Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kepemimpinan Adalah Amanah Berat dan Sumber Penyesalan di Akhirat, Tidak Elok Diperebutkan, Apalagi Dibanggakan

Topswara.com -- Dalam tradisi Islam, amanah kepemimpinan adalah sesuatu yang sangat menakutkan, karena beratnya tanggungjawab di akhirat. Dalam pandangan Islam, kepemimpinan, selain harus bertanggung jawab kepada rakyat di dunia, juga harus bertanggung jawab kelak di akhirat dihadapan pangadilan Allah. 

Pada dasarnya para khalifah dalam Islam menolak diangkat dan dibaiat menjadi khalifah karena beratnya amanah. Adalah sebuah bencana jika kepemimpinan justru diperebutkan, apalagi dibanggakan.

Adalah manusia rakus dan gila hormat jika saling memperebutkan kepemimpinan dengan kecurangan dan menghalalkan segala macam cara. Adalah sebuah kebodohan mewariskan kepemimpinan kepada anggota keluarganya. Adalah sebuah kedunguan merebut kekuasaan dengan cara menyogok rakyat agar memilihnya. Adalah sebuah kesombongan, saat merasa senang mendapatkan amanah kepemimpinan. Mestinya disaat mendapatkan amanah kepemimpinan, justru menucapkan innalillahi wainna ilaihi rojiun.

Ada kisah menarik yang bisa dijadikan pelajaran bagi umat Islam, terkait kepemimpinan. Kisah Harun Al-Rasyid yang masuk ke rumah Al-Fudhail bin ‘Iyadh untuk mendapatkan nasihat tentang kepemimpinan. Al-Fudhail lantas meniup lentera di depannya hingga padam agar dia tidak dapat melihat wajah sang khalifah. Harun Al-Rasyid kemudian mengulurkan tangannya dan disambut tangan Al-Fudhail yang kemudian berucap, “Betapa lembut dan halus tangan ini! Kiranya tangan ini terhindar dari api neraka!”

“Tuan Guru! Berilah aku nasihat,”ujar Harun Al-Rasyid.

“Leluhurmu, paman Rasulullah SAW (Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib), pernah meminta kepada Nabi Saw. agar dirinya dijadikan pemimpin bagi sebagian umat manusia. Apa jawaban Rasulullah SAW? “Paman, bukankah aku pernah mengangkat engkau untuk sesaat sebagai pemimpin dirimu sendiri?” Dengan jawaban itu Rasulullah SAW. memaksudkan bahwa sesaat mematuhi Allah adalah lebih baik daripada seribu tahun dipatuhi umat manusia. 

Kemudian Rasulullah SAW. menambahkan, ”Kepemimpinan akan menjadi sumber penyesalan di Hari Kebangkitan kelak.”

“Tuan Guru, lanjutkanlah nasihatmu itu,” pinta Harun Al-Rasyid.

“Ketika diangkat sebagai penguasa, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz lantas memanggil Abu ‘Umar Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththab, Abu Al-Miqdam Raja’ bin Haiwah bin Jarwal Al-Kindi, dan Abu Hamzah Muhammad bin Ka’b bin Salim bin Asad Al-Qurazhi. ‘Umar mengatakan kepada mereka, “Hatiku sangat gundah dengan musibah ini. Apakah yang harus kulakukan? Aku tahu, kedudukan tinggi ini merupakan musibah, walau orang-orang lain memandang kedudukan sebagai karunia.”

“Abu Al-Miqdam Raja’ bin Haiwah menyahutnya, “Amir Al-Mukminin! Jika engkau ingin terlepas dari hukuman Allah di akhirat kelak, pandanglah setiap muslim yang lanjut usia laksana ayahandamu sendiri, setiap muslim yang usia muda laksana saudaramu sendiri, setiap muslim yang masih kanak-kanak laksana putramu sendiri. Dan, perlakukanlah mereka sebagaimana seharusnya seseorang memperlakukan ayahanda, saudara, dan putranya.”

“Tuan Guru, lanjutkanlah nasihatmu itu,”kata Harun Al-Rasyid.

“Abu Al-Miqdam Raja’ bin Haiwah lebih lanjut berucap, “Wahai Amir Al-Mukminin! Anggaplah negeri yang engkau pimpin laksana rumahmu sendiri dan penduduknya laksana keluargamu sendiri. Jenguklah ayahandamu, hormatilah saudaramu, dan bersikap baiklah kepada putramu. Kusayangkan jika wajahmu yang tampan ini akan terbakar hangus di neraka. Takutlah kepada Allah dan taatilah perintah-perintah-Nya.

Berhati-hatilah dan bersikaplah bijak karena di hari kebangkitan kelak Allah akan meminta pertanggung jawabanmu seputar setiap Muslim yang engkau pimpin dan Dia akan memeriksa apakah engkau telah berlaku adil kepada setiap orang. Ingatlah, manakala ada seorang perempuan uzur yang tertidur dalam keadaan lapar, di hari kebangkitan kelak dia akan menarik pakaianmu dan memberikan kesaksian yang akan memberatkan dirimu!”

“Tuan Guru, lanjutkanlah nasihatmu itu!”

“Abu Hamzah Muhammad bin Ka’b kemudian tampil memberikan nasihat, “Amir Al-Mukminin! Engkau memiliki keberanian. Andai dirimu terdapat kekurangan dan kekhilafan, kita akan mengobatinya. Pegang teguhlah agama dan pikiran yang rasional, semua itu akan menopang dirimu dan menjadi kendali dirimu. Waspadalah terhadap orang yang mencintaimu karena ada pamrih terhadap dirimu. Karena manakala pamrih itu telah terpenuhi, cintanya akan sirna. Manakala engkau melakukan suatu kebaikan, peliharalah betul kebaikan itu. Dan, jadikanlah dunia sebagai tempatmu berpuasa dan akhirat sebagai tempatnya berbuka.”

“Tuan Guru, lanjutkanlah nasihatmu itu!”

“Abu ‘Umar Salim bin ‘Abdullah kemudian tampil memberikan nasihat, “Amir Al-Mukminin! Buatlah rakyat rela dengan sesuatu yang dirimu rela terhadap sesuatu itu. Juga, buatlah mereka tidak menyukai sesuatu yang dirimu tidak menyukai sesuatu itu, Dengan demikian, engkau selamatkan mereka dan mereka menyelamatkan engkau.”

Karena itu ada satu hal yang bisa meringankan perasaan seorang pemimpin adalah disaat rakyat mencintai dirinya. Hal ini disabdakan oleh Rasulullah : Sebaik-baiknya pemimpin adalah mereka yang kamu cintai dan mencintai kamu, kamu berdoa untuk mereka dan mereka berdoa untuk kamu. Seburuk-buruk pemimpin adalah mereka yang kamu benci dan mereka membenci kamu, kamu melaknati mereka dan mereka melaknati kamu. (HR Muslim).

Perhatikanlah ucapan pidato Abu Bakar As Shiddiq saat dilantik menjadi seorang khalifah pertama dalam peradaban Islam : (1) Wahai manusia Aku telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu (ri’ayatu suunul ummah). (2) Padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antaramu (berakhlak : rendah hati dan tahu diri). (3) Maka jikalau aku dapat menunaikan tugasku dengan baik, bantulah (ikutlah) aku (merangkul rakyat, bukan memusuhi).

(4) Tetapi jika aku berlaku salah, maka luruskanlah (tidak anti kritik, mengakui kesalahan, mendengar masukan para ahli). Orang yang kamu anggap kuat, aku pandang lemah sampai aku dapat mengambil hak dari padanya (ekonomi keseimbangan, bukan kapitalisme : menerapkan sistem ekonomi Islam). sejalan dengan firman Allah 59 : 7 “….agar harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya diantara kamu.

(5) Sedangkan orang yang kamu lihat lemah, aku pandang kuat sampai aku dapat mengembalikan haknya kepadanya (meratakan kesejahteraan rakyat sebagai hak fundamental terutama kepada fakir miskin). (6) Maka hendakklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya (sistem baiat dalam kepemimpinan Islam, taat kepada hukum Allah, bukan kepada pemimpin semata).

(7) Namun bila mana aku tiada mematuhi Allah dan Rasul-Nya, kamu tidak perlu mematuhiku (bahkan seorang khalifah wajib diberhentikan jika tidak taat kepada hukum Allah). (8) Berdirilah (untuk) shalat, semoga rahmat Allah meliputi kamu (kepemimpinan Islam adalah memiliki visi keselamatan ketakwaan rakyat di dunia dan keselamatan di akhirat ).

Ali Bin Abi Thalib pernah menyampaikan penilaiannya atas Abu Bakar Ash Shiddiq : Allah merahmatimu wahai Abu Bakar. Engkau adalah orang pertama yang memeluk Islam. Orang yang paling ikhlas dalam beriman. Orang yang paling kuat keyakinan. Orang berada yang paling mulia dan orang yang paling melindungi Rasul Allah. Orang yang dekat dengan Rasul Allah akhlaknya, kemuliaannya, petunjuknya dan karakternya. Semoga Allah memberimu pahala kebaikan atas Islam, Rasul Allah dan kaum muslimin.

Engkau membenarkan Rasul Allah saat orang-orang mengingkari. Engkau mendarmakan hartamu saat orang-orang lain kikir. Engkau berdiri bersamanya saat orang-orang lain diam. Allah menamakanmu Shiddiqan (yaitu yang datang dgn membawa kebenaran dan dia membenarkan. Mereka adalah orang-orang yang muttaqun). Orang-orang menginginkan Muhammad dan Muhammad menginginkanmu.

Demi Allah engkau adalah benteng Islam dan siksaan bagi kaum kafirin. Hujjah-mu tidak menurun dan nalarmu tidak melemah. Dirimu tidak pernah takut. Engkau bagaikan gunung yang tidak goyah oleh hembusan badai. Engkau seperti halnya sabda Rasul : “Badanmu lemah namun kukuh dalam perintah Allah. Engkau adalah orang yang rendah hati namun mulia dihadapan Allah. Mulia di muka bumi dan besar di hadapan kaum muslimin.

Tidak seorangpun di hadapanmu berambisi dan tidak seorangpun meremehkan. Orang yang kuat di hadapanmu lemah sampai engkau mengembalikan hak orang lain dari padanya. Orang yang lemah di hadapanmu kuat sampai engkau mengembalikan haknya. Semoga Allah tidak menjauhkan pahalamu atas kami dan tidak pula Allah menyesatkan kami setelah kepergianmu.

Dalam Islam, seorang khalifah adalah orang yang diberikan amanah untuk mengurusi urusan rakyat dengan dasar syariat Islam. Seorang khalifah dibaiat oleh rakyat, namun tetap harus bertanggungjawab kepada Allah atas kepemimpinannya. Contohlah khalifah Umar bin Khatab yang begitu takut kepada Allah jika sampai menelantarkan rakyatnya.

Dalam salah satu perbincangan dengan Muawiyah bin Hudaif setelah penaklukan Iskandariyah, Umar pernah berucap : Kalau aku tidur di siang hari, maka aku menelantarkan rakyatku. Dan jika aku tidur di malam hari, aku menyia-nyiakan diriku sendiri (tidak shalat malam). Bagaimana bisa tertidur pada dua keadaan ini wahai Muawiyah ? ”

Umar tentu sangat paham betapa berharganya nyawa satu orang muslim, sehingga dia sangat memperhatikan nasib rakyatnya, jangan sampai terzolimi sedikitpun. Itulah mengapa Umar pernah berkata, “Jika ada seekor onta mati karena disia-siakan tidak terurus. Aku takut Allah memintai pertangung-jawaban kepadaku karena hal itu.

Karena onta tersebut berada di wilayah kekuasaannya, Umar yakin ia bertanggung jawab atas keberlangsungan hidupnya. Ketika onta itu mati sia-sia karena kelaparan, atau tertabrak kendaraan, atau terjerembab di jalanan karena fasilitas yang buruk, Umar khawatir Allah akan memintai pertanggung-jawaban kepadanya nanti di hari kiamat.

Jangankan nyawa manusia yang menjadi rakyatnya, bahkan nyawa binatangpun bagi Umar tetap menjaganya dan tidak mau terzolimi karena kebijakannya. Sebuah hadist dengan tegas menyatakan : Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak. (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani).

Siang dan malam Khalifah Umar selalu memantau keadaan rakyatnya. Umar benar-benar sadar kepemimpinan itu adalah melayani, bukan dilayani. Kepemimpinan bukan untuk menaikkan status sosial, menumpuk harta, yang akan menghasilkan kehinaan di akhirat semata. Nyawa rakyat bagi Umar adalah pertanggungjawaban besar kelak di akherat, maka menyia-nyiakannya adalah sebuah kezaliman.

Abdullah bin Abbas ra. mengatakan, “Setiap kali shalat, Umar senantiasa duduk bersama rakyatnya. Siapa yang mengadukan suatu keperluan, maka ia segera meneliti keadaannya. Ia terbiasa duduk sehabis shalat subuh hingga matahari mulai naik, melihat keperluan rakyatnya. Setelah itu baru ia kembali ke rumah”.

Sesaat setelah terpilh sebagai sebagai khalifah, dalam pidatonya, tergambar bagaimana takutnya Umar memikul beban tanggung jawab sebagai seorang pemimpin ketika itu. Dan bukan saat itu saja Umar merasa hal itu disampaikan Umar. Sesaat setelah Abu Bakar dimakamkan, Umar sudah merasakan ketakutan itu. Sebab dalam Islam kepemimpinan adalah amanah besar, tidak layak diperebutkan, apalagi jika salah niat.

Dalam buku, Biografi Umar bin Khattab karya Muhammad Husain Haekal digambarkan bagaimana sosok kepemimpinan khalifah kedua ini. Pertama, Umar adalah pemimpin yang sangat tegas terhadap kezaliman dan yang memusuhi Islam. Namun, Umar sangat lembut kepada orang jujur, adil dan teguh pada agamanya.

Kedua adalah kesadaran bahwa jabatan sebagai khalifah adalah ujian. Allah menguji rakyat dengan kepemimpinan Umar, sementara Umar diuji oleh rakyatnya. Dengan tegas Umar akan mengurus urusan rakyat dengan penuh amanah dan tidak menzolimi rakyat. 

Ketiga, adanya hubungan saling mengingatkan antara pemimpin dan rakyatnya. Umar tak ragu meminta rakyat menegurnya atau mengkritiknya jika dirinya bersalah. Bahkan Umar dalam pidatonya, meminta rakyat tak ragu menuntutnya jika rakyat tak terhindar dari bencana, pasukan terperangkap ke tangan musuh. Bagi Umar, orang yang paling dicintai adalah yang mau menunjukkan kesalahannya.

"Bantulah saya dalam tugas saya menjalankan amar makruf naih munkar dan bekalilah saya dengan nasihat-nasihat saudara-saudara sehubungan dengan tugas yang dipercayakan Allah kepada saya demi kepentingan audara-saudara sekalian," kata Umar menutup pidatonya.

“Jangan sekali-kali kamu mengira, Allah akan melupakan tindakan yang dilakukan orang zolim. Sesungguhnya Allah menunda hukuman mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak (karena melihat adzab).” (QS. Ibrahim: 42).

Tidak ada dosa yang lebih berhak untuk Allah segerakan hukuman bagi pelakunya di dunia, disamping masih ada hukuman di akhirat, selain dosa zolim dan memutus silaturrahmi. (HR. Turmudzi 2700, Abu Daud 4904 dan dishahihkan al-Albani).

Nah, untuk para pemimpin muslim, dimanapun berada, hendaknya berguru kepada kepemimpinan Umar bin Khatab bahwa betapa sang khalifah begitu mencintai dan dicintai rakyatnya karena begitu menghargai nyawa rakyatnya. Dia tidak ingin berbuat zalim sedikitpun yang berakibat hilangnya nyawa rakyat, meski hanya satu orang.

Jika Umar sangat takut kepada Allah, ketika ada onta mati karena kesalahan kebijakan kepemimpinan dirinya, bagaimana dengan di negeri ini, berapa harga nyawa rakyat Indonesia?.

(KotaHujan, 24/04/24 : 09.44 WIB)


Oleh : Dr. Ahmad Sastra
Dosen Filsafat 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar