Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Angka Kemiskinan Turun? Rakyat Tetap Miskin dalam Sistem Kapitalisme


Topswara.com -- Badan Pusat Statistik (BPS) kembali mengklaim bahwa angka kemiskinan Indonesia mengalami penurunan. Menurut BPS, per Maret 2025, persentase penduduk miskin menurun 0,10 persen terhadap September 2024 (bbc.com, 25/07/2025). 

Fakta kontras adalah penurunan angka kemiskinan ini terjadi di tengah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terus terjadi. Sebuah ironi yang mengejutkan, mengingat PHK justru menjadi penyebab utama bertambahnya pengangguran dan kemiskinan terutama di wilayah perkotaan.

Yang lebih mencengangkan, penurunan kemiskinan itu dihitung berdasarkan garis kemiskinan nasional sebesar Rp 609.142 per bulan atau sama dengan Rp 20.305 per hari (tirto.id, 26/07/2025). 

Dengan kata lain, seseorang yang mampu bertahan hidup dengan uang sebesar itu dianggap tidak miskin. Standar ini jelas sangat rendah dan jauh dari kenyataan di lapangan, di mana harga kebutuhan pokok terus meroket.

Angka kemiskinan ekstrem memang turun di atas kertas, tapi faktanya standar garis kemiskinan juga rendah. Definisi kemiskinan yang digunakan BPS sejatinya menjadi alat manipulatif untuk menunjukkan kemajuan semu. Seolah-olah pemerintah berhasil menurunkan angka kemiskinan, padahal yang terjadi hanyalah perubahan batas bawah yang tidak realistis. 

Ini bukanlah solusi, melainkan pembingkaian data untuk menjaga citra politik dan ekonomi. Nyatanya, masyarakat masih merasakan tekanan ekonomi yang nyata dari harga bahan pokok yang tinggi, lapangan kerja yang sempit, hingga mahalnya biaya kesehatan dan pendidikan.

Lihat saja Indramayu, Kabupaten yang memiliki lahan pertanian terluas di Indonesia bahkan menjadi salah satu penghasil padi dan garam terbesar di Indonesia. Alih-alih sejahtera, daerah ini justru dililit kemiskinan. Angka kemiskinannya tertinggi di Provinsi Jawa Barat (beritasatu.com, 21/07/2025). 

Ini memperlihatkan bahwa kemiskinan bukan soal potensi wilayah, melainkan soal tata kelola dan sistem ekonomi yang diberlakukan.

Sumber utama dari ketimpangan ini adalah sistem ekonomi kapitalisme. Dalam sistem ini, kekayaan hanya berputar di tangan segelintir elite, sementara mayoritas rakyat berjuang memenuhi kebutuhan paling dasar. 

Negara bukan pelayan rakyat, melainkan fasilitator pasar bebas yang tunduk pada kepentingan investor dan korporasi. Alih-alih menyejahterakan, negara justru sibuk menjaga neraca ekonomi di atas kertas dan melindungi kepentingan pemilik modal.

Kemiskinan bukan sekadar persoalan definisi atau angka, tetapi buah dari sistem yang cacat. Selama sistem kapitalisme masih menjadi fondasi kebijakan ekonomi, rakyat akan tetap menjadi korban eksploitasi.

Berbeda dengan kapitalisme, sistem Islam memandang kemiskinan secara substantif: apakah kebutuhan dasar setiap individu terpenuhi atau tidak. Dalam Islam, negara wajib menjamin akses terhadap pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan tanpa diskriminasi dan tanpa campur tangan mekanisme pasar.

Dalam Islam juga akan diterapkan sistem ekonomi Islam. Salah satu yang diatur dalam sistem ekonomi Islam adalah pembagian kepemilikan yang dibagi menjadi tiga yakni kepemilikan umum, kepemilikan negara, dan kepemilikan individu. 

Sumber daya alam yang strategis seperti tambang, hutan, dan energi adalah termasuk kepemilikan umum yang tidak boleh diswastakan atau dikomersilkan. 

Pengelolaannya harus dilakukan oleh negara yang hasilnya adalah untuk kemaslahatan umat. Dengan demikian negara tidak akan kekurangan sumber dana untuk menyejahterakan umat.

Selain itu, negara juga wajib membuka lapangan kerja seluas-luasnya, mengelola zakat untuk memberdayakan kaum lemah, dan memastikan distribusi kekayaan terjadi secara adil. Sehingga tidak akan terjadi ketimpangan sosial di tengah umat.

Dengan sistem ini, kemiskinan tidak hanya didefinisikan secara adil, tapi juga diberantas dari akarnya. Bukan dengan manipulasi data, melainkan dengan kebijakan riil yang menyejahterakan rakyat.

Selama sistem kapitalisme masih menjadi poros kebijakan, kemiskinan akan terus menghantui rakyat. Sudah saatnya umat mempertimbangkan solusi sistemis yang hakiki yakni sistem Islam yang menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama, bukan sekadar angka di laporan tahunan. []


Oleh: Yuchyil Firdausi
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar