Topswara.com -- Dengarkanlah kisah ini.
tentang sebuah tanah suci,
yang pernah dipijak langkah nabi.
Di bawah panji Byzantium
tanah itu terbungkus muram
gereja-gereja menjulang namun jiwa-jiwa lapar dan dahaga
pajak menjerat petani, tentara menguasai jalanan,
pasar berisik dengan tagihan upeti
sementara rakyat kecil meratap pada langit yang jauh.
Hingga sang pembebas, Umar bin Khattab datang,
ia telah menundukkan kota dengan janji keamanan.
Tanah itu masuk ke pangkuan Islam,
dan rakyat merasa memiliki rumah di mana masjid dan pasar
bisa bernafas dengan damai.
Angka-angka di kalender bertanggalan
hari berganti pekan berganti bulan berganti tahun.
Peristiwa demi peristiwa menjelma sejarah yang diceritakan turun temurun.
Episode berikutnya, di tanah itu, adalah episode datangnya para salibis
mereka membawa api dan besi,
menutup jalan azan, merampas masjid, menodai tanah yang suci.
Bertahun-tahun rakyat hidup dalam ketakutan.
Tetapi ini tanah bukan sembarang tanah.
ia adalah tanah yang suci, tanah para nabi.
Berikutnya, kembali sang pembebas datang.
Namanya Salahudin.
Berabad-abad tanah itu dijaga,
kesejahteraan bukan sekadar dongeng pengantar tidur tetapi nyata adanya
Rahmat menyelimuti dalam waktu yang lama.
Tetapi lagi, ujian besar lagi-lagi menerpa kaum muslimin.
begitu besar, mengguncang, menyakitkan.
khilafah hancur,
Khalifah sang pelindung diusir
panji-panji berserakan.
Palestina ditinggalkan sendirian.
muslimin sibuk menjahit warna benderanya masing-masing
dan tak berhenti menggaris batas negara.
Pada episode inilah Yahudi masuk
menusukkan duri demi duri ke tubuhnya
dari luka itulah darah mengalir,
hari demi hari, tahun demi tahun.
Hari ini, di Gaza.
bayi-bayi lahir dalam terowongan sempit,
di atas kepala mereka,
dentuman roket menyalak seperti gonggongan anjing neraka.
Seorang ibu menggigil, bukan karena musim dingin,
tetapi karena darah anaknya telah kering di pelukannya.
Ayah-ayah yang tersisa, menggali reruntuhan dengan tangan kosong, menemukan potongan tubuh yang masih hangat.
Itu adalah anak kandungnya.
Itu adalah keponakannya.
Itu adalah anak tetangganya.
Entah berapa jumlah potongan tubuh yang telah mereka pungut dari puing.
Gaza adalah kota yang setiap pagi bangun dengan reruntuhan di ambang pintu. anak-anaknya belajar berhitung dari jumlah sirene dan dentum bom,
bukan dari papan tulis.
Di udara, bau mesiu bercampur dengan bau roti yang tak sempat masak.
orang-orang di sana tahu bahwa setiap hari bisa menjadi hari terakhir.
Tetapi mereka tetap menyalakan lampu, menyalakan doa, menyalakan harapan, meski listrik hanya hadir sebentar, meski air hanya menetes sebaris.
Di gaza, hidup adalah cara lain menyebut ketabahan.
dan derita adalah nama lain dari kesetiaan:
Kesetiaan pada tanah, pada rumah yang hanya tinggal bayangan,
pada Palestina yang tak pernah mereka tinggalkan.
Hari ini orang-orang memperingati hari lahirnya seorang nabi. di berbagai penjuru bumi, ada yang menari, ada yang barzanzi, ada yang terpekur dalam zikir malam yang panjang. ada yang tak henti henti melantukan shalawat.
Di sekolah-sekolah, di masjid-masjid, di tempat-tempat dengan jumlah muslimin yang begitu banyak, mereka memperingati maulid nabi dengan megah. membahas, sudahkah kita mencintai nabi?
Cinta kepada nabi bukanlah hiasan kata, ia adalah perintah yang menuntut ditegakkan: menaati syariatnya dengan sepenuh jiwa, merajut persatuan yang telah tercerai oleh batas buatan, memikul amanah jihad yang sering kita tinggalkan, dan mengingat bahwa cinta itu hanya sah bila sampai pada pembebasan Masjidil Aqsha, di mana nama beliau selalu disebut dengan air mata dan darah yang tertumpah.
Palestina adalah cermin yang retak di hadapan kita,
setiap pecahannya memantulkan wajah umat yang tercerai.
Darah yang mengalir di jalan Gaza bukan milik mereka saja,
melainkan darah kita yang sama merah.
tangisan di bawah puing bukan sekadar gema asing,
melainkan seruan yang mengetuk hati setiap muslim.
Ooo umat Muhammad, sampai kapan engkau diam?
bangkitlah, satukan langkahmu, karena persatuanmu adalah doa yang menjelma menjadi tentara, adalah cinta kepada nabi yang menolak kalah oleh zaman.
Sungguh, jalan terbaik kembali pada persaudaraan yang tak kenal batas: persatuan islam sebagai nafas yang mengangkat kembali kehormatan kita; tegaknya keadilan sebagai bayangan khilafah yang kita cita-citakan—bukan saja sebagai mahkota kuasa, tetapi juga sebagai payung bagi rakyat jelata
Bangkitlah, saudaraku, dari bumi yang merah dari kota-kota yang sunyi, dari kamp-kamp pengungsi.
Bangkitlah dari sajadah yang basah oleh air mata.
Bangkitlah dari tidur panjang, dari mimpi yang patah!
Kita telah mendengar seruan itu,
di masjid-masjid yang berdebu, di jalanan yang berlubang,
di setiap darah yang tumpah, di setiap azan yang parau,
Palestina memanggil, memanggil, memanggil!
Ooo kaum muslimin! apakah kita masih menikmati duduk-duduk di pelataran sejarah? sementara anak-anak kecil mendekap batu seperti mendekap ibu mereka yang tak kunjung pulang?
Wahai kaum muslimin!
Dimana tangan-tangan yang dulu mengangkat panji?
Dimana dada-dada yang tak pernah gentar oleh pedang?
Dimana lidah-lidah yang menggemakan takbir ke langit terbuka?
bangkitlah!
Jadilah sungai yang menerjang batu,
jadilah bendera yang robek tapi berkibar,
jadilah suara yang menembus pagar-pagar baja!
Hari ini, kita adalah satu tubuh!
jika satu luka, seluruh tubuh pun berdarah
jika satu menangis, seluruh jiwa pun merintih.
Kita bukan sekadar nama dalam paspor,
yang terbelenggu dengan batas batas negara.
Kita adalah ummat yang satu!
Kita adalah ummat yang satu!
bangkitlah, saudaraku!
Jangan tunggu bulan membelah malam.
Jangan tunggu hujan mencuci luka.
Jangan tunggu! jangan tunggu!
Karena bumi telah bersaksi
langit telah bersumpah
darah telah mengalirkan pesan:
Palestina memanggil.
Memanggil.
Memanggil.
Allahu Akbar.
Kuala Lumpur - Bogor
September 2025
Oleh: Pay Jarot Sujarwo
Aktivis Muslim
0 Komentar