Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

The Power of Ramadan (Bagian 12)

Topswara.com -- Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS Al Baqarah : 183). 

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Ali Imran : 110).

Alhamdulillah, kembali kita berjumpa melalui tulisan seri The Power Of Ramadhan hari ke dua belas bulan suci Ramadhan 1445 H. Sebagai seorang muslim, jangan pernah berhenti bersyukur kepada Allah atas anugerah Ramadhan ini dengan terus memperkuat nilai-nilai keimanan, ketakwaan, dan nilai keilmuwan, baik sebagai individu maupun sebagai rakyat. 

Pelaksanaan puasa Ramadhan akan memberikan kekuatan nilai pada setiap orang beriman, khususnya pemimpin untuk semakin bertaqwa kepada Allah. 

Ketakwaan seorang pemimpin adalah dengan menerapkan hukum-hukum Allah, sebab seorang pemimpin diberikan amanah kekuasaan. Paradigma kepemimpinan Islam sangat berbeda dengan paradigma kepemimpinan demokrasi sekuler.

Paradigma kepemimpinan dalam Islam misinya adalah untuk mewujudkan keberkahan kehidupan di dunia dan keselamatan di akhirat yakni dengan menerapkan Islam secara kaffah. 

Hal ini telah ditegaskan oleh Allah : Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS Al A’raf : 96).

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu (QS Al Baqarah : 208).

Menjadi seorang muslim dan mukmin adalah menjadi orang yang dengan sadar harus melaksanakan segala hukum dan aturan Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Menjadi seorang muslim berarti siap untuk senantiasa terikat dengan ajaran Islam. Keterikatan semua sikap dan tingkah laku kepada Islam adalah konsekuensi keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. 

Konsep kepemimpinan dalam Islam bukan sekedar mendudukan seorang muslim di panggung kekuasaan. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana kekuasaan digunakan untuk menjaga, menerapkan dan mendakwahkan Islam serta bertanggungjawab dunia akhirat dalam mengurus rakyat dengan hukum-hukum Islam. 

Seorang pemimpin yang bertanggungjawab memimpin rakyat, maka visinya harus untuk mewujudkan masyarakat yang beriman dan bertakwa kepada Allah. 

Pemimpin itu ibarat nahkoda sebuah kapal yang sedang berlayar di tengah lautan luas dengan ombak yang setiap saat bisa menghantamnya. Nahkoda adalah orang yang paling bertanggungjawab kemana kapal berlayar. Nahkoda adalah pemimpin dan kapal adalah wadah atau sistemnya.

Misi seorang pemimpin dalam paradigma Islam adalah untuk mencapai kebahagiaan rakyat di dunia dan keselamatan di akhirat. Pemimpin dalam paradigm Islam adalah yang senantiasa berorientasi kepada kemajuan peradaban bangsa dan keberkahan hidup di dunia. Pemimpin dalam paradigma Islam juga selalu berorientasi kepada kehidupan akhirat yang abadi.

Kekuasaan dalam Islam adalah untuk menerapkan hukum Allah demi mewujudkan hasanah di dunia dan hasanah di akhirat. Allah telah berfirman : Ya Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia ini dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka (QS Al Baqarah : 201).

Islam adalah agama yang benar dan sempurna karena berasal dari Allah yang maha sempurna. Islam adalah pedoman hidup menuju keselamatan dunia akherat. Meninggalkan hukum dan peringatan Allah akan melahirkan kesengsaraan dan kesempitan hidup. 

Hal ini sejalan dengan peringatan Allah SWT : Barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam Keadaan buta". (QS Thaha : 124).

Masalah kepemimpinan dalam pandangan Islam adalah perkara yang sangat penting. Saking pentingnya keberadaan kepemimpinan dalam Islam, tatkala Rasulullah wafat, para sahabat menunda memakamkan jenazah Rasulullah selama dua malam untuk bermusyawarah memilih pemimpin pengganti kepemimpinan Rasulullah dan terpilihlah sahabat Abu Bakar Asy Syidiq menjadi seorang khalifah pertama dalam Islam.

Fungsi kepemimpinan dalam Islam adalah untuk mengatur urusan manusia agar tertib sejalan dengan nash Al-Qur’an serta tidak terjadi kekacauan dan perselisihan. 

Rasulullah memerintahkan kita agar mengangkat salah satu menjadi pemimpin dalam sebuah perjalanan. Islam mewajibkan kita untuk taat kepada Allah, Rasulullah dan kepada ulil amri yakni orang yang diamanahi untuk mengatur urusan umat . Allah berfirman : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (QS An Nisaa : 59).

Ayat ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa wajib bagi kita untuk mentaati Ulil Amri atau pemimpin di antara kita, selama ulil amri tersebut taat kepada hukum Allah dan RasulNya. Secara bahasa (harfiah) ulil amri bermakna penguasa atau orang yang memegang urusan. Pemimpin menurut Imam Bukhari dan Abu Ubaidah memiliki makna orang yang diberi amanah untuk mengurus urusan orang-orang yang dipimpinnya.

Abu Hurairah memaknai ulil amri sebagai al umara (penguasa). Maimun bin Mahram dan Jabir bin Abdillah memaknainya dengan ahlul ‘ilmi wa al khoir (ahli ilmu dan kebaikan). Sedangkan Mujahid dan Abi Al Hasan memaknai kata ulil amri sebagai al ‘ulama. Dalam riwayat lain, Mujahid menyatakan bahwa mereka adalah sahabat Rasul. Ikrimah memaknai ulil amri lebih spesifik yakni Abu bakar dan Umar bin Khatab.

Ibnu Abbas memaknai ulil amri sebagai al umara wa al wullat atau para penguasa. Kontek ayat ini juga turun berkaitan dengan kewajiban mentaati para penguasa. Sayyidina Ali bin Abi Thalib, karamallahu wajhah dalam Tafsir Al Quran karya Al Baghawi menjelaskan bahwa seorang imam atau pemimpin negara wajib memerintah berdasarkan hukum yang telah diturunkan Allah SWT, serta menunaikan amanah. Jika dia melakukan itu, maka rakyat wajib untuk mendengarkan dan mentaatinya.

Kata khilâfah menurut makna syariah banyak dinyatakan dalam hadis, misalnya: Sesungguhnya (urusan) agama kalian berawal dengan kenabian dan rahmat, lalu akan ada khilafah dan rahmat, kemudian akan ada kekuasaan yang tiranik. (HR al-Bazzar).

Kata khilâfah dalam hadis ini memiliki pengertian: sistem pemerintahan, pewaris pemerintahan kenabian. Ini dikuatkan oleh sabda Rasul ﷺ: Dulu Bani Israel dipimpin/diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi wafat, nabi lain menggantikannya. Namun, tidak ada nabi setelahku, dan yang akan ada adalah para khalifah, yang berjumlah banyak. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Dalam pengertian syariah, khilafah digunakan untuk menyebut orang yang menggantikan Nabi SAW. dalam kepemimpinan Negara Islam (ad-dawlah al-islamiyah) (Al-Baghdadi, 1995:20). Inilah pengertiannya pada masa awal Islam. Kemudian, dalam perkembangan selanjutnya, istilah khilafah digunakan untuk menyebut negara Islam itu sendiri (Al-Khalidi, 1980:226. Lihat juga: Dr. Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, IX/823).

Banyak sekali definisi tentang khilafah atau disebut juga dengan Imamah yang telah dirumuskan oleh oleh para ulama. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut: khilafah adalah kekuasaan umum atas seluruh umat, pelaksanaan urusan-urusan umat, serta pemikulan tugas-tugasnya (Al-Qalqasyandi,Ma’âtsir al-Inâfah fî Ma‘âlim al-Khilâfah, I/8). Imamah (khilafah) ditetapkan bagi pengganti kenabian dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia (Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm. 3).

Khilafah adalah pengembanan seluruh urusan umat sesuai dengan kehendak pandangan syariah dalam kemaslahatan-kemaslahatan mereka, baik ukhrawiyah maupun duniawiyah, yang kembali pada kemaslahatan ukhrawiyah (Ibn Khladun Al-Muqaddimah, hlm. 166 & 190).

Imamah (khilafah) adalah kepemimpinan yang bersifat menyeluruh sebagai kepemimpinan yang berkaitan dengan urusan khusus dan urusan umum dalam kepentingan-kepentingan agama dan dunia (Al-Juwaini,Ghiyâts al-Umam, hlm. 15). 

Dengan demikian, khilafah (Imamah) dapat didefinisikan sebagai : kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan hukum-hukum syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.

Definisi inilah yang lebih tepat. Definisi inilah yang diadopsi oleh Hizbut Tahrir (Lihat: Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, Qadhi an-Nabhani dan diperluas oleh Syaikh Abdul Qadim Zallum, Hizbut Tahrir, cet. VI [Mu’tamadah]. 2002 M/1422 H). Dalam buku yang dikeluarkan Hizbut Tahrir berjudul, Azhijah ad-Dawlah al-Khilâfah (Libanon: Beirut, 2005), perbedaan sistem pemerintahan khilafah dengan non-khilafah disebutkan sebagai berikut. 

Khilafah bukan monarki (kerajaan). Khilafah bukan kekaisaran (imperium). Khilafah bukan federasi. Khilafah bukan republik. Khilafah: Sisitem Pemerintahan Khas.

Rasululah adalah pemimpin teladan dalam Islam yang sepenuhnya berhukum kepada wahyu Allah dalam mengatur seluruh urusan manusia dan dunia, bukan dengan hawa nafsu. Aturan dan undang-undang dalam paradigma negara dalam Islam bersumber dari Al-Qur’an dan al hadis, bukan berdasarkan kesepakatan sosial.

Dengan demikian, dalam konteks hari ini, seorang pemimpin yang wajib kita taati adalah pemimpin yang mengatur sistem pemerintahannya, ekonomi, sosial, pendidikan, politik luar negeri atau hukum-hukum syariah yang lain bersumberkan kepada Al-Qur’an dan Al Hadis.

Dengan kata lain seorang pemimpin muslim yang menerapkan Islam secara kaafah. Selain itu pemimpin itu juga harus seorang muslim, laki-laki, merdeka, berakal, baligh, adil, dan memiliki kemampuan. Menjadi pemimpin atau atau mentaati pemimpin adalah perbuatan yang juga akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat.

Kesalahan memilih pemimpin yang tidak menerapkan Islam secara kaffah akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Islam memerintahkan kepada kita untuk masuk Islam secara kaaffah. Nah, Ramadhan bagi seorang pemimpin akan menjadi kekuatan untuk merealisasikan misi peradaban Islam. 

(Kota Hujan, 22/03/24 M – 12 Ramadhan 1445 H, 05.22 WIB)


Oleh : Dr. Ahmad Sastra 
Dosen Filsafat 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar