Topswara.com -- Dalam tradisi Sunda, istilah "kiai" atau "kyai" tidak hanya merujuk pada seorang tokoh agama Islam. Gelar "kiai" atau "kyai" mencakup pula peran sosial, moral dan bahkan politik. Kiai/kyai menjadi figur sentral dalam membentuk nilai, memberikan keteladanan, serta menjadi rujukan umat.
Namun demikian, realitas sosial membuktikan bahwa tidak semua yang disebut "kiai/kyai" mencerminkan nilai-nilai ideal tersebut.
Meminjam kosakata dalam Bahasa Sunda, setidaknya dikenal lima tipe kiai/kyai: "Kiai Ajeg", "Kiai Ajug", "Kiai Ojeg", "Kiai Ajag", dan "Kiai Ujug-ujug".
Klasifikasi ini bukan sekadar permainan bunyi, tetapi gambaran nyata tentang keberagaman karakter para tokoh agama tersebut di tengah masyarakat.
Tulisan ini mencoba mengurai kelima tipologi kiai/kyai tersebut dalam kerangka kritik sosial dan pendekatan syariah Islam. Ini semata-mata sebagai otokritik terhadap realitas dakwah kontemporer.
1. "Kiai Ajeg" (Kiai yang Istiqamah di Atas Kebenaran)
"Kiai Ajeg" adalah representasi ideal seorang ulama rabbani. Ia teguh dalam keimanan, istiqamah dalam dakwah serta bersih dari kepentingan duniawi. Ia menjadi penjaga kebenaran meski dihadapkan pada tekanan, rayuan, maupun ancaman pihak lain, terutama penguasa.
Allah SWT berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ
Sesungguhnya orang-orang yang berkata "Tuhan kami adalah Allah," kemudian mereka istiqamah, maka malaikat akan turun kepada mereka..." (QS Fushshilat [41]: 30).
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
قل: آمنت بالله. ثم استقم!
Katakanlah, "Aku beriman kepada Allah." Lalu istiqamahlah! (HR Muslim).
Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitab, Jaami’ al-‘Uluum wa al-Hikam, menjelaskan bahwa istiqamah adalah menempuh jalan lurus, yaitu agama yang lurus, tanpa menyimpang ke kanan atau ke kiri.
Imam al-Ghazali menyebutkan dalam salah satu kitab masterpiece-nya, Ihyaa’ ‘Uluum ad-Diin, bahwa salah satu sifat utama para ulama waratsatul anbiya adalah al-istiqaamah ‘ala al-haqq (teguh di atas kebenaran).
Kiai/kyai seperti inilah yang dirindukan umat, dan yang menjadi warisan para nabi. Salah satu contoh terbaik dalam sejarah dari tipikal ulama jenis ini adalah Imam Ahmad bin Hanbal rahimahulLaah.
Beliau sempat dipenjara dan disiksa di era Khalifah al-Ma'mun karena keteguhan beliau menolak dengan tegas doktrin Muktazilah tentang "khalq al-Qur'aan" bahwa al-Quran adalah makhluk yang didukung oleh khalifah saat itu.
2. "Kiai Ajug" (Kiai yang Menerangi Umat, Tetapi Melalaikan Diri Sendiri)
Kata “Ajug” dalam bahasa Sunda melukiskan sesuatu seperti lilin: memberi cahaya, namun membakar dirinya sendiri. Begitulah "Kiai Ajug". Ia sibuk berdakwah, mengajar dan melayani umat. Namun, ia kadang lupa mendidik dan membina keluarganya. Ia bahkan lalai terhadap nasibnya sendiri di akhirat.
Allah SWT telah memperingatkan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ - كَبُرَ مَقۡتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُواْ مَا لَا تَفۡعَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian perbuat? Sungguh kebencian yang besar di sisi Allah karena kalian mengatakan apa yang tidak kalian lakukan. (QS ash-Shaff [61]: 2-3).
Nabi ﷺ juga bersabda, “Perumpamaan seorang alim yang mengajarkan kebaikan, namun ia lupa pada dirinya, adalah seperti pelita: menerangi orang lain, tetapi membakar dirinya sendiri.” (HR ath-Thabarani).
"Kiai Ajug" harus segera membenahi keseimbangan antara amal dakwah dan perhatian terhadap amal pribadi. Jangan sampai ia menjadi lilin yang menghanguskan diri sendiri.
3. "Kiai Ojeg" (Kiai yang Berdakwah Hanya Jika Dibayar)
Sebagaimana tukang ojek yang hanya bekerja bila dibayar, "Kiai Ojeg" hanya mau berdakwah jika ada honor, amplop atau transfer. Jika tidak, ia malas bahkan enggan berdakwah. Ia akan memprioritaskan undangan ceramah dakwah dengan bayaran tinggi daripada ceramah dakwah yang bayarannya kecil.
Dakwah bagi dirinya adalah komoditas, bukan amanah. Ia mematok tarif untuk ceramah, bahkan menentukan "paket" khutbah. Seperti tukang ojek. Dakwah bagi dirinya bukan misi, tetapi profesi semata. Tidak ada amal karena Allah SWT. Yang ada hanyalah tarif.
Padahal para nabi tidak pernah meminta imbalan atas dakwah:
يَا قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا
Wahai kaumku, aku tidak meminta upah (imbalan) dari kalian atas dakwah ini. (QS Hud [11]: 29).
اتَّبِعُوا مَن لَا يَسْأَلُكُمْ أَجْرًا وَهُم مُّهْتَدُونَ
Ikutilah oleh kalian orang yang tidak meminta imbalan (upah) kepada kalian dan mereka mendapat petunjuk. (QS Yasin [32]: 21).
Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Siapa saja yang mempelajari ilmu yang semestinya ditujukan untuk mengharap wajah Allah, namun ia mempelajari ilmu itu hanya untuk memperoleh dunia, maka ia tidak akan mencium bau surga pada Hari Kiamat. (HR. Abu Dawud).
Imam Ibn Hazm rahimahulLaah berkata dalam Al-Akhlaaq wa as-Siyar:
لا خيرَ في عالِمٍ لا يُريدُ بعلمِه إلَّا المالَ والجَاهَ
"Tidak ada kebaikan dalam diri seorang alim yang menginginkan dengan ilmunya kecuali harta dan kehormatan."
"Kiai Ojeg" mengaburkan batas antara amanah dan bisnis. Bukan berarti semua kompensasi salah. Yang salah adalah mengkomersialkan dakwah. Sebabnya, dakwah adalah kewajiban. Bukan jalan untuk mencari cuan.
4. "Kiai Ajag" (Kiai yang Tunduk pada Pemberi "Tulang", Bukan kepada Allah SWT)
"Ajag" dalam bahasa Sunda merujuk pada anjing hutan atau serigala Jawa: hewan liar, buas, dan rakus.
"Kiai Ajag" mungkin istilah yang kasar. Namun, ini sekadar metafora. Dalam kiasan sosial, istilah ini disematkan kepada kiai/kyai yang setia kepada pemilik “tulang” (harta, jabatan, atau kekuasaan), bukan kepada al-haq.
"Kiai Ajag" adalah simbol ulama yang menjual agama demi dunia. Dia mengubah fatwa sesuai kehendak pemodal. Loyalitasnya bukan pada Islam dan kepada umat, tetapi pada kekuasaan yang memberi dia manfaat. Dia tak segan-segan akan "menyerang" para ulama yang lurus yang berseberangan dengan penguasa yang telah memberi dia uang atau jabatan.
Dengan kata lain, "Kiai Ajag" adalah metafora untuk kiai/kyai yang setia bukan pada kebenaran, tetapi kepada siapa pun yang memberi dia "tulang" (baca: uang, jabatan, fasilitas). Kiai/kyai tipe ini tunduk pada kepentingan duniawi dan mudah diperdaya oleh uang dan kekuasaan.
Dia, misalnya, tak segan-segan membela oligarki yang menjadi tuannya, padahal sang oligark telah merampas tanah rakyat. Dia pun biasa "menggonggong" kepada siapa saja yang berseberangan dengan penguasa yang menjadi majikannya, padahal penguasa tersebut sering menzalimi rakyatnya.
Allah SWT memperingatkan kiai atau ulama semacam ini:
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَكۡتُمُونَ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَيَشۡتَرُونَ بِهِۦ ثَمَنًا قَلِيلًا أُوْلَٰٓئِكَ مَا يَأۡكُلُونَ فِي بُطُونِهِمۡ إِلَّا ٱلنَّارَ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ ٱللَّهُ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمۡ وَلَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Sungguh orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Kitab, dan menjualnya dengan harga murah, mereka hanya menelan api neraka ke dalam perutnya dan Allah tidak akan menyapa mereka pada Hari Kiamat, dan tidak akan menyucikan mereka. Mereka akan mendapat azab yang sangat pedih. (QS al-Baqarah [2]: 174).
Allah SWT juga berfirman: وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِين وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَٰكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْب
Bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepada dia ayat-ayat Kami. Kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu. Lalu dia diikuti oleh setan. Selanjutnya jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Jika Kami menghendaki, niscaya Kami mengangkat (derajat)-nya dengan ayat-ayat itu. Akan tetapi, dia lebih cenderung pada dunia dan mengikuti hawa nafsunya. Karena itu perumpamaannya adalah seperti anjing... (QS. al-A'raf [7]: 175–176).
Nabi Muhammad ﷺ juga bersabda:
بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا، وَيُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا
"Segeralah kalian beramal sebelum datang fitnah seperti potongan malam yang gelap gulita. Ada orang yang pada pagi harinya beriman, lalu pada sore harinya menjadi kafir. Ada pula yang pada sore harinya beriman, lalu pada pagi harinya menjadi kafir. Ia menjual agamanya dengan kepentingan dunia." (HR Muslim).
Rasulullah ﷺ juga bersabda, "Celakalah hamba dinar, dirham, dan pakaian mewah..." (HR al-Bukhari).
Karena itulah Imam al-Ghazali rahimahulLaah berkata: "Aku berlindung kepada Allah agar kalian tidak termasuk ulama su' (buruk), yang menjadikan agama sebagai tangga untuk meraih dunia. Mereka menjual agama mereka dengan harga dunia yang murah. Karena itu rugilah mereka di dunia dan akhirat... Sebagian ulama menjual agamanya demi dunia. Ia berkata tanpa ilmu atau diam dari kebenaran.” (Al-Ghazali, Ihyaa’ 'Uluum ad-Dīn, 1/53–54).
Banyak ulama mencela sikap ulama lain yang menjual ilmunya semata-mata demi mendapatkan dunia. Ibn al-Jawzi rahimahulLaah, misalnya, mengecam ulama yang mendekati penguasa demi dunia (Ibnu al-Jauzi, Talbiis Ibliis, hlm. 168–169).
Imam al-Hasan al-Bashri rahimahulLaah juga menyebut ulama pencari dunia (harta, jabatan dan prestise) sebagai orang tersesat (Al-Asfahani, Hilyah al-Awliyaa,’ 2/147).
Ulama atau kiai/kyai semacam ini sangat berbahaya. Mereka adalah penyebab rusaknya umat. Mereka menggadaikan agamanya semata-mata demi jabatan dan harta.
5. "Kiai Ujug-Ujug" (“Kiai Dadakan”)
Dalam bahasa Sunda, “ujug-ujug” berarti tiba-tiba/mendadak. Kiai tipe ini muncul tiba-tiba. Ia viral karena retorika atau kontroversi, lalu dipanggil “kiai”.
Padahal ia tidak memiliki pondasi keilmuan Islam. Ia tidak pernah mondok, tidak belajar secara sistematis, dan tidak dikenal dalam jejaring ulama. Namun, ia mengklaim otoritas agama, atau diposisikan oleh masyarakat sebagai sosok ulama.
Dengan kata lain, "Kiai Ujug-Ujug" adalah sindiran untuk mereka yang tiba-tiba muncul di publik sebagai “kiai”, tanpa sanad, tanpa thalabul ‘ilmi dan tanpa penguasaan ilmu-ilmu syar’i. Mereka muncul karena viral, lucu, atau populer di media sosial. Bukan karena keilmuannya.
Fenomena ini adalah gejala populisme agama yang mengkhawatirkan.
Allah berfirman SWT berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
Janganlah kamu mengatakan sesuatu tanpa ilmu. (QS al-Isra' [17]: 36).
Rasulullah saw. juga bersabda:
*إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا، وَلَكِنْ يَقْبِضُهُ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا، اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا، فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا*
"Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu sekaligus dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu itu dengan mewafatkan para ulama. Jika tak tersisa lagi seorang alim pun, manusia akan mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Mereka ditanya, lalu berfatwa tanpa ilmu. Mereka ini sesat dan menyesatkan." (HR al-Bukhari dan Muslim).
Karena itu Imam Malik rahimahulLaah memperingatkan, “Ilmu tidak boleh diambil dari empat golongan: orang bodoh, pengikut hawa nafsu, pendusta dan orang shalih yang tak tahu apa yang ia katakan.” (Ibn ‘Abd al-Barr‘, Jaami' Bayaan al-‘Ilm, 2/133).
Imam asy-Syafi’i rahimahulLaah juga berkata:
مَنْ تَصَدَّرَ قَبْلَ أَوَانِهِ، فَقَدْ تَصَدَّى لِهَوَانِهِ
Siapa saja yang tampil sebelum waktunya (sebelum cukup ilmunya), maka ia telah menyiapkan kehinaan dirinya."
Karena itu siapa pun harus kembali memuliakan sanad keilmuan, bukan bertumpu pada kepopuleran sesaat.
Cermin bagi Kita Semua
Kelima tipikal kiai/kyai di atas hendaknya dijadikan semacam otokritik sekaligus cermin diri.
Agama dan umat ini tentu berharap banyak dan sangat butuh kepada para Kiai Ajeg, yang teguh di atas kebenaran. Bukan kepada "Kiai Ajug", yang melupakan keselamatan dirinya di akhirat.
Bukan kepada "Kiai Ojeg", yang berdakwah semata-mata demi bayaran. Bukan kepada "Kiai Ajag," yang menjual agama demi meraih dunia. Bukan pula kepada "Kiai Ujug-ujug" atau "Kiai Dadakan" yang tampil tanpa ilmu dan hanya bermodal popularitas dan viralitas semata.
Semoga Allah SWT menjadikan kita semua bagian dari para ulama yang ikhlas, rabbani dan istiqamah dalam mendakwahkan Islam. Tentu semata-mata demi mewujudkan 'izzah al-Islaam wa al-Muslimiin. Juga semata-mata demi meraih ridha-Nya. Aamiin.
Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah. []
Oleh: Arief B. Iskandar
(Khadim Ma'had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah, Bogor)
0 Komentar