Topswara.com -- “Kemerdekaan bangsa harus disertai kemerdekaan jiwa dari kebodohan, serta menolak sistem yang membuat rakyat tertindas” (KH. Ahmad Dahlan).
Quotes dari ulama besar yang hidupnya diabdikan untuk dakwah dan pendidikan ini, kiranya tepat direnungkan. Indonesia sudah delapan dekade lebih merdeka.
Namun, potret bangsa sekarang justru memunculkan tanda tanya: apakah rakyat benar-benar telah menikmati makna merdeka? Sebab pendidikan dan kesehatan dua kebutuhan dasar yang mestinya dijamin negara masih menjadi barang mewah yang sulit dijangkau rakyat kecil.
Potret Buram Pendidikan dan Kesehatan
Realita pendidikan di negeri ini masih jauh dari kata merata. Laporan Kompas (15/8/2025) menggambarkan kondisi miris di Seko, Luwu Utara, Sulawesi Selatan: sekolah minim sarana, akses menuju lokasi sangat sulit, anak-anak harus berjalan berjam-jam menempuh jalan terjal demi bisa belajar. Fakta ini bukanlah kasus tunggal, melainkan potret banyak daerah di pelosok negeri.
DPR RI pun mengakui bahwa angka partisipasi sekolah jenjang SMA menurun signifikan (CNN Indonesia, 14/8/2025). Pendidikan tinggi masih menjadi kemewahan, hanya dapat diakses bagi mereka yang mampu secara finansial.
Hal serupa terjadi di sektor kesehatan.
Dilansir dari Inilah.com (14/8/2025) menegaskan fasilitas kesehatan masih menjadi barang mahal. Menteri Perdagangan, Zulhas, bahkan mengakui bahwa setelah 80 tahun merdeka, Indonesia masih berkutat dengan gizi buruk dan stunting (MetroTV News, 15/8/2025).
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menambahkan, layanan kesehatan di Indonesia belum merata (RRI, 14/8/2025). Legislator PKB pun menegaskan, masih banyak daerah kekurangan dokter dan perawat (Detik News, 15/8/2025).
Pendidikan: Hak yang Diperdagangkan
Hari ini, pendidikan bukan lagi ruang memanusiakan manusia. Gedung sekolah reyot masih berdiri di pelosok, sementara sekolah unggulan berfasilitas modern hanya hadir di kota besar dengan biaya selangit.
Antonius Benny Susetyo (Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP) mengingatkan bahwa pendidikan kini dibayangi kapitalisme global. Menurutnya, “akses terhadap pendidikan yang berkualitas semakin terbatas, hanya mereka yang memiliki kemampuan ekonomi yang mampu mengaksesnya” (MonitorIndonesia.com, 11/9/2024).
Pendidikan akhirnya tidak lagi menjadi sarana mencerdaskan bangsa, melainkan instrumen ekonomi. Akibatnya, anak-anak miskin makin tertinggal. Potensi mereka yang seharusnya menjadi generasi penerus bangsa justru terkubur karena pendidikan telah dikomersialisasi.
Kesehatan: Nyawa Ditentukan Uang
Di sisi lain, layanan kesehatan juga bernasib serupa. Rumah sakit megah berteknologi canggih memang ada, tetapi hanya di kota besar. Di pedalaman, rakyat harus menempuh perjalanan panjang untuk berobat—sering kali terlambat hingga kehilangan nyawa.
Prof. Dante Saksono Harbuwono (Wakil Menteri Kesehatan) menyebut, biaya kesehatan Indonesia sangat tinggi karena sistem layanan masih berorientasi kuratif, bukan promotif dan preventif (CNN Indonesia, 2/2025).
Artinya, rakyat terjebak: sudah miskin, masih dipaksa membayar mahal ketika sakit.bInilah fakta pahit: nyawa rakyat kecil sering kali bergantung pada isi dompet. Yang kaya bisa memilih rumah sakit swasta dengan layanan cepat. Yang miskin menunggu antrean panjang di fasilitas seadanya bahkan pulang tanpa penanganan layak.
Logika Kapitalisme: Untung, Bukan Kemanusiaan
Jika ditarik benang merah, logika kapitalisme; layanan berkualitas hanya diberikan di daerah bernilai ekonomi tinggi, sementara wilayah terpencil dibiarkan apa adanya. Sekolah unggulan untuk yang mampu membayar. Rumah sakit modern untuk yang berduit.
Kapitalisme menegasikan prinsip keadilan sosial. Ia memandang rakyat bukan sebagai manusia yang butuh dilayani, melainkan pasar yang bisa dieksploitasi.
Pendidikan dan kesehatan berubah menjadi komoditas. Inilah bentuk penjajahan gaya baru, yang justru lebih licik dibanding kolonialisme klasik.
Negara sebagai Penanggung Jawab Utama
Islam memandang berbeda. Pendidikan dan kesehatan bukan komoditas, melainkan hak publik yang wajib dijamin negara. Rasulullah SAW bersabda: "Imam (khalifah) adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya" (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dalam sistem Islam, negara hadir sebagai raa’in (pengurus rakyat), bukan pedagang kebutuhan dasar. Negara memastikan sekolah gratis, merata, dan berkualitas. Kurikulum dibangun untuk mencetak generasi cerdas, beriman, dan berkepribadian mulia, bukan sekadar tenaga kerja murah bagi pasar global.
Di bidang kesehatan, Islam menjamin layanan gratis tanpa diskriminasi. Rumah sakit, puskesmas, dokter, perawat, hingga obat-obatan disediakan negara untuk seluruh rakyat, Muslim maupun non-Muslim.
Sejarah mencatat, bimaristan (rumah sakit Islam) di masa kekhilafahan melayani pasien tanpa biaya, bahkan menyediakan perawat khusus bagi pasien perempuan.
Sumber dana untuk semua itu tidak berasal dari pajak mencekik atau utang luar negeri. Islam memiliki mekanisme baitul maal dengan pemasukan berlimpah dari pengelolaan kekayaan alam.
Harta milik umum seperti tambang, energi, hutan, dan laut dikelola negara sesuai syariat, hasilnya dikembalikan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat.
Sejarah emas Islam membuktikan hal ini. Pada masa Abbasiyah, pendidikan maju dengan berdirinya baitul hikmah, melahirkan ilmuwan besar dunia. Pada masa Daulah Utsmaniyah, layanan kesehatan begitu maju hingga menjadi rujukan Eropa. Semua lahir dari paradigma Islam yang menempatkan negara sebagai pengurus, bukan kapitalis.
Merdeka sejati bukan sekadar bebas dari penjajah asing, melainkan bebas dari sistem penindas yang mengekang rakyat dalam kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.
Kapitalisme telah membuktikan gagal memberi keadilan. Indonesia butuh keberanian untuk mengambil jalan perubahan mendasar meninggalkan sistem kapitalis yang zalim, dan beralih kepada sistem Islam yang menempatkan negara sebagai pengurus rakyat, bukan pedagang yang memperjualbelikan hak dasar mereka. Barulah kemerdekaan yang hakiki terwujud: rakyat bebas, sejahtera, dan mulia di bawah naungan sistem yang adil. []
Oleh: Zahida Ar-Rosyida
(Aktivis Muslimah Banua)
0 Komentar