Topswara.com -- Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyamakan kewajiban membayar pajak dengan ibadah zakat dan wakaf memicu diskusi luas di tengah masyarakat (cnbcindonesia, 14/08/2025). Ungkapan tersebut dinilai sebagai upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara yang sedang menurun.
Kondisi ini memperlihatkan betapa vitalnya peran pajak dalam menopang perekonomian Indonesia saat ini. Hingga kini, pajak tetap menjadi tulang punggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Demi mengamankan pendapatan, pemerintah tidak hanya mengandalkan jenis pajak yang ada, tetapi juga memperluas cakupannya, seperti pajak karbon, pajak warisan, dan pajak atas kepemilikan rumah ketiga menjadi contoh target baru yang sedang diincar.
Sementara itu, pajak yang sudah berlaku, seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), mengalami kenaikan signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Langkah-langkah ini tentu semakin memberatkan masyarakat, terutama di tengah situasi ekonomi yang belum stabil. Kenaikan pajak yang berulang-ulang menambah beban rakyat kecil, sementara dampak positifnya terhadap kesejahteraan publik seringkali tidak terlihat.
Dalam kerangka kapitalisme yang diadopsi oleh negara, pajak diposisikan sebagai tulang punggung perekonomian. Namun, pada saat yang sama, sumber daya alam yang seharusnya menjadi kekayaan milik bersama justru diserahkan kepada pihak swasta, termasuk perusahaan asing.
Situasi ini menciptakan paradoks dimana rakyat dipaksa menyumbang lebih banyak melalui pajak, sedangkan kekayaan alam yang melimpah tidak sepenuhnya dinikmati untuk kepentingan mereka.
Akibatnya, jurang kesenjangan semakin melebar. Rakyat kecil merasa tercekik oleh beban finansial, sementara kelompok kaya dan korporasi besar justru semakin makmur. Berbagai kebijakan bahkan tampak berpihak kepada pemilik modal.
Undang-undang yang disahkan kerap memfasilitasi kepentingan mereka, termasuk kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) yang memberi keringanan kepada pelanggar pajak dari kalangan elit ekonomi.
Pajak saat ini jelas menjadi beban berat yang dipikul oleh rakyat dan seringkali tidak sebanding dengan manfaat yang mereka terima. Dana yang terkumpul dari pajak kerap dialokasikan untuk proyek-proyek berskala besar yang lebih menguntungkan korporasi dibandingkan meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin.
Alhasil, pajak bukan menjadi alat pemerataan kesejahteraan, tetapi justru memperkokoh dominasi kaum kapitalis atas dasar perekonomian negara.
Berbeda dengan kapitalisme, Islam memiliki pandangan tersendiri terkait kewajiban finansial. Pajak dalam Islam tidak bisa disamakan dengan zakat atau wakaf. Zakat merupakan kewajiban individu Muslim yang hartanya telah mencapai nisab dan haul, sedangkan wakaf bersifat sukarela.
Adapun pajak yang padanan bahasanya dalam Islam disebut dharibah hanya diberlakukan dalam kondisi khusus yaitu ketika kas negara kosong dan kebutuhan mendesak harus dipenuhi misalnya untuk pembiayaan perang/jihad.
Bahkan, pajak hanya dibebankan kepada laki-laki Muslim yang mampu secara finansial. Prinsip ini dijelaskan dalam kitab Al Amwal dan sifatnya hanya sementara sampai kas negara terpenuhi kembali, bukan permanen seperti saat ini.
Selain itu, dalam sistem pemerintahan Islam (khilafah), sumber pemasukan negara tidak bergantung pada pajak. Baitul Mal memiliki beragam sumber pendapatan, termasuk pengelolaan sumber daya alam yang menjadi milik umum dan sepenuhnya dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat.
Zakat pun menjadi salah satu sumber penting, tetapi penyalurannya telah ditentukan syariat, yakni hanya kepada delapan golongan (asnaf) yang disebutkan dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60.
Negara khilafah akan menerapan sistem ekonomi Islam secara menyeluruh (kaffah) sehingga mampu menciptakan kesejahteraan yang merata.
Dengan negara mengelola langsung kekayaan alam dan memastikan distribusi yang adil, rakyat tidak lagi terbebani pajak yang memberatkan. Setiap kebijakan ekonomi diarahkan untuk kemaslahatan umum, bukan keuntungan segelintir elit.
Dalam pandangan Islam, pajak hanyalah instrumen darurat, bukan sumber utama pendapatan negara. Dengan demikian, perbedaan mendasar antara sistem kapitalisme dan sistem Islam utamanya adalah bahwa dharibah jelas bersumber dari syariat sehingga pasti tidak akan menyengsarakan masyarakat; sedangkan kapitalisme cenderung menguntungkan pemilik modal.
Islam menempatkan kesejahteraan seluruh rakyat bahkan kesejahteraan tiap-tiap individu dalam bingkai syariat sebagai tujuan utama.
Oleh: Ratna Mufidah, SE.
Aktivis Muslimah
0 Komentar