Topswara.com --
بقلم: عزيزي فطاني - خويدم معهد دار المتقين
Membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah secara sengaja adalah dosa besar yang sangat serius akibatnya, yang akan dilipatgandakan siksaan atas pelakunya kelak di akhirat. Dan dia akan ditempatkan di neraka dalam keadaan dihinakan dan dalam jangka waktu yang sangat lama.
Lantas bagaimana jika dosa membunuh tersebut ditambah lagi dengan dosa "mutslah" terhadap korban yang dibunuhnya? Pengertian mutslah sendiri adalah seperti yang dijelaskan oleh Al Khaththabi dalam Ma'alimus Sunan:
اﻟﻤﺜﻠﺔ ﺗﻌﺬﻳﺐ اﻟﻤﻘﺘﻮﻝ ﺑﻘﻄﻊ ﺃﻋﻀﺎﺋﻪ ﻭﺗﺸﻮﻳﻪ ﺧﻠﻘﻪ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﻳﻘﺘﻞ ﺃﻭ ﺑﻌﺪﻩ ﻭﺫﻟﻚ ﻣﺜﻞ ﺃﻥ ﻳﺠﺪﻉ ﺃﻧﻔﻪ ﺃﻭ ﺃﺫﻧﻪ ﺃﻭ ﻳﻔﻘﺄ ﻋﻴﻨﻪ ﺃﻭ ﻣﺎ ﺃﺷﺒﻪ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﺃﻋﻀﺎﺋﻪ.
"Mutslah adalah menyiksa orang yang dibunuh dengan memotong/mencincang anggota tubuhnya serta merusak bentuknya sebelum dibunuh atau setelahnya. Contohnya seperti memotong hidung dan telinganya, mencongkel matanya, atau anggota tubuh lainnya." Maka dosanya akan bertambah besar lagi, sebab mutslah termasuk perbuatan yang dilarang oleh syarak.
عن اﻟﻤﻐﻴﺮﺓ ﺑﻦ ﺷﻌﺒﺔ ﻗﺎﻝ: "ﻧﻬﻰ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻦ اﻟﻤﺜﻠﺔ"
Dari Mughurah bin Syu'bah berkata: "Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang mutslah (mencincang/memutilasi)." (HR Ahmad)
Makin banyak pelaku memotong-motong tubuh korban, mencacah tulang-tulangnya (sebagaimana di gambar), maka makin banyak pula dosanya. Hal itu disebabkan mayat manusia (terlebih mayat muslim) tidak boleh diperlakukan secara kasar.
Karena itu bisa menyakiti pemilik jasad tersebut, dan juga akan menyakiti perasaan keluarganya tentunya. Imam Malik dalam kitab Al-Muwaththa' nya mencantumkan hadis berikut:
عن عائشة عن النّبيّ - صلّى الله عليه وسلم - قال: "كَسْرُ عَظمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا"
Dari 'Aisyah, Rasulullah Saw. bersabda: "Mematahkan tulang mayat itu seperti mematahkannya dalam keadaan dia masih hidup." (HR. Malik, At-Tirmidzi).
Yang dimaksud di sini adalah terkait dosanya. Bahwa dosa mematahkan tulang mayat itu sama dengan dosa mematahkan tulang orang masih hidup. Jika mencubit dua kali saja dosanya lebih banyak dari mencubit sekali, maka mematahkan dan memecah tulang korban dalam jumlah yang banyak akan menjadikan dosanya semakin banyak. Nauzubillah min dzalik.
Lantas bagaimana dengan kisah Al-Uraniyyin yang nabi putuskan untuk dikejar dan dihukum dengan memotong tangan dan kaki serta mencongkel mata mereka?
Maka jawabannya: ulama berbeda pendapat dalam hal tersebut, ada yang mengatakan itu terjadi sebelum turun ayat hudud, muharabah, dan sebelum dilarangnya mutslah, maka kemudian kebolehannya mansukh.
Sebagian lagi berpendapat: itu tidak mansukh, dan turunnya ayat muharobah justru berkenaan dengan mereka. Ini sebagaimana diterangkan oleh Al Qadhi 'Iyadh berikut:
ﻗﺎﻝ اﻟﻘﺎﺿﻲ ﻋﻴﺎﺽ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ عنه ﻭاﺧﺘﻠﻒ اﻟﻌﻠﻤﺎء ﻓﻲ معنى ﺣﺪﻳﺚ اﻟﻌﺮﻧﻴﻴﻦ ﻫﺬا ﻓﻘﺎﻝ ﺑﻌﺾ اﻟﺴﻠﻒ ﻛﺎﻥ ﻫﺬا ﻗﺒﻞ ﻧﺰﻭﻝ اﻟﺤﺪﻭﺩ ﻭﺁﻳﺔ اﻟﻤﺤﺎﺭﺑﺔ ﻭاﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ اﻟﻤﺜﻠﺔ ﻓﻬﻮ ﻣﻨﺴﻮﺥ ﻭﻗﻴﻞ ﻟﻴﺲ ﻣﻨﺴﻮﺧﺎ ﻭﻓﻴﻬﻢ ﻧﺰﻟﺖ ﺁﻳﺔ اﻟﻤﺤﺎﺭﺑﺔ
Imam Al-Khaththabi menjelaskan bahwa apa yang Rasulullah lakukan terhadap Al-'Uraniyyin adalah sebagai balasan atas perbuatan serupa mereka terhadap juru gembala Rasulullah yang ditugaskan untuk merawat hewan zakat.
ﻗﻠﺖ ﻭﻫﺬا ﺇﺫا ﻟﻢ ﻳﻜﻦ اﻟﻜﺎﻓﺮ ﻓﻌﻞ ﻣﺜﻞ ﺫﻟﻚ ﺑﺎﻟﻤﻘﺘﻮﻝ اﻟﻤﺴﻠﻢ ﻓﺈﻥ ﻣﺜﻞ ﺑﺎﻟﻤﻘﺘﻮﻝ ﺟﺎﺯ ﺃﻥ ﻳﻤﺜﻞ ﺑﻪ ﻭﻟﺬﻟﻚ ﻗﻄﻊ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻳﺪﻱ اﻟﻌﺮﻧﻴﻴﻦ ﻭﺃﺭﺟﻠﻬﻢ ﻭﺳﻤﺮ ﺃﻋﻴﻨﻬﻢ ﻭﻛﺎﻧﻮا ﻓﻌﻠﻮا ﺫﻟﻚ ﺑﺮﻋﺎء ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻛﺬﻟﻚ ﻫﺬا ﻓﻲ اﻟﻘﺼﺎﺹ ﺑﻴﻦ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺇﺫا ﻛﺎﻥ اﻟﻘﺎﺗﻞ ﻗﻄﻊ ﺃﻋﻀﺎء اﻟﻤﻘﺘﻮﻝ ﻭﻋﺬﺑﻪ ﻗﺒﻞ اﻟﻘﺘﻞ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﻌﺎﻗﺐ ﺑﻤﺜﻠﻪ ﻭﻗﺪ ﻗﺎﻝ ﺗﻌﺎﻟﻰ {ﻓﻤﻦ اﻋﺘﺪﻯ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻓﺎﻋﺘﺪﻭا ﻋﻠﻴﻪ ﺑﻤﺜﻞ ﻣﺎ اﻋﺘﺪﻯ ﻋﻠﻴﻜﻢ}
Maka ini termasuk pengecualian dari larangan umum atas perbuatan mutslah, yaitu kecuali jika dalam rangka hukuman qishash.
Jika ditanya, kalau memang demikian kenapa di lain kesempatan Rasulullah mendapat "teguran" dari Allah saat hendak melakukan mutslah terhadap kaum musyrik setelah mendapati tubuh paman Beliau, Hamzah, dicincang oleh orang dari mereka di peristiwa perang Uhud, bukankah itu dalam rangka pembalasan? apa bedanya dengan hukuman terhadap Uraniyyin? Beliau bahkan sampai bersumpah:
ثُمَّ حَلَفَ وَهُوَ وَاقِفٌ مَكَانَهُ: "وَاللَّهِ لَأُمَثِّلَنَّ بِسَبْعِينَ مِنْهُمْ مَكَانَكَ".
"Demi Allah aku akan mencincang tujuh puluh orang dari mereka sebagai penggantimu."
Namun kemudian turun ayat:
{ وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ } [النحل: 126] حَتَّى خَتَمَ السُّورَةَ .
وَكَفَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ يَمِينِهِ وَأَمْسَكَ عَمَّا أَرَادَ.
Maka Rasulullah kemudian membatalkan sumpahnya tersebut, dan mengurungkan niatnya.
Jawabannya, bahwa sumpah Rasulullah di situ hendak mencincang 70 orang musyrik, tanpa melihat apakah mereka pelaku mutslah atas paman beliau atau bukan. Sehingga bukan dalam konteks qishash atau pembalasan terhadap pelaku. Juga membalas dengan jumlah lebih banyak (1:70) sehingga turun peringatan, ayat terkait jika ingin membalas maka dengan setimpal (1:1).
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ
Dan juga ada opsi lain selain membalas dengan setimpal yang tampaknya kemudian dipilih oleh Rasulullah, yaitu bersabar (tidak membalas).
وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ.
Bedanya dengan apa yang beliau putuskan atas uraniyyin, bahwa mereka adalah pelaku mutslah sehingga berlaku dalam konteks sebagai hukuman qishash. Sedangkan sumpah Rasulullah di atas bukan dalam konteks tersebut.
Demikian ulasan singkat tentang hukum mutslah yang belakangan ini viral, dan agar pembaca sadari bahwa kejahatan pembunuhan semacam ini akan semakin marak dan mengerikan jika hukum Islam tidak segera diterapkan.
ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ؛ ﻗﺎﻝ: ﻣﺎ ﺣﻜﻢ ﻗﻮﻡ ﻗﻂ ﺑﻐﻴﺮ ﻣﺎ ﺃﻧﺰﻝ اﻟﻠﻪ ﺇﻻ ﻓﺸﺎ ﻓﻴﻬﻢ اﻟﻘﺘﻞ.
Dari Ibnu Abbas berkata: "Tidaklah suatu kaum itu berhukum dengan selain hukum Allah melainkan kasus pembunuhan akan meluas di tengah-tengah mereka." (Akhbarul Qudhat)
Sebab hukum Islam selain menjadi kafarat bagi pelaku juga untuk memberi efek jera atasnya dan juga masyarakat pada umumnya. Rahmatan lil 'alamin benar-benar terwujud.
Dan hukum Islam tidak bisa diterapkan secara ideal tanpa tatanan atau sistem yang mewadahinya. Yaitu sistem Islam atau dikenal dengan sebutan khilafah atau Imamah 'Uzhma.
Maka menjadi kewajiban bersama umat Islam mewujudkannya kala ia tiada, dengan benar-benar dalam berpikir (al jiddiyyah fit tafkir) dan serius dalam beramal (al jiddiyyah fil 'amal) dalam mewujudkannya.
الله ولي التوفيق وعليه التكلان
Batu, 13 September 2025
Oleh: Azizi Fathoni
(Ulama)
0 Komentar