Topswara.com -- Video Perjuangan Guru SDN 117 Merangin menyebrangi jembatan gantung yang rusak menjadi viral. Jembatan ini adalah penghubung dua desa yakni Simpang Limbur dan Limbur Merangin.
Diketahui bahwa para guru tersebut nekat menyebrangi jembatan gantung yang rusak karena untuk melaksanakan tugas mulia mengajar anak-anak didik di seberang jembatan.
Menurut Pak Ahmad sebagai Kepala SDN 117 Merangin, "Siswa kami itu ada 80. Ada 60 warga Limbur Merangin, daripada kami seberangkan siswa, jadi gurunya aja yang datang. (detik.com (14/05/25)
Sebetulnya ada akses menyebrangi jembatan dengan perahu namun petugas sedang tidak ada sementara kegiatan sekolah dilaksanakan pada pagi hari terlebih sedang berlangsung ujian anak-anak.
Adapun jalan alternatif yang ada, jaraknya jauh dan kondisinya rusak. Ironisnya sudah 2 atau 3 tahun terakhir mengajukan pembangunan jembatan permanen namun tak kunjung terealisasi.
Padahal kelancaran serta keamanan aktivitas warga sangat terbantu dengan adanya jembatan. Sementara itu, ada proyek jembatan satwa di IKN dianggarkan sebesar Rp. 2,6 Triliun.
Setelah video perjuangan para guru menyebrangi jembatan yang rusak tersebut viral. Ironisnya justru para guru merasa perlu meminta maaf karena membuat gaduh di ruang publik.
Mengapa para guru harus minta maaf karena menunjukan fakta?
Peristiwa ini menyadarkan kita bahwa ketimpangan sarana penunjang pendidikan terlebih mereka yang berada di daerah terpencil benar terjadi. Jembatan gantung ini bukan sekadar infrastruktur ia adalah simbol rapuhnya harapan pembangunan dan realisasi di lapangan.
Ketika guru harus menyebrangi jembatan berbahaya, yang terancam bukan hanya nyawa mereka tapi masa depan anak-anak yang membutuhkan pendidikan demi masa depan.
Kalau kita jujur negara ini menganut sistem kapitalisme yang justru hanya menguntungkan para elit saja sementara rakyat hanya dijadikan simbol legitimasi kekuasaan mereka.
Pandangan kapitalisme terhadap pendidikan juga keliru yakni menjadi pendidikan sebagai komoditas bukan kebutuhan publik. Sehingga realitasnya pendidikan yang bermutu hanya bisa didapatkan oleh kelompok berada saja.
Ketimpangan anggaran dan infrastruktur dalam sistem kapitalisme terlihat jelas bahwa anggaran negara banyak dikeluarkan pada sektor ekonomi dan politik yang lebih menguntungkan.
Memang betul amanat undang-undang mengalokasikan anggaran sebesar 20 persen dari APBN untuk pendidikan, namun kenyataannya banyak sekali pos anggaran yang diambil dari pos pendidikan ini. Sebagai contoh program MBG (Makan Bergizi Gratis) setidaknya sebesar Rp 71 Triliun diambil dari anggaran pendidikan.
Pentingnya Sarana Penunjang dalam Pendidikan
Adanya sarana yang memadai dalam pendidikan adalah bagian dari proses keberhasilan dalam pembelajaran agar terlaksana dengan baik. Gedung sekolah, peralatan pembelajaran termasuk akses jalan menuju sekolah adalah bagian penting dari keberhasilan pendidikan. Bagaimana pendidikan bisa berhasil ketika akses menuju sekolah saja sulit bahkan harus bertaruh nyawa?
Dalam pandangan Islam, pendidikan adalah kebutuhan dasar dan hak setiap warga negara, bukan komoditas. Negara wajib menyediakan dan menjamin pendidikan yang gratis dan berkualitas yang merata di seluruh wilayah.
Untuk menjamin pendidikan yang gratis dan berkualitas harusnya negeri ini lebih dari cukup untuk merealisasikannya. Kita lihat sumber daya alam negeri ini begitu melimpah ruah.
Cadangan Minyak Bumi 2,5 miliar barel, Gas Alam 62 triliunan kaki kubik (TCF), Batu Bara lebih dari 38 miliar ton dan masih banyak lagi. Hanya saja ini tidak dikelola sebagaimana mestinya, negara hanya dapat ‘remeh’ dari pengelolaan sumber daya alam yang dikuasai swasta bahkan asing.
Padahal dalam Islam sumber daya alam wajib dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat untuk kesejahteraan.
Oleh: Fahmi Nurzaman, S.Pd.
Praktisi Pendidikan
0 Komentar