Topswara.com -- Kepala Polisi Sektor Jatiasih Ajun Komisaris Marganda mengatakan polisi telah meringkus tiga pelaku tawuran yang menewaskan FF, 22 tahun, di Jalan Raya Kodau, Kelurahan Jatimekar, Kecamatan Jatiasih, Kota Bekasi, Rabu, 25 Juni 2025.
Marganda menjelaskan, kronologi tewasnya FF bermula saat geng Rawabogo Jatimekar saling mengirim pesan dengan geng Serigala Pondokgede. Kedua kelompok itu sepakat bertemu di Jalan Kodau.
Sesampainya mereka di lokasi, tawuran pecah. FF yang berasal dari kelompok Rawabogo Jatimekar tewas dikeroyok dengan sejumlah luka akibat senjata tajam. "FF mengalami luka bacok di perut, kening sebelah kanan dan kedua bagian belakang kakinya (tempo.co, 26/6/2025).
Astaghfirullah, tawuran remaja sering kali bukan semata soal dendam atau sekadar seru-seruan. Lebih dalam dari itu, tawuran adalah ekspresi eksistensi yang salah arah. Remaja ingin diakui, ingin dianggap “jagoan”, ingin merasa berani dan punya gengsi.
Begitulah ketika identitas dibangun bukan di atas iman dan akhlak, tapi atas dasar ego, geng, dan kekerasan, maka jadilah tawuran sebagai “panggung pencarian jati diri”.
Banyak faktor yang menjadi penyebabnya, seperti minimnya pendidikan agama dan pembinaan karakter dalam keluarga, lingkungan sosial yang permisif terhadap kekerasan, media dan tontonan yang memicu adrenalin destruktif serta kurangnya peran negara dalam membina moral generasi,
Namun lebih mendalam lagi, akar masalah dari tambah maraknya tawuran, yaitu karena sistem hidup yang sedang dijalankan di negeri ini adalah sistem liberal sekuler, yaitu sistem yang memisahkan agama dari kehidupan.
Agama dianggap cukup di rumah dan masjid saja, sementara di sekolah, media, bahkan lingkungan sosial yang berlaku adalah “bebas sebebasnya”. Maka jangan heran jika anak-anak kehilangan arah.
Selain membuat anak-anak kehilangan arah, sistem liberal juga membuat anak-anak tumbuh dengan nilai kebebasan absolut, tanpa batasan halal-haram. Nonton kekerasan? Biasa. Main game brutal? Seru. Jotos-jotosan? Gagah.
Tanpa nilai dosa dan pahala, mereka menyalurkan energi mudanya dengan adu otot mulai di ring tinju resmi beriklan hingga di jalanan, bukan dengan ilmu dan iman.
Sistem liberal sekuler juga melahirkan media yang mengagungkan kekerasan dan geng, pendidikan hanya sekedar transfer ilmu tanpa memperhatikan pembinaan akhlak dan parahnya negara hanya hadir saat sudah viral dan ada korban istilahnya "No viral no justice".
Jadi wajar, kalau semakin ke sini, semakin banyak anak yang doyan tawuran. Karena sistem dan semua perangkatnya mengarahkan ke sana. Semua itu memperparah kondisi remaja yang tengah mencari “Siapa aku?”
Bisa dikatakan, saat ini sistem liberal sekuler sukses menyingkirkan Tuhan dari hati manusia. Maka jangan heran jika manusia berubah menjadi buas
Generasi dalam Pandangan Islam
Dalam Islam, generasi muda bukan sekadar “Pemilik masa depan”, tetapi juga penentu arah peradaban hari ini. Oleh karena itu, dalam sistem khilafah, pembinaan generasi menjadi prioritas utama negara, mengapa?
Pertama, setiap generasi adalah amanah umat, investasi peradaban yang kelak akan menjadi penerus dan penanggung jawab dakwah, pemimpin umat, dan penjaga Islam. Maka tidak cukup sekadar pintar akademik, mereka harus dibekali iman, akhlak, dan kesadaran politik Islam.
Kedua, urat nadi kebangkitan Islam. Sejarah mencatatbgenerasi emas, seperti Usamah bin Zaid, Muhammad al-Fatih, dan Imam Syafi’i terlahir dan dibesarkan dari lingkungan yang diatur oleh sistem Islam. Mereka menjadi pelopor kebangkitan, bukan korban zaman.
Ketiga, penjaga ideologi Islam. Di tengah gempuran liberalisme, sekularisme, dan hedonisme, hanya generasi yang ditempa dalam sistem khilafah yang akan mampu membela Islam dengan pemikiran dan akhlaknya, bukan dengan emosi sesaat.
Sistem Islam Menjaga Iman dan Akhlak Generasi
Pertama, negara akan menerapkan sistem pendidikan Islam yang berbasis akidah Islam. Tujuan pendidikan membentuk generasi berkepribadian Islam (syakhsiyah Islamiah), bukan sekadar transfer ilmu.
Dalam diri generasi ditanamkan
tujuan hidup, yaitu untuk beribadah kepada Allah SWT (QS. Adz-Dzariyat: 56). Nilai benar-salah dari wahyu, bukan lingkungan serta keteladanan akhlak dari Rasulullah SAW dan sahabat, bukan selebriti.
Kedua, kontrol lingkungan dan media. Tawuran sering lahir dari budaya kekerasan yang dinormalisasi media. Oleh karena itu, seluruh media akan diawasi negara agar tidak menyebarkan konten kekerasan, kriminalitas, dan permisivisme. Jika ada yang berani melanggar akan dikenakan sanksi tegas.
Pergaulan dikendalikan oleh aturan syariat, memisahkan remaja laki-laki dan perempuan dalam pendidikan dan interaksi publik. Negara mendorong kegiatan positif berbasis masjid, halaqah, dan organisasi pembinaan remaja.
Ketiga, sistem sanksi yang mendidik dan menjerakan. Dalam Islam, setiap orang yang sudah balig wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri di hadapan syariat. Jika terbukti melakukan tindakan kriminal dari tawuran, seperti memukul, menusuk, membacok dan lain-lain, maka ia harus dihukum sesuai jenis pelanggarannya. Dalam hal melukai dan membunuh orang, akan ada sanksi kisas.
Bila tawuran merugikan orang lain (luka, kehilangan), pelaku diwajibkan ganti rugi dan bisa dikenai ta'zir sesuai tingkat kejahatannya. Namun prosesnya tetap mendidik, cepat, dan adil tanpa korupsi, suap, atau diskriminasi.
Dalam Islam, hukuman tidak sekadar menghukum, tapi mencegah kejahatan (jawazir) dan menebus dosa (jawabir).
Keempat, negara bertanggung jawab penuh membina generasi. Jika dalam sistem kapitalis, negara hanya "reponsif" saat kejadian, tetapi dalam khilafah negara proaktif membina umat. Negara menyediakan fasilitas olahraga, seni, dan pembinaan dakwah untuk remaja agar menjadi agen perubahan, bukan "anak geng".
Negara membangun sistem pendidikan, ekonomi, dan sosial yang selaras, agar pemuda punya harapan dan arah hidup yang jelas.
Keren kan sistem Islam? Jati diri pemuda bukan dibentuk lewat kekerasan, tapi lewat iman, ilmu, dan akhlak mulia.
Di bawah naungan khilafah islamiah pemuda dididik menjadi penyeru kebaikan dan penjaga peradaban, bukan gladiator jalanan yang saling menjatuhkan. Tidakkah kita menginginkannya? []
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
0 Komentar