Topswara.com -- Baru-baru ini, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menegaskan bahwa aksi premanisme yang mengatasnamakan ormas telah menjadi perhatian serius Presiden Prabowo Subianto.
Dalam pernyataannya pada 9 Mei 2025, ia menyatakan keresahan pemerintah atas fenomena ini karena menimbulkan ketidaknyamanan di masyarakat dan mengganggu iklim bisnis. Pernyataan ini menunjukkan betapa seriusnya persoalan premanisme di negeri ini. (CNBC Indonesia 09 Mei 2025).
Fenomena premanisme memang mengalami transformasi yang signifikan. Dulu, preman dikenal sebagai individu-individu yang menjalankan aksinya secara sporadis dan terpisah.
Namun kini, mereka telah membentuk kelompok-kelompok yang terorganisir dengan rapi, bahkan berlindung di balik legalitas ormas. Mereka sering muncul dalam kegiatan-kegiatan sosial, seolah-olah peduli pada masyarakat, tetapi di balik itu, tersimpan agenda intimidatif yang memaksakan kepentingan mereka.
Premanisme modern ini menciptakan ketakutan tersembunyi di tengah masyarakat dan membuat pelaku usaha—terutama sektor kecil dan menengah—terpaksa tunduk pada pungli dan tekanan agar usaha mereka bisa tetap berjalan.
Jika kita ingin mengurai akar persoalan ini, maka kita harus jujur melihat bahwa ideologi yang menjadi fondasi kehidupan bermasyarakat turut memengaruhi tumbuh suburnya premanisme.
Sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan publik membuat standar moral menjadi relatif manusia bebas menentukan benar-salah berdasarkan hawa nafsu dan kepentingan pribadi.
Di sisi lain, kapitalisme mendorong masyarakat untuk mengejar materi sebagai ukuran utama kesuksesan hidup. Kombinasi keduanya melahirkan generasi yang individualistik, egois, dan rela menempuh segala cara demi kepentingan pribadi atau kelompok. Premanisme pun dianggap sah, selama dapat menghasilkan keuntungan materi dan mendapat "restu" dari pihak berkuasa.
Situasi makin parah dengan lemahnya penegakan hukum dalam sistem demokrasi kapitalistik yang kita anut saat ini. Hukum sering kali tidak ditegakkan dengan adil. Preman-preman yang memiliki koneksi dengan tokoh politik atau elite tertentu kerap kebal hukum.
Sementara rakyat kecil yang berteriak keadilan justru menjadi korban intimidasi dan kekerasan. Rasa keadilan yang terkikis menyebabkan masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap institusi hukum. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat bisa tergoda untuk mengambil jalan kekerasan atau membentuk sistem keadilan alternatif yang justru melahirkan kekacauan baru.
Islam memiliki pendekatan yang sangat berbeda. Dalam pandangan Islam, premanisme adalah bentuk kezaliman dan pelanggaran terhadap hukum syariah yang harus dihentikan dengan cara yang tegas dan adil. Islam memandang bahwa keamanan adalah hak asasi setiap manusia.
Negara Islam wajib menjamin rasa aman bagi seluruh rakyat tanpa diskriminasi. Siapa pun yang melakukan tindakan intimidatif, perampasan hak, atau kekerasan, akan dikenakan sanksi yang tegas, proporsional, dan memberikan efek jera.
Sistem sanksi dalam Islam tidak hanya represif, tetapi juga preventif dan edukatif. Tujuan hukuman dalam Islam bukan semata-mata membalas pelanggaran, tetapi juga mencegah kejahatan dan mendidik masyarakat untuk hidup dalam ketaatan kepada hukum Allah.
Premanisme seperti pencurian, perampokan, dan intimidasi termasuk dalam kategori kejahatan yang serius. Apabila suatu kasus memenuhi syarat sebagai hirabah (perampokan yang mengandung unsur ancaman bersenjata atau kekerasan di jalanan), maka pelakunya akan dikenakan hukuman berat demi menjaga ketertiban umum.
Dalam masyarakat Islam yang menerapkan hukum syariah secara menyeluruh, tidak ada ruang bagi premanisme. Individu dibina dengan akidah yang kuat sehingga menyadari bahwa setiap tindakan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Masyarakat saling mengingatkan dalam kebaikan dan mencegah kemungkaran. Negara menjalankan hukum secara adil tanpa pandang bulu, menjamin hak dan keamanan seluruh rakyat, baik Muslim maupun non-Muslim.
Sejarah peradaban Islam membuktikan bahwa sistem ini berhasil menciptakan masyarakat yang aman, tenteram, dan adil. Di bawah kepemimpinan para khalifah, tidak hanya kaum Muslimin yang merasakan keamanan, tetapi juga komunitas non-Muslim yang hidup dalam naungan negara Islam.
Pedagang merasa aman menjalankan bisnisnya, warga bebas beraktivitas tanpa rasa takut, dan hukum ditegakkan secara konsisten.
Bandingkan dengan kondisi saat ini di mana hukum sering kali tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Premanisme justru berkembang di bawah lindungan kekuasaan atau dimanfaatkan oleh elite tertentu untuk kepentingan politik dan ekonomi. Dalam sistem sekularisme kapitalistik seperti ini, keadilan menjadi slogan kosong tanpa realisasi nyata.
Karena itu, sudah saatnya masyarakat menyadari bahwa solusi tuntas terhadap premanisme tidak cukup dengan tambal sulam hukum yang ada. Perlu perubahan mendasar: perubahan cara pandang hidup dan sistem yang menjadi fondasinya.
Islam adalah sistem hidup yang menyeluruh mengatur urusan individu, masyarakat, dan negara dengan adil dan sempurna. Islam bukan hanya solusi spiritual, tetapi juga solusi politik, hukum, dan sosial yang nyata.
Menerapkan Islam bukanlah tindakan ekstrem, melainkan langkah logis dan rasional untuk mewujudkan kehidupan yang aman, damai, dan berkeadilan. Sudah cukup lama kita menjadi korban sistem rusak yang melahirkan premanisme, korupsi, dan berbagai bentuk kezaliman lainnya.
Kini saatnya membuka mata dan hati, menolak segala bentuk intimidasi dan premanisme, dan memperjuangkan tegaknya sistem Islam sebagai solusi nyata bagi negeri ini.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Oleh: Retno Indrawati, S.Pd
Aktivis Muslimah
0 Komentar