Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Menghadapi Pasangan Pemarah

Topswara.com -- Sebelum menghukumi bahwa pasangan (suami/istri) kita pemarah, perlu dianalisis lebih dahulu persoalan apa yang banyak memicu terjadinya kemarahan tersebut. Jika persoalannya memang secara syar’i menuntut munculnya kemarahan maka sudah selayaknya suami/istri kita marah, ini adalah marah yang terpuji. 

Misalnya istri yang keluar rumah tanpa menutup aurat, menggampangkan urusan shalat, bermuamalah yang tidak syar’i, atau menggunjing memang layak dimarahi, ini juga berlaku untuk suami.

Kemarahan yang hanya dipicu oleh hal-hal sepele dan tidak syar’i, inilah yang bisa dijadikan acuan untuk mendefinisikan bahwa suami/istri kita pemarah. Misalnya istri marah gara-gara suami telat pulang sebentar saja, atau suami naik pitam gara-gara istri tidak pandai masak sehingga seringkali makanan gosong.

Memilih Sejak Awal

Adakalanya seseorang memang bersifat pemarah. Ingin semua serba perfect, sedikit saja melihat hal yang tidak sesuai kehendaknya, amarahnya segera tersulut. Oleh sebab itu, karakter ini perlu dikenali sejak seseorang memilih calon istri/suami.

Seseorang bisa mengenali sifat ini lewat teman-temannya, juga lewat silsilah keluarganya. Jika ternyata mendapati sifat-sifat tadi ada pada orang yang hendak ‘ditarget’, hendaknya dipikir ulang, kira-kira sangggup atau tidak untuk nantinya bersabar menghadapi sifat tersebut ketika berumah tangga. Jika kira-kira tidak sanggup, sebaiknya mencari calon yang lain saja.

Fathimah binti Qais r.a pernah bertanya kepada Rasulullah ketika dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm. Ketika itu Rasulullah SAW saw memberi saran:

أَمَّا أَبُو جَهْمٍ، فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ، انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ

“Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya (yakni suka memukul)[1], sementara Mu’awiyah adalah orang yang sangat miskin, tak punya harta, nikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (HR. Muslim).

Dalam Syarh Shahih Muslim, Abu Jahm dalam riwayat tersebut adalah Abu Jahm bin Hudzaifah al-Qurasy al-Adawy. Imam Adz Dzahabi menyatakan bahwa beliau adalah seorang sahabat yang memiliki keteguhan jiwa, beliau pernah diangkat oleh Rasulullah sebagai pemungut zakat.

Ibnul Mubarak (w. 181 H) menceritakan bahwa dalam perang Yarmuk Abu Jahm membawa air untuk diberikan kepada sepupunya yang terluka, ‘mau minum?’ tanyanya. Sepupunya memberi isyarat mengiyakan. 

Namun ada lelaki di sebelahnya mengeluh kehausan, hingga sepupunya memberi isyarat agar dia menuju ke tempat orang tersebut , yang ternyata adalah Hisyam bin al-Ash. Ketika Hisyam mau minum, lelaki lain juga mengerang kehausan. Hisyam memberi isyarat agar Abu Jahm menuju ke tempat orang tersebut. 

Sesampainya Beliau di situ, ternyata orang tersebut telah meninggal. Dia mendatangi Hisyam, Hisyam pun sudah meninggal. Kemudian Beliau balik mendatangi sepupunya, sepupunyapun sudah meninggal dunia. (Al Jihâd, hal 97).[2]

Jika Abu Jahm, seorang sahabat dan mujahid yang mulia, karena sering memukul istrinya, tentunya bukan memukul karena zalim, bisa ditolak lamarannya, maka menolak lamaran orang yang diketahui memiliki sifat pemarah dibolehkan, walau orang tersebut alim dan banyak keutamaannya.

Sudah Terlanjur Menikah

Jika sudah terlanjur menikah, apalagi sudah beranak-pinak, maka hal terbaik yang harus diupayakan adalah bersabar, sambil terus berusaha menghindarkan diri dari amarah pasangan, dan mendidik pasangan untuk mengontrol amarahnya dan menyalurkan amarahnya secara syar’i jika ternyata muncul.

Rasulullah adalah teladan terbaik dalam menghadapi kemarahan pasangan (suami/istri), karena beliaulah yang terbaik dalam memperlakukan keluarganya.

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap isterinya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap isteriku.” (HR. Tirmidzi).

1. Tidak Balik Memarahi

Imam al-Bukhari meriwayatkannya bahwa suatu ketika Nabi SAW berada di tempat salah satu istrinya. Lalu salah seorang Ummahatul Mukminin mengirimkan hidangan berisi makanan lewat pembantunya. 

Maka istri Nabi yang beliau saat itu sedang berada dirumahnya memukul tangan pembantu tersebut hingga piring yang berisi makanan jatuh dan terbelah, maka beliau pun segera mengumpulkan makanan yang tercecer ke dalam piring tersebut yang telah disatukan beliau, lalu beliau bersabda:

غَارَتْ أُمُّكُمْ

“Ibu kalian sedang terbakar cemburu.”

Kemudian beliau menahan sang pembantu tersebut hingga didatangkan piring yang berasal dari rumah istri yang beliau pergunakan untuk bermukim. Lalu beliau menyerahkan piring yang bagus kepada istri yang piringnya pecah, dan membiarkan piring yang pecah di rumah istri yang telah memecahkannya.[3]

Dalam riwayat lain Rasulullah mengajak untuk memakan makanan yang tekah terjatuh tersebut. Beliau tidak balik memarahi istri tersebut, juga tidak merasa khawatir disebut sebagai suami yang tidak mampu mendidik istrinya, atau disebut suami takut istri. Imam al Harawi menyatakan:

وهذا من كمال حلمه وتواضعه، وحسن معاشرته وتعظيم نعمة ربه،

“ini menunjukkan kesempurnaan sifat hilm (lemah lembut) dan ketawadhu’an beliau, juga bagusnya pergaulan beliau terhadap kelarganya, dan besarnya nikmat Tuhannya yang telah diberikan kepada beliau (yakni nikmat bisa berlemah lembut)”

Inilah sikap untuk masalah-masalah yang semisal ini, namun untuk masalah yang lain beliau bisa menunjukkan marah kepada istrinya, misalnya saat istrinya ada menggunjing istri yang lainnya.

2. Bersikap Sabar

Allah berfirman:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (QS. An-Nisa :19)

Berkaitan dengan ayat ini, Imam al Qurthubi menyatakan:

(فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ) أَيْ لِدَمَامَةٍ أَوْ سُوءِ خُلُقٍ مِنْ غَيْرِ ارْتِكَابِ فَاحِشَةٍ أَوْ نُشُوزٍ، فَهَذَا يُنْدَبُ فِيهِ إِلَى الِاحْتِمَالِ، فَعَسَى أن يول الْأَمْرُ إِلَى أَنْ يَرْزُقَ اللَّهُ مِنْهَا أَوْلَادًا صالحين

(bila kamu tidak menyukai mereka) yakni karena keburukan rupa atau keburukan perangai namun tidak melakukan kekejian (zina) atau kedurhakaan (nusyuz), dalam hal ini dianjurkan bersabar, karena bisa saja hal itu menjadi awal Allah memberinya rezeki dari istri tersebut berupa anak-anak yang shalih.

3. Memaafkan dan Tidak Mengungkit Kesalahan

Allah berfirman :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At Taghabun:14).

‘Permusuhan’ dalam ayat ini adalah ‘permusuhan’ karena kecintaan, yakni seorang istri bisa ‘menghalangi’ suami untuk berbuat baik, seperti sahabat yang mau berhijrah pada masa Nabi ‘diganduli’ (dilarang pergi dengan rayuan) oleh istrinya. Dan ketika suami tersebut mendapati sahabat yang hijrah lebih dahulu menjadi lebih banyak pengetahuannya dibandingkan dia, maka marahlah mereka kepada istri yg dulu merayu agar jangan hijrah dulu.

Menurut Imam Al Baidhowi dan An Nasafi, kata ta’fû (kalian memaafkan mereka) maknanya adalah tidak membalas dengan yang semisal, tashfahû bermakna kalian tidak mencela dan menjelekkan, sementara taghfirû, bermakna kalian menutupi kesalahan mereka, tidak menyebarkannya.

4. Tetap Membela Istri

Walapun sedang ada masalah, seharusnya tetaplah sepasang suami istri saling membela untuk urusan yang tidak terkait masalah yang sedang terjadi.

Al Hafidz ad Dimasyqi meriwayatkan bahwa pernah terjadi perselisihan antara Rasulullah dan istri beliau, Aisyah r.a, hingga mereka mengundang Abu Bakar (orang tua Aisyah) untuk menjadi mediator. Kemudian Rasulullah berkata,

تتكلمين أم أتكلم؟

“Apakah engkau atau aku yang berbicara (lebih dahulu)?”

Aisyah menjawab,

تكلم ولا تقل إلا حقاً

“engkau saja yang bicara, tetapi jangan katakan kecuali kebenaran.”

Mendengar ucapan itu Abu Bakar memukul Aisyah, yakni putrinya sendiri. Aisyah segera berlindung di belakang Rasulullah. Rasulullah kemudian berkata kepada Abu Bakar:

أقسمت عليك لما خرجت بأن لم ندعك لهذا

“Aku bersumpah, ketika aku keluar (menemuimu), kami tidak mengundang engkau untuk ini (yakni memukul).”

Ketika Abu Bakar sudah pulang, Rasulullah berkata kepada Aisyah ادني مني(mendekatlah kepadaku), Aisyah menolak, maka Rasulullahpun tersenyum.

5. Bercerai

Jika sudah tidak memungkinkan lagi kedua belah pihak menjalankan hukum-hukum Allah dalam rumah tangga, istri sudah tidak sanggup taat pada suami, suami juga tidak sanggup berbuat baik kepada istri, berbagai mediasi sudah dilakukan dan berujung kebuntuan maka bercerai adalah pilihannya.

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ

“Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh isteri) untuk menebus dirinya (dalam kasus istri minta cerai) ”. (QS. Al-Baqarah : 229).

Hanya saja memang perlu dikaji ulang keputusan untuk bercerai, terutama terkait anak-anak. Harus diingat pula bahwa manusia memang ada saja kekurangannya, jika kita tidak bersabar menghadapi satu kekurangan suami/istri kita, saat kita mengganti suami/istri pun, pasti akan adapula kekurangan lainnya. 

 Allâhu A’lam.


Oleh: Ustaz M. Taufiq NT
Pengasuh MT Darul Hikmah Banjarbaru
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar