Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Guru Honorer: Tiang Peradaban yang Digaji Tidak Manusiawi


Topswara.com -- Pernah enggak sih kalian mikir, gimana rasanya jadi guru honorer di negeri +62? Bayangin, kerja full, tanggung jawab segudang, anak murid nanya PR tiap jam, tetapi gajinya? Uhuk, setara kuota internet sebulan. Kadang malah nunggu berbulan-bulan baru cair. Kalau cair pun jumlahnya bikin dompet nangis sambil bilang, “Ya Allah, ini gaji atau sedekah?”

Sementara itu, kekayaan alam negeri kita? Beuh! Melimpah ruah. Dari tambang emas sampai minyak bumi, dari nikel sampai gas alam, semua ada. Tetapi herannya, kekayaan itu kayak angin yang cuma numpang lewat, terasa tetapi cuma sebentar. Negara cuma dapat pajaknya, sedangkan yang bancakan siapa? Ya kalian tau sendiri lah si swasta dan Asing. Negara? Sibuk jadi “fasilitator” doang. Elegan tetapi nyesek.

Selain itu, negara juga melakukan efisiensi anggaran dan korban pertama mereka adalah guru honorer. Pemerintah bilang, “Demi efisiensi anggaran, kita kasih bantuan Rp300.000 per bulan ya…”

Tiga ratus ribu, gengs! Itu pun cuma buat yang memenuhi syarat. Padahal kalau hitung-hitungan realita, Rp300 ribu tuh sekarang paling cuma cukup buat beli kopi kekinian sebulan sama bayar token listrik. Terus gimana nasib guru yang tiap hari ngurusin anak-anak generasi penerus bangsa? Katanya pahlawan tanpa tanda jasa. Tetapi kok jasanya enggak dihargai?

Kalau alasan pemerintah: “Biaya pendidikan besar, hasilnya enggak instan”, ya jelas lah enggak instan. Pendidikan itu investasi jangka panjang, bukan mie instan. Enggak bisa hari ini dididik, besok langsung jadi profesor. Tetapi kalau negara serius, hasilnya bakal luar biasa.

Gaji Guru dalam Islam Bikin Sultan Kalah Tajir

Nah, kalau ngomongin Islam, ini beda cerita. Sistem Islam enggak main-main sama urusan pendidikan. Negara wajib ngejamin kesejahteraan guru, karena mereka ujung tombak lahirnya peradaban. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani di Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam mengatakan, gaji tuh diukur dari nilai jasa, bukan status ASN atau bukan. Jadi guru honorer? Kalau jasanya besar, ya gajinya besar, simple.

Contohnya di masa Khalifah Umar bin Khaththab. Beliau kasih gaji guru 15 dinar per bulan. Kalau dikonversi ke emas sekarang (1 dinar = 4,25 gram emas, harga 1 gram Rp1,9 juta), itu sekitar Rp121 juta sebulan. Bayangin, Rp121 juta, bro! Enggak ada tuh drama ngojek sambil ngajar.

Shalahuddin al-Ayyubi malah lebih gokil. Guru di madrasah beliau digaji 11–40 dinar (Rp88 juta–Rp323 juta per bulan). Itu baru namanya pahlawan peradaban dibayar setara aktor pahlawan Marvel!

Mungkin ada yang nyeletuk, “Lah, duitnya dari mana?” Santai. Islam udah siapin pos-pos pemasukan negara, seperti dari kekayaan alam (fay, anfal, minyak, tambang) milik umat yang dikelola negara. Kharaj, usyur = pajak syar’i yang adil.
Ghanimah (rampasan perang) plus bonus ekstra kalau menang jihad.

Jadi negara nggak pusing cari utang atau ngejual aset BUMN. Nggak ada tuh cerita negara “Bancakan” SDA sama asing, rakyat cuma bisa nonton di layar kaca sambil makan mie instan.

Rasulullah SAW bersabda, “setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya” (HR. Bukhari Muslim).

Al-Qur’an pun udah wanti-wanti, “Dan janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 188).

Ayat ini pas banget buat mereka yang tega bancakan kekayaan SDA, tapi pelit sama guru. Ingat, tanggung jawab itu nggak cuma di dunia, tetapi bakal dihisab kelak.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani tegas mengatakan, “kezaliman nggak akan berhenti kecuali kalau kita kembali ke sistem Islam kaffah.” 

Itu artinya ya khilafah. Dalam khilafah, guru diposisikan sebagai aset strategis negara. Mereka dibayar mahal, difasilitasi penuh, dan dihormati setara ulama. Gimana enggak maju peradaban kalau gurunya aja sultan semua?

Kalau sekarang, guru honorer masih harus nunggu “BSU” kayak nunggu janji manis saat Pemilu. Sedih tetapi udah biasa. Tetapi kalau sistemnya diganti ke Islam, serius deh, enggak bakal ada drama kayak gini. 

Jadi PR kita bukan cuma minta naik gaji Rp300 ribu jadi Rp500 ribu. PR kita itu mengganti sistem yang bikin guru sengsara. Karena kalau sistemnya masih kapitalis, ya bakal terus gini. Mau gaji dinaikin dikit pun ujung-ujungnya tetep ngojek.

So, mau terus jadi generasi rebahan? Atau mau ikut memperjuangkan tegaknya sistem Daulah Khilafah yang bikin guru honorer setara Sultan Andara? Pilihan ada di kita.[]


Oleh: Nabila Zidane
Jurnalis
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar