Topswara.com -- Blokade total yang menyebabkan ribuan anak Gaza meninggal akibat kelaparan bukan sekadar tragedi kemanusiaan biasa. Ini adalah senjata pembantaian yang dibiarkan oleh dunia, lahir dari sistem kapitalisme yang mengutamakan kepentingan politik dan ekonomi daripada nyawa manusia.
Di Gaza, wajah genosida kini berubah. Dulu, kematian datang dari peluru dan bom, kini mereka dibunuh perlahan melalui kelaparan yang mendera. Jalur Gaza ditutup total. Semua kebutuhan dasar makanan, air, obat-obatan dilarang masuk.
Bayi baru lahir harus berjuang melawan lapar berhari-hari. Anak-anak kecil mengais sisa makanan yang hampir membusuk. Para orang tua kehilangan kekuatan menatap mata anak mereka yang menangis karena kelaparan. Ini bukan lagi sekadar perang, melainkan pembantaian sistematis yang dirancang agar mereka mati perlahan tanpa membuat dunia terkejut.
Menurut laporan CNBC Indonesia pada 23 Juli 2025, ribuan anak di Gaza meninggal dunia karena kekurangan gizi akibat blokade yang tak kunjung usai (onbcindonesia.com, 23/07/2025).
Malnutrisi berat menyerang ribuan anak, dengan sekitar tujuh anak meninggal setiap hari karena kelaparan yang menghimpit. Stok makanan khusus untuk anak-anak dengan gizi buruk pun terus menipis.
Lebih memilukan, para pemimpin Israel justru terang-terangan menjadikan kelaparan sebagai senjata perang. Amichai Eliyahu, Menteri Warisan Budaya Israel, dalam wawancara dengan Radio Kol Barama (dilansir Republika, 21 Juli 2025) menyatakan: “Tidak ada bangsa yang memberi makan musuhnya. Haruskah kita peduli dengan makan malam mereka?” (Republika.co.id, 21/07/2025). Ia bahkan mengusulkan untuk menghapus Jalur Gaza dan menjadikannya wilayah Yahudi sepenuhnya.
Pernyataan tersebut bukan sekadar ujaran kebencian, melainkan bukti nyata bahwa kelaparan dijadikan senjata genosida. Yang menyedihkan, dunia justru diam. Negara-negara yang katanya penjaga kemanusiaan berpura-pura tak melihat, sibuk dengan kepentingan ekonomi, politik, dan diplomasi.
Kita pun tak bisa tutup mata atas sikap pemerintah Indonesia. Meski Indonesia dikenal sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar, saat saudara-saudara kita di Gaza disiksa perlahan melalui kelaparan, responsnya nyaris sama dengan negara lain, seperti: kecaman formal di forum internasional, kirim bantuan seadanya, lalu selesai.
Padahal, jika ada kemauan politik kuat, Indonesia bisa bertindak lebih tegas yakni memutus hubungan diplomatik dan perdagangan dengan negara-negara pendukung penjajah Israel, bahkan bisa memimpin negara-negara Muslim untuk mengambil sikap tegas. Tetapi, semua langkah berani itu selalu kalah oleh ketakutan dianggap melawan arus kepentingan global.
Inilah penyakit sistem sekuler kapitalisme yang menjerat negeri-negeri Muslim hari ini. Mereka lebih takut kehilangan investasi dan reputasi internasional daripada takut murka Allah, sehingga membiarkan darah umat Muslim tumpah sia-sia. Selama kita berharap pada sistem ini, Gaza akan terus menjadi korban.
Sejarah membuktikan, saat umat Islam memiliki kekuatan politik berlandaskan syariah, tak ada negeri Muslim yang dibiarkan hancur seperti Gaza saat ini. Dalam sistem Islam, satu nyawa Muslim lebih berharga dari seluruh dunia.
Ketika satu negeri Muslim diserang, Khilafah langsung bergerak, bukan hanya mengirim bantuan kemanusiaan, tapi juga pasukan untuk menghentikan kezhaliman. Rasulullah ï·º bersabda:
"Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, ia tidak menzaliminya dan tidak membiarkannya disakiti.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sayangnya, hari ini kita hidup dalam sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Sistem itu membuat umat Islam tercerai-berai dan pemimpin negeri Muslim tak berdaya menghadapi tekanan dunia. Maka genosida di Gaza terus dibiarkan.
Jika kita serius ingin mengakhiri penderitaan ini, kita harus berani mengungkap akar masalahnya: sistem kapitalisme global yang mengatur dunia hari ini. Selama kita hanya berkutat pada kecaman, doa, dan bantuan kemanusiaan yang kecil nilainya dibanding penderitaan mereka, Gaza tak akan pernah benar-benar bebas.
Dibutuhkan perubahan besar: mengembalikan sistem Islam yang sungguh melindungi umat, dengan kekuatan politik, ekonomi, dan militer untuk membela kaum Muslim di mana pun mereka berada.
Sistem ini bukan utopia. Ia pernah ada, dan dunia pernah menyaksikan bagaimana umat Islam dijaga dan dilindungi dengan nyata.
Kini saatnya kita mengakui: solusi Islam jauh lebih manusiawi dan adil daripada sistem kapitalisme sekuler yang hanya mementingkan hitung-hitungan kepentingan. Gaza bukan sekadar butuh bantuan makanan, tetapi butuh dunia yang dipimpin dengan keadilan sejati.
Wallahu a'lam bish shawwab.
Oleh: Nilam Astriati
Aktivis Muslimah
0 Komentar