak bukan sekadar penerus bangsa, melainkan amanah syariah yang harus dijaga fitrah dan masa depannya. Layanan kesehatan anak dalam Islam tidak sekedar simbolik, mengacu pada indikator internasional, atau utang luar negeri.
Baitul Mal sebagai institusi keuangan negara menyediakan pos pendanaan syar’i (ghanimah, fai’, kharaj, jizyah, serta kepemilikan umum seperti tambang dan energi) yang menjamin layanan kesehatan anak tanpa biaya dan berkelanjutan.
Puskesmas ramah anak dalam paradigma Islam bukan sekadar slogan. Ia mencakup pertama, SDM khusus: dokter, bidan, perawat dengan kompetensi anak yang dalam pelayanannya berbasis keimanan dan ketakwaan.
Kedua, kader keluarga binaan. Bukan hanya administrasi, tetapi membina pola hidup sehat sekaligus berkepribadian Islam. Ketiga, pangan sehat terjamin. Industri pangan dikendalikan negara agar tidak merusak gizi generasi.
Keempat, tata ruang manusiawi; puskesmas benar-benar ramah anak, ibu, dan keluarga. Fasilitas layak dan prinsip pelayanan (mudah, cepat, profesional) akan sangat diperhatikan.
Indikator keberhasilan pun bukan angka semata, melainkan generasi sehat, cerdas, berakhlak dan bertakwa.
Rasulullah SAW bersabda, “Imam (khalifah) adalah pemelihara urusan rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Mandat ini menegaskan kewajiban negara menyehatkan dan melindungi anak secara menyeluruh. Bukan sekadar mengejar penghargaan.
Dorongan menuju pelayanan kesehatan ramah anak di Kalsel memang patut diapresiasi. Tetapi, selama problem mendasar seperti tata ruang, pangan sehat, dan anggaran daerah belum disentuh serius, PRAP hanya akan nyaman di narasi, pahit di realita. Apalagi jika kasus-kasus korupsi terus membayangi, kepercayaan publik makin rapuh.
Kita membutuhkan sistem yang menjamin kesehatan anak secara holistik, tidak sekedar simbolis atau indikator semu.
Negara Khilafah akan memberikan layanan kesehatan anak bebas biaya, terintegrasi, berkelanjutan, berbasis syariah, dan bertumpu pada kemandirian finansial baitul mal. Inilah jalan untuk benar-benar memuliakan generasi, bukan sekadar melabeli mereka dengan jargon manis tanpa makna.[]
Oleh: Zahida ar-Rosyida
(Aktivis Muslimah Banua)

0 Komentar