Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kerja Cari Sendiri Pajak Menanti


Topswara.com -- Bayangkan, negara kapitalis tak menyediakan lapangan pekerjaan. Rakyat dipaksa jadi gladiator hidup yang berjuang sendiri mencari nafkah di tengah mahalnya harga beras, listrik, dan minyak goreng. 

Begitu rakyat kreatif bikin usaha, baru buka warung kopi pinggir jalan, belum sempat balik modal, jreng! petugas pajak datang sambil tersenyum manis, “Selamat ya, sekarang Anda wajib bayar pajak!”

Kocaknya, kalau rakyat nganggur dibilang malas, kalau kerja kena pajak, kalau kaya dibilang wajib berbagi, kalau miskin disuruh sabar. Pokoknya serba salah. Negara maunya rakyat makmur biar bisa dipajaki, tapi nggak mau repot menciptakan kemakmuran itu. Seolah slogan tak resmi negara berbunyi, “Kerja keraslah, biar kami yang menikmati pajaknya.”

Padahal, kalau mau jujur, pajak itu bukan sekadar angka di kertas. Dalam Islam, pajak (dharibah) hanya boleh dipungut dalam kondisi darurat dan sifatnya sementara. 

Bahkan ulama klasik dan kontemporer sepakat, pajak permanen yang mencekik rakyat adalah bentuk kezaliman. Imam Asy-Syaukani pernah berkata, “Mengambil harta rakyat tanpa hak adalah kezaliman yang diharamkan, walau dinamakan pajak atau retribusi” (Nailul Authar, 8/270).

Allah SWT dengan jelas memperingatkan dalam Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 188, “Janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain dengan cara batil…” (QS. Al-Baqarah: 188).

Kalau negara memungut pajak terus-menerus padahal tidak ada alasan syar’i (seperti perang atau bencana besar), bukankah itu termasuk memakan harta rakyat secara batil?

Hadis Rasulullah SAW pun keras soal ini. Beliau bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang memungut pajak haram (al-mukus)” (HR. Ahmad, Abu Dawud). Ngeri, kan? Artinya, petugas pajak zalim itu bukan sekadar urusan dunia, tetapi taruhannya akhirat.

Semua Bisa Dipajaki dalam Kapitalisme

Sistem kapitalis hari ini punya budaya yang dilestarikan turun temurun antar penguasa, kalau bisa dipajaki, pajaklah! Mau beli rumah, pajak. Beli motor, pajak. Punya penghasilan kecil, pajak. 

Bahkan dengar-dengar, kalau suatu hari teknologi bisa menghitung jumlah napas manusia, mungkin bakal ada “Pajak oksigen”. Untungnya air hujan masih gratis. Semoga nggak ada ide gila “Pajak jemuran basah” kalau mau kering gratis.

Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri Hizb ut-Tahrir, dalam bukunya Nizhamul Iqtishadi fil Islam menjelaskan, negara Islam (khilafah) tidak mengandalkan pajak untuk pembiayaan negara. Pendapatan utama berasal dari, kepemilikan umum (seperti minyak, gas, tambang, air) yang dikelola negara untuk rakyat. Jizyah dari non-Muslim sebagai imbalan perlindungan.
Zakat yang memang wajib bagi Muslim, tetapi bukan pajak.

Pajak hanya muncul sementara jika kas negara kosong dan kebutuhan mendesak (misalnya perang besar). Begitu situasi normal, pajak otomatis dihentikan. Beda jauh dengan kapitalisme hari ini, pajak permanen, rakyat permanen menderita.

Khilafah Solusi Nyata, Bukan Utopia

Banyak yang mencibir, “khilafah kan cuma mimpi?” Padahal, justru kapitalisme yang bikin mimpi buruk, korupsi merajalela, utang negara numpuk, rakyat miskin makin miskin, yang kaya makin kaya.

Di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, sejarah mencatat zakat nggak ada penerimanya! Semua rakyat sejahtera sampai petugas zakat bingung mau kasih ke siapa. Ini fakta, bukan dongeng. Sementara sekarang? Bantuan sosial aja kadang dikorupsi.

Rasulullah SAW bersabda, “Imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya”
(HR. Bukhari dan Muslim).

Oleh karena itu, selama sistem kapitalisme berdiri, rakyat akan terus jadi sapi perah. Negara tak sediakan pekerjaan, tapi berani memajaki jerih payah rakyat. Segala macam kena pajak dari motor sampai gula pasir, tinggal menunggu waktu kapan hujan pun ikut dipajaki.

Solusi satu-satunya? Kembali ke hukum Allah Ta'ala lewat penerapan sistem Islam kaffah dalam naungan Dldaulah khilafah. Di sana, pajak bukan alat penindasan, tapi mekanisme darurat. Keadilan ditegakkan, kekayaan alam dikelola untuk rakyat, bukan untuk segelintir elite. Dan yang paling penting rakyat nggak dipajaki sampai ke titik darah penghabisan. []


Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar