Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Menanti Peluk Persatuan

Topswara.com -- 15 Juni 2025, langit Mesir dipenuhi harapan. Langkah-langkah tegap para pemuda dan simpatisan dari berbagai penjuru dunia menyusuri bumi para nabi dalam sebuah long march menuju perbatasan Gaza. 

Sebuah aksi damai, namun sarat makna: ingin menggugah nurani dunia, dan mengingatkan kembali bahwa Palestina belum merdeka. 

Namun, di balik semangat yang berkobar itu, ada satu kenyataan yang tak bisa diabaikan: Mesir masih belum membuka pintu Rafah sepenuhnya. Maka lahirlah tanya, bahkan protes: mengapa Mesir tak kunjung membuka akses?

Tulisan ini tentu bisa menimbulkan pandangan lain dari berbagai pihak. Namun mari kita melihat persoalan ini bukan semata-mata dari kaca mata emosi saja, melainkan dari timbangan realitas yang rumit dan penuh dilema.

Mesir dan Dilema Rafah: Bukan Sekadar Soal Gerbang

Pertama-tama, penting dipahami bahwa keputusan sebuah negara dalam kondisi konflik global bukanlah keputusan ringan. Banyak yang mengira Mesir “tidak peduli” pada Palestina. 

Namun kenyataannya, Mesir tengah berdiri di antara dua tebing curam: satu sisi adalah gelora nurani dan persaudaraan, dan sisi lain adalah tekanan geopolitik serta ancaman keamanan nasional.

Risiko Keterlibatan Langsung dalam Konflik Isrā’īl

Membuka perbatasan Rafah secara bebas apalagi untuk massa yang ingin bergabung langsung ke Gaza bisa dipandang dunia internasional sebagai bentuk keterlibatan Mesir dalam eskalasi konflik. Hal ini akan menempatkan Mesir dalam posisi rentan. 

Jika Mesir dianggap ikut menyerang atau membantu serangan terhadap Isrā’īl, maka dengan sendirinya Mesir telah masuk dalam perang terbuka. Sebuah keputusan yang tidak bisa dianggap ringan, karena menyangkut nasib jutaan jiwa.

Kehadiran Kapal Induk Amerika di Laut Mesir

Keberadaan kekuatan militer Amerika di Laut Tengah, termasuk kapal induk bersenjata lengkap, menjadi ancaman nyata. Bila Mesir dianggap “melawan” Isrā’īl, sekutu kuatnya itu siap menyerang. 

Maka kehancuran bukan hanya menimpa Gaza, namun bisa pula menyelimuti Sinai dan bahkan Kairo. Inilah perang yang mungkin tidak diinginkan oleh siapa pun perang yang bisa melenyapkan kota dan menumpahkan darah tak bersalah.

Ancaman terhadap Keamanan Mahasiswa dan Ulama Al-Azhar

Mesir adalah rumah bagi ratusan ribu pelajar dari dunia Islam. Al-Azhar menjadi mercusuar ilmu yang menerangi dunia Muslim selama berabad-abad. 

Jika Mesir terlibat perang besar, maka keberlangsungan studi dan keamanan para ṭālib al-‘ilm menjadi taruhan. Mereka harus segera dipulangkan ke negara masing-masing, dan aktivitas keilmuan akan lumpuh total. 

Potensi Tragedi Kemanusiaan jika Aktivis Tanpa Senjata Menyerbu Gaza

Bila perbatasan dibuka tanpa perhitungan, lalu ribuan aktivis yang tidak bersenjata berusaha masuk Gaza, kemungkinan besar mereka akan menjadi korban serangan militer Isrā’īl. 

Walaupun dengan semua hal itu, perlu diingat Palestina adalah luka yang terasa oleh kita semua.

Semua keraguan dan dilema itu tidak berarti menutup mata terhadap luka yang menganga di Gaza. Palestina bukan sekadar negara tertindas; mereka adalah saudara kita. Mereka bagian dari tubuh umat ini. Dalam sabda Nabi Muhammad ﷺ:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ، تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

“Perumpamaan kaum mukminin dalam saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi adalah seperti satu tubuh; jika satu bagian tubuh sakit, maka seluruh tubuh turut merasakannya dengan demam dan tidak bisa tidur.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kita adalah satu tubuh. Dan tubuh ini sedang menggigil demam ketika Gaza dibombardir, anak-anak dibunuh, masjid dihancurkan, dan tanah dijarah.

Dinding yang Tinggi dan Hati yang Terpecah

Dunia Islam hari ini telah lama tercerai-berai oleh batas negara, kepentingan ekonomi, dan tekanan politik global. Undang-undang internasional telah memagari gerak umat Islam seolah kita bangsa yang asing satu sama lain. Di saat inilah kita diuji: apakah kita tetap mampu mencintai saudara kita tanpa harus melewati perbatasan fisik?

Maka pada masa seperti ini, dukungan moral, materi, dan doa adalah nafas perjuangan. Kiriman logistik, sandang, pangan, air bersih, obat-obatan, serta kampanye digital dan diplomatik, adalah bentuk solidaritas kita.

Namun satu hal yang lebih penting dari itu semuanya, sebagaimana dikatakan oleh Dr. Nadhir Ayyadh, Mufti Mesir dalam kajian Qaḍiyyah Islāmiyyah di Masjid Al-Azhar:

 "إن هذه القضية من غاية الأهمية لكن نسأل الله تبارك و تعالى أن يتحقق بما يعرف بالوحدة الأسلمية و العربية، ولذلك فإننا في انتظار وحدة الإسلامية والعربية."

“Permasalahan Palestina hari ini adalah persoalan yang penting bagi kita semua akan tetapi kita meminta kepada Allah untuk merealisasikan persatuan Islam dan bangsa arab. Oleh sebab itu, kita hari ini sedang menanti lahirnya sebuah persatuan Islam dan Arab.”

Membumikan Kembali Qadhiyah Filistin sebagai Opini Umum Umat

Maka kini, satu langkah besar yang bisa kita lakukan adalah menjadikan qadhiyah Filistiniyah sebagai opini umum di kalangan umat Islam. Sebuah kesadaran kolektif yang melampaui sekat mazab, negara, dan kebangsaan. Persatuan akan datang jika umat mengarah pada satu poros perjuangan.

Sebagaimana dulu, ketika dunia Islam pernah porak poranda antara Kairo dan Baghdad, tercerai-berai oleh masalah politik internal di tubuh kaum muslimin, datanglah tentara Salib merebut Palestina. 

Tetapi justru dari luka itu, kesadaran persatuan tumbuh kembali. Imaduddin zanki, yang kemudian dia menyatukan Mosul dan Aleppo menjadi satu negara bagian. Dan menjadi kekuatan gabungan dari dua kota terbesar itu untuk menaklukkan salah satu Crusader states, Edessa, lalu puncaknya Salahuddin Al-Ayyubi mempersatukan kekuatan umat Islam di Syam dan Mesir, lalu memukul mundur kekuatan Salib dalam Perang Hittin (1187 M), hingga Al-Quds kembali ke tangan umat. Sejarah itu adalah saksi: ketika kita bersatu, kemenangan itupun dekat.

Penutup: Menanti Peluk Persatuan

Hari ini, kita sedang menanti peluk hangat dari persatuan. Sebuah peluk yang akan memeluk Gaza dan membebaskannya dari penjajahan. Sebuah peluk yang hanya bisa lahir dari hati-hati yang bersatu. Sebuah peluk yang hanya akan datang jika kita semua menginginkannya dengan sungguh-sungguh.

Dan selama itu belum datang, kita tak boleh berhenti berharap, tak boleh berhenti berdoa, tak boleh berhenti berjuang.


Izzuddin 
(Mahasiswa Mesir)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar