Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Filisida Maternal, Tragedi Ibu di Sistem Rusak


Topswara.com -- Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan oleh peristiwa memilukan. Di Kabupaten Bandung, seorang ibu nekat mengakhiri hidupnya setelah diduga meracuni dua anaknya sendiri. Kasus ini langsung disorot Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan dikategorikan sebagai filisida maternal—pembunuhan anak oleh orang tua, khususnya ibu (antaranews.com, 5/09/2025).

Duka itu bukan satu-satunya. Agustus lalu kabar serupa muncul dari Batang, Jawa Tengah. Dua anak perempuan kakak beradik, berusia 6 dan 3 tahun, ditemukan tewas di Pantai Sigandu. Sang ibu, VM (31), ditemukan bersembunyi di toilet portabel tak jauh dari lokasi (metrotvnews, 18/08/2025).

Tragis. Seorang ibu, yang seharusnya menjadi tempat paling aman, penuh kasih dan pengorbanan, justru menjadi eksekutor bagi buah hatinya sendiri. Di sinilah kita harus bertanya lebih dalam: ada apa dengan sistem kehidupan kita?

Jangan Sederhanakan Tragedi Ini

Mudah bagi sebagian orang untuk menuding: “Dia kehilangan naluri keibuannya,” atau “Dia sakit jiwa.” Padahal, realitasnya tidak sesederhana itu. Banyak faktor saling terkait: tekanan ekonomi, konflik rumah tangga, kesepian, dan lemahnya jaring pengaman sosial.

Seorang psikolog forensik bahkan menyebut bahwa kasus filisida sering berawal dari hopelessness—perasaan putus asa yang menumpuk hingga ibu melihat anak bukan lagi anugerah, melainkan beban yang tak tertanggungkan. Kondisi kejiwaan yang rapuh ini tidak lahir dari ruang hampa, tetapi dari sistem yang gagal melindungi ibu dan keluarga.

Filisida maternal sejatinya bukan sekadar kasus individu. Ia adalah cermin retak dari sistem kehidupan yang sakit, di mana ibu menanggung beban hidup sendirian, tanpa perlindungan, tanpa jaminan, tanpa pegangan yang kokoh.

Sistem yang Membebani, Bukan Melindungi

Hari ini, perempuan dituntut “setara” dengan laki-laki, bahkan dalam medan mencari nafkah. Ibu bekerja keras di luar rumah, sementara tetap memikul tanggung jawab utama sebagai pengasuh anak. Akibatnya, ibu kelelahan lahir dan batin.

Ketika biaya hidup mencekik, harga kebutuhan pokok tak terkendali, pendidikan dan kesehatan makin mahal, sementara suami pun tak selalu mampu menanggung semua, beban ganda ini berubah menjadi tekanan luar biasa.

Negara seringkali hadir sekadar sebagai komentator. Pemerintah hanya menyampaikan belasungkawa, KPAI memberi label, psikolog menafsirkan, media menyiarkan sensasi. Tetapi solusi fundamental? Hampir tak pernah hadir. Maka wajar jika tragedi seperti ini terus berulang. Sistem yang membentuk masyarakat kita memang sedang sakit.

Islam Memberi Jalan Keluar

Dalam Islam, seorang ibu dimuliakan. Rasulullah SAW bersabda: “Surga berada di bawah telapak kaki ibu” (HR. Ahmad). Al-Qur’an menekankan pengorbanan ibu, seperti dalam QS. Luqman ayat 14: “Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun...”

Ibu tidak dituntut mencari nafkah. Islam mewajibkan suami, ayah, atau wali menanggung seluruh nafkahnya. Negara hadir untuk memastikan ayah bisa bekerja layak, pendidikan dan kesehatan gratis, sehingga ibu tidak memikul beban sendirian. Saat hamil dan menyusui, ibu mendapat keringanan tidak berpuasa agar kondisi fisik dan mental tetap terjaga.

Khalifah Menjaga Kesejahteraan Ibu

Sejarah mencatat perhatian khalifah pada kesejahteraan ibu begitu nyata. Saat Umar bin Khaththab ra. berpatroli malam, ia menemukan seorang ibu menenangkan anaknya yang lapar dengan memasak air agar anaknya merasa ada makanan. Umar menangis, lalu mengambil gandum dari baitul mal dan menyerahkannya sendiri kepada ibu itu.

Di masa Khalifah al-Walid bin Abdul Malik, rumah sakit khusus perempuan dibangun dengan tenaga medis perempuan. Ibu merasa aman dan nyaman secara mental saat dirawat, sedangkan bidan dan perawat digaji oleh negara. Semua ini membuktikan bahwa kesehatan fisik dan mental ibu dijamin sepenuhnya oleh sistem Islam.

Filisida maternal adalah peringatan pedih bahwa ada yang sangat salah dalam sistem kehidupan hari ini. Ibu tega membunuh anaknya bukan sekadar kehilangan naluri keibuan, tetapi jeritan sunyi dari realitas sosial ekonomi yang menindas.

Ibu hanyalah korban sistem. Sistem yang membiarkan ibu berjuang sendirian, hingga terseret tragedi. Islam memberi jawaban sistem yang akan menyelamatkan ibu, sehingga ia bisa menjadi ibu sejati yang penuh kasih, pencetak generasi emas dan tangguh untuk peradaban gemilang. []


Oleh: Zahida Ar-Rosyida
(Aktivis Muslimah Banua)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar