Topswara.com -- Data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) per 8 Mei 2025 mencatat sekitar 197.054 anak usia 10-19 tahun terlibat dalam aktivitas judol, dengan nilai deposit mencapai Rp 50,1 miliar pada triwulan 1-2025. (beritasatu.com, 19/05/2025)
Kasus judol dari hari ke hari makin membuat kita miris. Apalagi yang menjadi sasaran sampai ke anak-anak. Hal ini tentu bukan kebetulan hingga judol banyak dimainkan oleh anak-anak. Banyak pihak yang menuntut dan mendesak pemerintah agar segera memberantas judol.
Apalagi dampak yang diakibatkan dari permainan judol terhadap anak-anak sangat mengkhawatirkan. Psikolog Irma Gustiana menyampaikan beberapa dampak dari judi online yaitu gangguan kesehatan mental dengan sering merasa kecemasan, memicu stres finansial, merenggangnya hubungan dengan keluarga, dan beresiko melakukan tindak kriminalitas. (detik.com, 24/12/2024)
Masyarakat dibuat gemas dengan upaya pemberantasan judol yang sepertinya sangat sulit. Hal ini tidak mengherankan, karena alih-alih pemerintah serius memberantas bandar-bandar judol, justru seakan-akan pemerintah cenderung membiarkan eksistensinya.
Bagaimana tidak, platform digital dan iklan-iklan terkait judol sangat massif di dunia maya dan bisa diakses siapa pun, namun tindakan hukum terkait hal itu terkesan longgar. Bahkan lebih menyedihkan ketika disinyalir bahwa mafia judol justru ada di lingkaran kekuasaan.
Memang benar bahwa kedua orang tua memiliki peran penting dalam membentuk kepribadian anak dan membentengi anak dari pengaruh-pengaruh negatif. Kedua orang tua yang menjadi kunci pertama pembentukan akidah yang kuat pada diri anak sehingga anak tidak mudah terjebak dalam kemaksiatan maupun kerusakan moral seperti terlibat dalam judol.
Namun hal ini akan sangat sulit dilakukan oleh kedua orang tua tanpa didukung supra sistem yang baik. Di dalam sistem kapitalisme, beban orang tua terkait ekonomi sungguh sangat berat sehingga memaksa kedua orang tua untuk membanting tulang demi bisa menyambung kehidupan keluarganya.
Demi mengejar pendapatan hingga tidak ada waktu membersamai anak. Di sisi lain, keterbatasan ilmu dan ketrampilan mendidik anak juga melanda para orang tua, karena dalam pendidikan sistem kapitalisme, anak didik tidak pernah dibekali hal itu.
Berbeda halnya dengan sistem Islam yang menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar menyiapkan anak didik untuk memiliki kepribadian yang tangguh dan ketrampilan hidup yang dibutuhkan.
Sehingga output pendidikan bukan sekedar nilai ijazah, melainkan lahirnya sosok-sosok yang memiliki akidah yang kuat, sikap dan tingkah laku yang mulia, serta siap mengabdi untuk memberikan kontribusi optimal dalam membangun peradaban.
Oleh karena itu, tidak ada gambaran generasi anak-anak dalam peradaban Islam yang tergerus dengan sikap-sikap amoral, karena mereka sudah memiliki standar kehidupan halal haram.
Selain menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas tinggi, negara Islam juga menjaga masyarakat dari hal-hal yang bisa merusak akidah dan sikap mereka. Negara akan menutup total semua akses digital maupun non-digital yang mengandung perkara-perkara yang bertentangan dengan syariat Islam.
Negara juga akan menjamin pemenuhan kebutuhan ekonomi rakyat sehingga rakyat makin terjaga dari mencari-cari sumber pemasukan yang tidak halal. Dengan demikian negara mampu menjadi supra sistem terbaik yang akan menyokong orang tua untuk melahirkan generasi tangguh.
Oleh: Maya Issama Feminia
Aktivis Dakwah
0 Komentar