Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Menyoal Media Sosial dalam Sistem Sekuler Liberal


Topswara.com -- Di era digital, hampir semua orang punya akun media sosial. Setiap hari kita disuguhi feeds penuh warna, ada yang berbagi cerita, pamer pencapaian, atau sekadar melempar candaan. 

Sekilas, dunia ini tampak penuh interaksi. Tetapi menariknya, justru di balik keriuhan itu, banyak orang merasa sepi. Fenomena ini dikenal dengan istilah lonely in the crowd sendiri di tengah keramaian.

Penelitian mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY mengangkat hal ini dalam riset berjudul “Loneliness in the Crowd: Eksplorasi Literasi Media Digital pada Fenomena Kesepian di TikTok melalui Kajian Hiperrealitas Audiovisual”. 

Mereka menemukan bahwa di dunia digital, apa yang tampak di layar sering kali dianggap lebih “nyata” daripada kehidupan sebenarnya. Akibatnya, emosi yang diciptakan oleh konten bisa sangat memengaruhi kondisi mental dan hubungan sosial seseorang.

Generasi Z: Paling Ramai di Layar, Paling Sepi di Hati

Tak sedikit riset lain yang menyebut Gen Z sebagai generasi paling kesepian. Ironis memang, karena mereka juga generasi paling aktif di media sosial. Jadi, meskipun notifikasi tak pernah berhenti berbunyi, rasa kosong tetap terasa.

Masalah ini seringkali dianggap sekadar persoalan kurangnya literasi digital atau manajemen waktu menggunakan gadget. Padahal, akarnya lebih dalam. Sosial media bukan sekadar alat komunikasi, melainkan mesin kapitalisme. 

Setiap klik, like, dan share jadi data berharga yang dijual demi keuntungan. Industri digital sengaja membuat kita betah berlama-lama di depan layar, walau akhirnya meninggalkan rasa hampa.

Kita bisa lihat di rumah-rumah saat ini, keluarga duduk bersama, tapi masing-masing sibuk menatap layar sendiri. Ada interaksi fisik, tetapi minim koneksi emosional. Semua ini adalah buah dari sistem sekuler liberal, di mana hidup dijalankan terpisah dari agama, sementara nilai pasar dan kebebasan individu dijadikan pedoman utama.

Asosial, Tidak Peduli, dan Lemah

Kesepian yang berlarut membuat banyak orang jadi asosial sulit bergaul di dunia nyata. Mereka nyaman bersembunyi di balik layar, tetapi kikuk saat berhadapan langsung dengan orang lain. Generasi muda yang mestinya jadi penggerak perubahan justru larut dalam pusaran scrolling tanpa henti.

Allah SWT sudah mengingatkan, hidup yang dijalani jauh dari aturan-Nya hanya akan menimbulkan kesempitan.

“Barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha [20]:124).

Ayat ini sangat relevan. Walaupun dunia maya tampak ramai, jika hati jauh dari Allah, yang muncul hanya rasa sepi. Hidup terasa kosong meski punya ribuan followers.

Lebih jauh, generasi yang sibuk dengan rasa sepi pribadinya akan kehilangan kepedulian sosial. Bagaimana mereka bisa peduli dengan umat Islam yang ditindas di Palestina, Uighur, atau bahkan masalah kemiskinan di sekitar mereka, kalau fokusnya hanya pada validasi diri? Akhirnya, yang lahir adalah generasi rapuh, gampang goyah, dan tak mampu menjadi tulang punggung peradaban.

Islam, Identitas yang Menguatkan

Fenomena lonely in the crowd sebenarnya bukan sekadar masalah mental health, tetapi buah dari sistem hidup sekuler-liberal. Di sistem ini, agama dipinggirkan, sementara kebebasan individu dijunjung setinggi-tingginya. Media sosial akhirnya dikuasai logika kapitalis, semua tentang keuntungan, bukan kebaikan.

Sebagai Muslim, kita harus sadar bahwa solusi utamanya bukan sekadar “diet sosmed” atau “detoks digital”. Solusi sejati ada pada kembali menjadikan Islam sebagai identitas utama. 

Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa bangun di pagi hari dan hanya memperhatikan urusan dunianya, maka ia tidak mendapatkan sesuatu pun dari Allah. Dan barang siapa yang tidak peduli dengan urusan kaum Muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka.” (HR. Thabrani).

Hadis ini menegaskan, seorang Muslim seharusnya tak terjebak pada urusan pribadinya semata. Ia harus peduli pada umat, harus punya visi besar. Identitas Islam inilah yang bisa membuat seseorang menempatkan media sosial secara proporsional sebagai sarana dakwah, edukasi, dan memperkuat ukhuwah, bukan tempat mencari pengakuan semu.

Peran Negara, Bukan Sekadar Urusan Individu

Tentu, kesadaran individu penting. Tetapi kalau sistemnya tetap sekuler-liberal, masalah ini akan terus berulang. Karena itu, peran negara juga sangat vital. Dalam sistem Islam (khilafah), pengelolaan dunia digital tidak diserahkan pada logika pasar bebas. Negara punya tanggung jawab memastikan teknologi digunakan sesuai syariat.

Konten yang merusak akidah dan moral akan dibatasi. Sebaliknya, media diarahkan untuk mendukung dakwah, memperkuat ilmu pengetahuan, dan melahirkan generasi produktif. Sejarah peradaban Islam menunjukkan, ketika syariat dijadikan dasar, ilmu dan teknologi berkembang pesat, tapi tetap berpijak pada nilai-nilai ruhiyah.

Jadi, solusi lonely in the crowd bukanlah sekadar “kurangi screen time” atau “perbanyak aktivitas offline”. Itu hanya tambalan sementara. Yang lebih fundamental adalah mengganti sistem yang rusak ini dengan sistem Islam yang menyeluruh.

Khatimah

Hari ini, kita hidup di tengah paradoks: serba terhubung, tetapi makin merasa kesepian. Media sosial, yang mestinya jadi alat silaturahmi, justru berubah menjadi mesin pencetak kesepian massal. Generasi muda yang seharusnya menjadi tumpuan harapan malah terjerat dalam rasa rapuh.

Islam sudah memberi solusi komprehensif. Individu diarahkan untuk menjadikan Islam sebagai identitas, keluarga diperkuat dengan nilai ukhuwah, dan negara bertugas memastikan dunia digital berjalan di jalur syariat.

Allah SWT berfirman:
“Barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran [3]:85).

Ayat ini mengingatkan kita, hanya Islamlah jalan selamat. Maka, sudah saatnya kita berhenti jadi korban sistem sekuler-liberal dan kembali kepada Islam kaffah. Dengan begitu, kita tak lagi hanya “ramai di layar tapi sepi di hati”, melainkan menjadi generasi yang kuat, produktif, dan peduli pada umat.

Wallahu a'lam bishshawab.


Oleh: Ema Darmawaty 
Praktisi Pendidikan 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar