Topswara.com -- Di tengah gegap-gempita pembangunan, Kalimantan Selatan (Kalsel) menekankan cetak sawah 30 ribu hektare, literasi pertanian lewat Kalsel Expo, dan perlindungan lahan produktif sebagai jalan menuju kemandirian pangan. Namun, di balik program ini, ketahanan pangan tetap rapuh.
Ketergantungan pada beras, pasar yang dikuasai impor, dan lemahnya keberpihakan negara pada petani membuat upaya ini tampak seperti tambal sulam. Kapitalisme menempatkan pangan sebagai komoditas dagang, bukan kebutuhan rakyat.
Padahal Islam memandang pangan sebagai amanah negara untuk kesejahteraan rakyat. Dalam sistem khilafah, tanah dikelola dengan adil, distribusi dikendalikan negara, petani diberdayakan, dan kedaulatan pangan dijaga. Sawah bisa dicetak kapan saja, tetapi daulat pangan hanya bisa dicetak dengan syariat.
Fakta menunjukkan Kalsel serius menggenjot produksi pangan. Program Cetak Sawah Rakyat ditargetkan seluas 30 ribu hektare pada 2025, dengan progres 60–70 persen hingga Juli (koranjakarta, 15/8/2025). Diversifikasi pangan lokal seperti singkong digalakkan untuk menekan inflasi dan meningkatkan ketahanan pangan (antara, 15/8/2025).
Operasi pasar murah juga digelar di lebih dari 99 titik oleh TPID Kalsel dan Bulog sepanjang semester pertama 2025, meliputi beras, minyak goreng, dan kebutuhan pokok lainnya (radarbanjarmasin, 14/8/2025).
Data ini terlihat menggembirakan, tapi belum cukup. Di balik statistik, ketahanan pangan Kalsel tetap rapuh karena akar masalah tidak tersentuh. Pertama, orientasi profit membuat lahan subur lebih menguntungkan bila dialihfungsikan menjadi sawit atau tambang, sehingga pangan rakyat menjadi prioritas kedua.
Kedua, liberalisasi pangan memberi ruang lebar bagi impor beras murah sehingga petani lokal kalah bersaing. Ketiga, negara yang lemah lebih berperan sebagai regulator dan fasilitator investor daripada pengelola langsung pangan rakyat. Ekonom Faisal Basri menilai bahwa impor berlebihan melemahkan ketahanan pangan nasional (katadata.co.id, 10/7/2025).
Sementara Greenpeace Indonesia menegaskan ekspansi sawit menekan lahan pangan rakyat (tempo.co, 22/5/2025). Hasilnya, cetak sawah rakyat tampak seperti tambal sulam: menutup lubang sementara tanpa menghentikan kebocoran utama.
Islam menawarkan jalan keluar yang jelas dan menyeluruh. Pangan bukan sekadar komoditas, melainkan amanah negara.
Pengelolaan lahan sesuai syariat yaitu tanah tidak boleh dibiarkan mati, dan negara memberi kepada yang mampu mengelolanya.
Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang memiliki tanah, hendaklah ia menanaminya; jika ia enggan, maka tanah itu diambil dan diberikan kepada orang lain yang mampu menanaminya” (HR. al-Bukhari).
Dalam negara khilafah, tanah dikelola oleh rakyat yang mampu meproduktifkannya, bukan korporasi. Distribusi dikendalikan negara: negara mencegah monopoli, menjaga stok dan harga, melindungi rakyat dari mafia pangan.
Allah SWT berfirman, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu menyuap (hak) hakim dengan maksud hendak memakan sebagian harta orang lain itu dengan dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah:188).
Distribusi adil adalah kewajiban negara untuk memastikan pangan sampai ke rakyat tanpa dieksploitasi. Dukungan penuh kepada petani berwujud irigasi, bibit unggul, teknologi pertanian, dan sarana pascapanen tersedia gratis atau murah, tanpa utang.
Rasulullah SAW bersabda, “Seorang pemimpin adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya” (HR. al-Bukhari, Muslim).
Negara hadir untuk memastikan petani produktif dan sejahtera. Menutup celah impor dan liberalisasi, yaitu impor hanya dilakukan dalam keadaan darurat, bukan permanen; produksi dalam negeri menjadi basis kedaulatan pangan.
Allah SWT menegaskan pentingnya kemandirian, “Allah menjadikan bumi ini sebagai tempat bagi kamu untuk menetap dan memanfaatkannya, dan Dia menurunkan air dari langit, sehingga kamu dapat menumbuhkan tanaman untuk kebutuhanmu” (QS. Al-Baqarah:22).
Produksi domestik menjadi fondasi kedaulatan pangan yang berkelanjutan. Dengan pendekatan Islam, ketahanan pangan bukan sekadar jargon, tetapi amanah nyata negara untuk kesejahteraan rakyat.
Negara hadir untuk rakyat, bukan investor. Distribusi adil, dukungan penuh kepada petani, dan produksi dalam negeri yang kuat menjadikan pangan stabil, harga terkendali, dan masyarakat sejahtera.
Dengan demikian, rapuhnya ketahanan pangan Kalsel mencerminkan kegagalan kapitalisme dalam mengelola sumber daya yang melimpah. Program cetak sawah atau diversifikasi pangan hanyalah solusi sementara.
Selama orientasi profit, liberalisasi pangan, dan lemahnya peran negara tidak diubah, ketahanan pangan akan tetap menjadi ilusi. Sawah bisa dicetak kapan saja, tetapi daulat pangan hanya bisa dicetak dengan syariat. []
Oleh: Zahida Ar-Rosyida
(Aktivis Muslimah Banua)
0 Komentar