Topswara.com -- Pemerintah, melalui data Badan Pusat Statistik (BPS) mengklaim tingkat kemiskinan di Indonesia menurun. Namun apakah memang demikian faktanya? Pasalnya banyak kalangan yang meragukan keakuratan data tersebut.
Seperti yang dikatakkan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti. Ia rilis BPS soal data kemiskinan karena dinilai tak sesuai dengan fakta di lapangan.
Menurutnya, banyak PHK (pemutusan hubungan kerja) besar-besaran terjadi, juga ketika dibuka sedikit lowongan kerja, yang daftar sampai mengantre. Menurut pandangannya artinya garis kemiskinan itu tidak ter-update (Tirto.id, 27/7/25).
Masih dilaman yang sama, garis kemiskinan pada Maret 2025 berdasarkan survei sosial ekonomi nasional (Susenas) sendiri Rp 609.160 per kapita per bulan, atau sekira Rp20.305 per hari.
Dengan menggunakan data tersebut, menurut Esther, di zaman sekarang pendapatan 1 juta per bulan saja bisa dapat apa? Mereka tetap termasuk golongan miskin. Ukuran kemiskinan tersebut tidak benar.
BPS sendiri mengklaim kemiskinan turun, padahal banyak PHK di mana-mana. BPS juga menggunakan garis kemiskinan nasional pada Maret 2025 sebesar 20.305 perhari.
Dengan kondisi ekonomi sekarang, bahan pokok makanan naik dan kebutuhan pokok seperti listrik dan bahan bakar juga tidak kalah melonjak yang mengakibatkan tekanan hidup semakin berat bagi rakyat jelata.
Rakyat tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa pasrah dan berdoa untuk bisa berjuang dalam tekanan beban ekonomi yang ditanggung sendiri tanpa adanya peran negara yang membantu.
Angka kemiskinan ekstrim memang menurun di atas kertas, faktanya standar kemisknan juga rendah, terbukti dengan masih mengadopsi PPP (purchasing power parity) tahun 2017 sebagai acuan tingkat kemiskinan ekstrem nasional yakni USD 2,15 (20.000/hari).
Ini mengindikasikan adanya manipulasi statistik untuk menunjukkan proyek semu. Sistem ekonomi kapitalisme lebih peduli pada citra ekonomi daripada realita keadaan rakyat yang menderita.
Data kemiskinan yang dikeluarkan BPS merupakan hal yang tak lazim untuk bisa dicerna nalar dengan acuan PPP 2017. Bisa dibayangkan kondisi ekonomi pada 2017 hingga sekarang 2025 sudah sangatlah jauh berbeda. Nilai kebutuhan tidak sama dengan dulu.
Data yang dikeluarkan BPS tidak valid dan tidak sesuai dengan kondisi yang ada sekarang. Dengan banyaknya PHK yang terjadi di tahun 2025 salah satunya Sritex, yakni perusahaan besar yang tutup dan tidak bisa bertahan dengan PHK belasan ribu karyawanya.
Kabar terbaru yang diberitakan Depoknews, (1/8/2025), ada demo yang dilakukan karyawan Pabrik Poly Jaya Medical karena sudah delapan bulan karyawannya tidak mendapatkan gaji secara layak dengan dibayar hanya 50 ribu seminggu. Mereka menuntut kejelasan pabrik atas status sebagai pekerja.
Jika dilihat, terjadinya PHK secara besar-besaran adalah salah satu indikasi meningkatnya kemisknan. Jadi data yang dikeluarkan BPS tidak bisa diterima.
Pasalnya, saat ini masyarakat banyak yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan dan kesehatan dengan standar hidup yang layak. Sehingga menjadikan kemiskinan ekstrem.
Akar kemiskinan ekstrim terletak pada sistem ekonomi kapitalis yang menciptakan jurang kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Kekayaan menumpuk di segelintir elite sementara akses terhadap pendidikan, kesehatan dan pekerjaan yang layak semakin mahal dan sulit.
Alih-alih mengurus kesejahterahan rakyat dan berusaha bisa mengentaskan angka kemiskinan yang semakin meningkat, negara malah membuat data seakan kemiskinan itu bukan masalah serius. Seakan mau berlepas tangan dengan keadaan masyarakat yang serba kesulitan.
Negara dalam sistem kapitalis tentu saja hanya berperan sebagai pengelola angka dan fasilisator pasar bebas dengan segala keputusan dan kebijakan yang menguntungkan dan mempermudah bagi para pemilik modal saja.
Serta solusi yang ditawarkan tidak pernah menyentuh akar permasalahan sehingga menjadikan sistem ekonomi yang cacat dan menindas rakyat.
Berbeda dengan sistem khilafah, negara melaksanakan perannya sebagai pengurus rakyat dan dengan jelas bertanggung jawab penuh atas kebutuhan dasar rakyat seperti pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan.
Dengan mengelola sumber daya alam secara maksimal, maka negara bisa menciptakan lapangan pekerjaan yang layak untuk mencukupi kebutuhan rakyatnya dan negara bertindak untuk kemaslahatan umat bukan untuk dikomersialkan.[]
Oleh: Cutiyanti
Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok
0 Komentar