Topswara.com -- Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini menyampaikan peringatan keras terkait ancaman besar yang tengah mengintai Indonesia sebagai negara berkembang, yakni state capture. Istilah ini merujuk pada bentuk kolusi yang terjalin antara kapital besar dengan pejabat pemerintahan dan elite politik.
Kolusi ini tidak hanya menghambat pengentasan kemiskinan, tetapi juga menghalangi upaya perluasan kelas menengah. Dalam praktiknya, negara justru dikuasai oleh segelintir orang yang memiliki kuasa modal dan akses kekuasaan.
Presiden Prabowo Subianto menyebut ada bahaya besar yang mengintai Indonesia sebagai negara berkembang. Prabowo bilang, bahaya itu adalah state capture.
Masalah ini, menurut Prabowo, sangat serius dan harus segera diselesaikan.
"Karena di negara berkembang seperti Indonesia, ada bahaya besar yang kami sebut state capture—kolusi antara kapital besar dan pejabat pemerintahan serta elite politik," kata Prabowo saat menjadi pembicara di acara St. Petersburg International Economic Forum (SPIEF) 2025 di Rusia, Jumat (20/6). (Kumparan.com, 20/06/2025)
State capture adalah bentuk korupsi tingkat tinggi di mana para pemilik modal besar memengaruhi kebijakan dan regulasi negara demi kepentingan pribadi atau korporasi mereka.
Dalam sistem ini, negara tidak lagi menjadi alat untuk menyejahterakan rakyat, melainkan menjadi instrumen untuk melayani kepentingan segelintir elit ekonomi dan politik.
Lembaga Transparency International menggambarkan state capture sebagai proses “di mana kelompok kecil pelaku ekonomi swasta mampu memengaruhi secara signifikan kebijakan, regulasi, dan hukum demi keuntungan mereka sendiri.”
Presiden Prabowo sendiri menyatakan dalam berbagai pidato bahwa terkait itu.
“Ada kebocoran besar di anggaran, ada penyimpangan besar. Kolusi antara pejabat pemerintah di semua tingkatan, elite politik, dan pengusaha-pengusaha yang tidak patriotik.”
(Pidato Prabowo, Oktober 2024)
Pernyataan tersebut bukan tanpa dasar. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sepanjang 2023, terdapat 791 kasus korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp28,4 triliun, melibatkan ratusan pejabat negara, termasuk 161 bupati/wali kota dan 24 gubernur. (Tempo.co, 20/05/2024)
Lebih dalam lagi, Laporan KPK dan INDEF menunjukkan bahwa 30–40 persen anggaran negara setiap tahun bocor akibat korupsi. Politik biaya tinggi mendorong calon pemimpin untuk mencari dukungan dari pemilik modal besar yang kelak “menagih balas jasa” dalam bentuk proyek atau kebijakan.
Contoh nyata dari state capture ini bisa dilihat dari Skandal e-KTP, yang merugikan negara hingga Rp2,3 triliun, melibatkan menteri, anggota DPR, dan pengusaha. Kasus Meikarta, di mana izin proyek diberikan dengan sogokan kepada pejabat. Pelemahan KPK, di mana perubahan undang-undang menandai upaya sistemik melindungi elit yang terlibat korupsi.
Namun, sesungguhnya apa yang disebut state capture ini bukanlah anomali, melainkan keniscayaan dalam sistem demokrasi kapitalisme sekuler yang diterapkan saat ini. Sistem ini melahirkan lingkaran setan antara politik dan bisnis.
Dalam sistem demokrasi, untuk dapat maju dalam kontestasi politik, seorang calon pemimpin membutuhkan dukungan dana dalam jumlah besar. Di sinilah para pemilik modal bermain, memberikan kucuran dana besar dengan harapan akan memperoleh imbalan berupa kebijakan-kebijakan yang berpihak pada kepentingan bisnis mereka ketika calon tersebut berkuasa.
Akibatnya, politik transaksional menjadi lumrah. Kebijakan negara tidak lagi diarahkan untuk melayani rakyat secara adil dan menyeluruh, melainkan untuk mengamankan keuntungan dan kekuasaan kelompok tertentu.
Negara yang seharusnya menjadi pelindung dan pelayan rakyat, berubah menjadi alat untuk melegalkan berbagai bentuk perampokan terhadap kekayaan negara melalui kebijakan yang sarat kepentingan oligarki.
Lebih jauh lagi, sistem ini meniscayakan kehidupan yang berorientasi pada dunia semata, bahkan dengan menghalalkan segala cara. Jabatan tidak lagi dipandang sebagai amanah, tetapi sebagai alat untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Kecurangan, nepotisme, dan korupsi menjadi bagian tak terpisahkan dari praktik kekuasaan.
Islam memiliki pandangan dan sistem yang sangat berbeda dengan demokrasi kapitalisme sekuler. Islam menjadikan akidah Islam sebagai asas kehidupan setiap individu, masyarakat, hingga negara.
Pandangan ini melahirkan orientasi hidup yang tidak semata-mata mengejar materi dan kekuasaan, melainkan mencari ridha Allah SWT dalam setiap amal.
Dalam Islam, jabatan bukanlah alat untuk mencari keuntungan pribadi, melainkan amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Setiap pejabat dan penguasa sadar bahwa apa yang mereka lakukan akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Negara dalam Islam dibangun di atas sistem pemerintahan yang ideologis, bukan transaksional. Kekuasaan dipegang oleh orang-orang yang memiliki kepribadian Islam yang kokoh serta takut kepada Allah, bukan kepada pemilik modal.
Selain itu, Islam juga menetapkan sistem hukum yang tegas dan menjerakan, termasuk dalam hal korupsi dan pengkhianatan amanah. Mekanisme hisbah (pengawasan masyarakat), qadhi mazhalim (pengadilan khusus untuk pelanggaran oleh pejabat), hingga sistem sanksi yang ditegakkan dengan adil menjadi pilar penting untuk menjaga integritas pemerintahan.
Ketika syariat Islam diterapkan secara kaffah (menyeluruh) dalam sistem pemerintahan Islam, maka praktik state capture akan tertutup rapat. Karena tidak ada celah bagi kekuatan kapital untuk membeli kekuasaan, dan tidak ada ruang bagi pejabat untuk bermain mata dengan pemilik modal. Negara Islam berdiri atas prinsip keadilan dan pelayanan kepada umat, bukan sebagai pelayan korporasi.
Peringatan Presiden Prabowo terkait ancaman state capture seharusnya menjadi momentum untuk meninjau kembali akar persoalan bangsa ini. Masalah ini tidak bisa diselesaikan dengan solusi parsial dalam sistem yang rusak. Demokrasi kapitalisme sekuler justru menjadi ladang subur bagi lahirnya kolusi, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan.
Hanya dengan kembali kepada Islam secara kaffah, umat ini akan memiliki sistem yang benar-benar mampu mencegah dan mengatasi kezaliman kekuasaan. Sebab Islam bukan hanya agama spiritual, melainkan sistem hidup yang paripurna untuk mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk sistem pemerintahan dan tata kelola negara.
Wallahu’alam.
Oleh: Lia Julianti
Aktivis Dakwah Tamansari Bogor
0 Komentar