Topswara.com -- Bali kembali berduka. Banjir bandang menerjang pulau yang kerap digadang sebagai surga pariwisata dunia. Data menyebutkan, sedikitnya 123 titik terdampak di enam kabupaten/kota, 18 orang meninggal dunia dan ratusan mengungsi.
Tukad Badung yang dulu menjadi aliran kehidupan warga kini menyempit, ditekan bangunan yang berdiri di sekitarnya. Hutan di hulu Gunung Batur yang dulu seluas 49 ribu hektare, kini tersisa hanya 1.200 hektare.
Dalam dua dekade terakhir, jumlah akomodasi wisata hotel, vila, resort melonjak lebih dari dua kali lipat (kompas.id, 12/09/2025). Semua ini memperlihatkan betapa alam dipaksa tunduk pada nafsu kapitalisme yang haus devisa.
Diwartakan Beritasatu, 16/09/2025, mencatat alih fungsi lahan jadi sorotan utama penyebab banjir. Menteri LHK pun mengaku, selain cuaca ekstrem dan sampah, alih fungsi lahan masif untuk pariwisata adalah faktor utama (kumparan, 16/09/2025).
Penyebab utama banjir bukan semata hujan ekstrem, tapi alih fungsi lahan yang masif. Lahan produktif sawah, hutan, subak dikorbankan demi vila, hotel, dan kawasan wisata. Tata ruang hanya jadi formalitas di atas kertas, implementasi lemah, sementara banyak bangunan berdiri di bantaran sungai tanpa izin yang jelas.
Tata ruang dan RTRW yang sejatinya harus melindungi lingkungan hanya berfungsi sebagai formalitas. Bangunan megah berdiri di bantaran sungai, vila-vila mewah menancap di kaki gunung, bahkan sawah subak yang dulu menjadi identitas budaya Bali kini berubah jadi kolam renang privat.
Semua ini dilakukan dengan restu regulasi yang tunduk pada logika kapitalisme mengutamakan devisa dan investor ketimbang ekosistem dan rakyat.
Inilah wajah asli kapitalisme. Pembangunan dipacu demi devisa, sementara keberlanjutan ekologi diabaikan. Kapitalisme memandang alam semata komoditas: hutan bisa jadi dolar, sungai jadi objek wisata, gunung jadi tambang.
Maka tak heran, banjir, longsor, kekeringan, hingga krisis air bersih silih berganti menimpa rakyat. Kapitalisme haus devisa, tapi rakyat yang menanggung derita.
Islam memandang alam bukan sebagai barang dagangan, melainkan amanah Allah. Air, hutan, dan tanah adalah milik umum yang tidak boleh dikomersialisasi. Allah telah memperingatkan:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar-Rum: 41).
Rasulullah SAW juga menegaskan: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Artinya, pemimpin adalah ra’in (penggembala) yang wajib menjaga rakyat dan lingkungannya, bukan menggadaikan amanah demi kepentingan investor.
Sejarah membuktikan, di masa Khilafah Islam pengelolaan lingkungan dijalankan secara sistematis. Umar bin Khaththab ra. menetapkan ḥimā (kawasan lindung) untuk menjaga padang rumput dan air dari eksploitasi.
Utsman bin Affan ra. mewakafkan sumur Raumah agar masyarakat punya akses air yang layak. Pada era Abbasiyah, dibentuk lembaga pengelola irigasi dan hutan yang menjaga keseimbangan ekosistem.
Sementara di masa Khilafah Utsmaniah, ada regulasi tegas melindungi hutan dan lahan pertanian, memastikan distribusi air merata.
Dari sini jelas bahwa negara wajib menjaga tata ruang dan melindungi rakyat dari bencana, bukan menyerahkan pengelolaan lahan kepada logika pasar.
Khilafah menempatkan kepemimpinan sebagai penjaga amanah, sementara kapitalisme menempatkan penguasa sebagai regulator yang melayani kepentingan investor.
Apakah dalam negara khilafah alam boleh dijadikan objek wisata? Tentu bisa, tetapi bukan untuk komersialisasi rakus ala kapitalisme. Wisata dipandang sebagai sarana rekreasi sehat, edukasi, dan syiar, bukan sumber utama devisa. Itulah bedanya: dalam Islam, pembangunan berjalan selaras dengan kelestarian, bukan berbenturan.
Banjir di Bali adalah alarm keras. Setiap tetes air yang menggenangi rumah rakyat adalah air mata bumi yang dipaksa membayar mahal kerakusan kapitalisme. Jika sistem ini terus dipertahankan, jangan kaget jika tragedi serupa akan terus berulang, bukan hanya di Bali, tetapi di seluruh negeri.
Selama kapitalisme terus berkuasa, alih fungsi lahan akan terus dipandang sebagai “strategi pembangunan”, meski bumi semakin menjerit. Sawah bisa hilang, hutan bisa lenyap, sungai bisa mati semua demi devisa yang hanya mengalir ke segelintir orang. Rakyat dibiarkan terendam air mata, sementara investor menari di atas derita.
Hanya dengan kembali pada sistem Islam, bumi bisa benar-benar dijaga. Sebab dalam Islam, pembangunan tak pernah berarti menjual alam, melainkan menyeimbangkan kebutuhan manusia dengan kelestarian ekosistem.
Inilah peradaban yang mampu memastikan manusia, alam, dan aturan Allah hidup selaras. Dan inilah jalan yang akan menghentikan jerit bumi yang terus ditukar dengan devisa. []
Oleh: Zahida Ar-Rosyida
(Aktivis Muslimah Banua)
0 Komentar