Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kapitalisme Sukses Membuat Kemiskinan Menurun kepada Anak Cucu


Topswara.com -- Pernah enggak sih kamu denger kabar bahagia versi pemerintah yang bikin kita pengen ketawa, tetapi sambil garuk-garuk kepala? Katanya nih, kemiskinan di Indonesia menurun. Wow, keren dong? Tetapi tunggu dulu, menurun ke mana? Ke anak cucu kah? Soalnya tiap buka dompet, isinya masih sama, angin segar dan catatan bon warung tetangga.

Dilansir dari cnnindonesia.com (26/7/2025), menurut Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin per Maret 2025 turun 0,10 persen jadi 8,47 persen. Wuih, kayak promo diskon minimarket, kecil tetapi dibikin heboh. 

Jumlah penduduk miskin juga katanya turun 210 ribu orang, tetapi anehnya, jumlah penduduk miskin di kota malah naik 220 ribu orang. Lah, kok bisa? Ini kayak diet tetapi berat badan naik, pusing enggak sih?

Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Pak Ateng Hartono, bilang kenaikan jumlah orang miskin di kota gara-gara tiga hal, pertama, jumlah setengah penganggur naik 460 ribu orang. Kedua, pengangguran terbuka pada laki-laki di kota naik 0,19 persen. Ketiga, harga pangan naik, daya beli jeblok.

Bahasa sederhananya, banyak yang kerja setengah-setengah, makin banyak yang nganggur, harga cabai naik, otomatis nasi padang pun jadi makin terasa mewah.

Nah, yang bikin makin absurd, penurunan angka kemiskinan ini enggak sinkron sama berita PHK di mana-mana. Kita sering lihat antrean panjang job fair, orang-orang ngantri berjam-jam cuma buat berebut lowongan segelintir. Kayak rebutan sembako gratis, tetapi versi jas rapi.

BPS versus Bank Dunia Standar Kemiskinan Macam Warteg

Sekarang kita ngomongin standar. BPS pakai garis kemiskinan Rp609 ribu per bulan. Jadi kalau kamu punya penghasilan Rp610 ribu, selamat ya kamu dianggap enggak miskin. Padahal, Rp610 ribu buat kebutuhan pangan seminggu aja udah enggak cukup, lalu orang yang dianggap sejahtera ini dalam dua minggu kedepan makan apa? Puasa?

Sementara Bank Dunia punya standar lebih sadis, yaitu untuk negara upper middle income kayak Indonesia, garis kemiskinannya US$8,30 per hari (sekitar Rp134 ribu per hari). Kalau pakai standar ini, jumlah penduduk miskin Indonesia tembus 194 juta jiwa alias 68,25 persen penduduk. Jadi sebenernya kita miskin rame-rame, cuma enggak sadar. 

Perbedaan standar ini bikin bingung. Versi BPS, 11 jutaan miskin. Sedangkan versi Bank Dunia, 194 juta miskin. Lah, yang bener yang mana? Kayak liat foto profil sama ketemu aslinya, beuh beda jauh.

Fenomena ini nunjukin satu hal bahwa kapitalisme jago bikin sulap. Angka di atas kertas bisa dipoles jadi cantik, padahal realitas di lapangan kayak jalanan habis hujan, becek dan licin. 

Pemerintah kapitalis sibuk ngejar citra biar keliatan keren di mata rakyat (dan pemilu). Caranya? Poles angka, bagiin bansos musiman, terus klaim, “Kemiskinan menurun” Padahal menurunnya bukan ke dompet rakyat, tetapi ke laporan statistik doang.

Kapitalisme juga bikin jurang tajam antara yang kaya sama miskin. Yang kaya makin kaya, bisa liburan ke Swiss sambil nyeruput cokelat panas. Yang miskin? Masih mikir besok makan apa, sambil ngecek apakah angka token listrik dirumah masih aman.

Pemerintah kapitalistik bukannya enggak tahu rakyat susah, tetapi solusinya selalu tambal sulam, mulai dari dana BLT, MBG, Sekolah Rakyat, bantuan sosial, kartu ini-itu, program sana-sini yang ujung-ujungnya nggak ngangkat orang dari jurang kemiskinan. Karena masalah akar enggak pernah disentuh, yaitu akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang bobrok.

Solusi Islam Menjamin Kesejahteraan 

Di sistem Islam alias khilafah, negara wajib jadi raa’in (pengurus rakyat), bukan manajer statistik. Nabi Muhammad Saw bersabda,

“Imam adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Jadi kalau ada rakyat kelaparan, itu dosa negara. Enggak ada tuh istilah “Miskin tetapi terhormat” atau “Yang penting sabar”. Negara wajib pastiin kebutuhan pokok rakyat, seperti sandang, pangan dan papan keisi dulu, baru ngomong soal pembangunan.

Cara Khilafah Atasi Kemiskinan

Pertama, negara wajib mengelola kekayaan alam buat rakyat. Tambang, minyak, hutan, dan laut semua dikelola negara buat rakyat, bukan buat korporasi. Jadi listrik, BBM, kesehatan, pendidikan bisa murah atau bahkan gratis.

Kedua, data riil, bukan ABS (Asal Bapak Senang). Negara punya data detail siapa miskin siapa kaya. Bukan cuma buat laporan, tapi buat aksi nyata.

Ketiga, negara wajib menciptakan lapangan pekerjaan. Industrialiasi jalan, tanah mati dikasih ke petani, modal usaha digelontorin. Laki-laki sehat wajib kerja, kalau malas, dipaksa kerja. Serius.

Keempat, membantu fakir miskin sampai tuntas. Enggak pake hitung-hitungan PPP ala Bank Dunia. Pokoknya kalau masih ada yang nggak makan, negara turun tangan sampai tuntas.

Kelima, patroli kemiskinan. Khalifah keliling cek rakyatnya. Kalau ada yang miskin, langsung disolusikan. Enggak nunggu viral dulu baru heboh.

Sejarah pernah membuktikan, masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, enggak ada orang miskin yang mau nerima zakat karena semuanya udah sejahtera. Bandingin sama sekarang, bansos aja rebutan sampai dorong-dorongan.

Jadi, kalau pemerintah sekarang bilang “Kemiskinan menurun”, kita patut nanya, menurun ke siapa? Anak cucu? Karena realitasnya, selama kapitalisme masih jadi raja, rakyat cuma dapet janji manis dan angka-angka palsu.

Satu-satunya cara biar kemiskinan beneran menurun (dan lenyap) ya cuma satu, yaitu buang kapitalisme ke tong sampah sejarah, terus ganti sama sistem Islam. Biar nanti anak cucu kita enggak cuma dapet warisan utang, tetapi warisan kesejahteraan hakiki. 

Bayangin, enggak ada lagi orang rebutan sembako, nggak ada lagi antrean job fair kayak festival musik, dan enggak ada lagi standar kemiskinan yang bikin kepala pusing tujuh keliling. Karena sejatinya, sejahtera itu bukan angka di grafik, tetapi nasi di piring dan senyum di wajah rakyat. []


Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar