Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Remaja Kejam dan Sadis Dampak Kapitalisme


Topswara.com -- Korban tewas akibat perang sarung bertambah lagi. Seorang pelajar SMP berinisial TS (16) tewas setelah terlibat perang sarung di Desa Randusari, Kecamatan Pagerbarang, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Senin (10/4/2023) malam. 

Korban meninggal akibat luka pada bagian punggung belakangnya. Diduga, luka tersebut akibat sayatan benda tajam yang digunakan pelaku saat perang sarung. Buntut dari peristiwa itu, polisi menangkap 12 remaja lainnya yang mayoritas juga pelajar. Sementara seorang lainnya yang diduga pelaku utama, masih dalam pengejaran polisi.(Kompas.com 11/04/2023)

Dahulu perang sarung hanyalah permainan untuk menunggu atau selepas Shalat Tarawih, namun sekarang perang sarung menjadi ajang kekerasan anak-anak yang meresahkan masyarakat. 

Pasalnya selain membawa sarung yang ujungnya diikat sehingga membentuk gumpalan yang jika dipukulkan ke arah lawan akan terasa sakit, seringkali mereka juga membawa senjata tajam seperti yang terjadi di Tegal diatas. 

Bulan lalu di Cibadak, polisi juga menemukan celurit, pedang, stik golf dan besi-besi di tas para remaja yang akan melakukan perang sarung. Maka tidak heran bila perang sarung kerap kali memakan korban jiwa.

Remaja Makin Sadis dalam Sistem Kapitalisme

Potret remaja yang emosional dan semakin sadis ini tentu tidak lahir begitu saja, namun didukung oleh sistem kapitalisme sekuler yang berlaku saat ini.  Penerapan sistem ini berakibat kehidupan remaja terpisahkan dari agama. 

Agama tidak lagi dijadikan pedoman dan petunjuk dalam berfikir dan bertingkah laku. Para pemuda berjalan menurut hawa nafsu dan eksistensi diri, popularitas, memburu kesenangan fisik, hiburan dan nilai-nilai materialistik.

Sistem kapitalisme membuat pendidikan saat ini tidak menjadikan aqidah Islam sebagai landasannya. Agama yang diajarkan di bangku sekolah sekedar teori belaka, tidak untuk diamalkan secara praktis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Agama hanya dibolehkan untuk mengatur perkara ibadah mahdoh semata, tidak untuk petunjuk seluruh kehidupan.

Alhasil lahirlah generasi minim visi dan orientasi hidup. Sistem kapitalisme juga membajak potensi para pemuda untuk melanggengkan kepentingan para oligarki. Para pemuda tersibukkan untuk memenuhi keserakahan para kapitalis.

Pemerintah sendiri seolah berlepas tangan dari tanggung jawab menjaga generasi dan menutup segala pintu penyebab rusaknya generasi saat ini. Pemerintah justru memberi ruang kebebasan kepada setiap individu untuk bebas berbuat atas nama Hak Asasi Manusia (HAM). 

Hal tersebut justru membawa generasi berada di jurang kebebasan. Apatah lagi, ketika pemerintah juga tak punya visi penyelamat generasi. 

Kapitalisme hanya mencukupkan diri pada upaya-upaya pragmatis seperti penangkapan pelaku tawuran, himbauan dan sejenisnya tanpa disertai sanksi tegas yang membuat jera. Jadilah generasi mengikuti kemana arus bertiup. Abai terhadap bahaya yang mengancam. 

Sistem Islam Menciptakan Remaja Berkualitas

Berbeda dengan sistem kapitalisme, sistem Islam dengan aturan-aturan yang bersumber dari hukum syariah akan mengatur seluruh kehidupan baik dalam lingkup keluarga, masyarakat dan negara. 

Sehingga tidak didapati asas kebebasan dalam berbuat, sebab setiap perbuatan selalu terikat dengan hukum syariah. Kesemuanya akan dimintai pertanggung-jawaban oleh Allah SWT. 

Maka akan tercipta ketaatan pada setiap individu muslim. Islam memandang bahwa kualitas pemuda sangat penting dalam eksistensi peradaban Islam.

Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Ibnu Baaz dalam sebuah kitabnya “Musuh-musuh Islam berusaha merintangi jalan para pemuda muslim. Merubah pandangan hidup mereka baik dengan memisahkan mereka dari agama, menciptakan jurang antara mereka dengan ulama dan norma-norma yang baik di masyarakat. 

Mereka memberi label buruk terhadap ulama sehingga para pemuda menjauh, menggambarkan para ulama dengan sifat dan karakter yang buruk, menjatuhkan reputasi para ulama yang dicintai masyarakat atau memprovokasi penguasa untuk bersebrangan dengan mereka”.

Oleh karena itu, Islam memerintahkan semua pihak untuk bertanggung jawab terhadap para pemuda agar menjadi sosok berkualitas demi kemuliaan Islam dan bermanfaat bagi umat.

Dimulai dari institusi paling terkecil dari sebuah masyarakat yakni keluarga. Orang tua berkewajiban mendidik anak-anaknya agar memiliki akidah Islam yang kokoh sehingga semenjak dini telah terbentuk kepribadian Islam yakni memiliki aqliyah atau pola pikir Islami dan nafsiyah atau jiwa Islami. Sehingga sebelum berbuat anak akan mempertimbangkan perbuatannya sesuai standar syariah, apakah dibolehkan atau tidak.

Dengan demikian seorang anak akan memahami hakikat keberadaannya di dunia, dan perkara konsekuensi dari perbuatan yang dilakukan di dunia saat ini, sehingga tidak asal berbuat, atau fanatik buta terhadap sesuatu, juga tidak mengorbankan waktu yang amat berharga hanya demi mencari materi dan eksistensi belaka sebagaimana yang terjadi pada pemuda dalam sistem kapitalisme sekularisme saat ini.

Dalam Islam, masyarakat juga berkewajiban menegakkan amar makruf nahi mungkar. Masyarakat tidak akan membiarkan kemaksiatan merebak di entitasnya. Masyarakat tidak akan diam saja ketika melihat sebuah kemaksiatan. 

Masyarakat memahami kewajiban untuk saling mengingatkan antar satu sama lain atas landasan ketakwaan kepada Allah SWT.

Karena itu para generasi yang telah dididik dalam keluarganya mendapat tempat untuk belajar dan mempraktikkan apa yang mereka pahami dalam kehidupan. Generasi pemuda akan tersibukkan berjuang untuk kemuliaan Islam dan kaum muslimin.

Negara juga bertugas menjaga individu kaum muslim secara komunal. Negara akan menerapkan aturan Islam secara keseluruhan. Negara akan menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah agar terbentuk Muslim yang memiliki kepribadian Islam. 

Negara juga menjaga akidah umat Islam dari pengaruh pemikiran dan pemahaman yang tidak berasal dari Islam yang dapat merusak akidah umat.

Islam juga menerapkan sistem sanksi bagi para pelaku maksiat yang telah baligh termasuk para remaja. Apabila terdapat pelaku maksiat yang melanggar aturan syariat berupa berbuat onar maka negara akan menerapkan sanksi berupa ta’zir. Jika terdapat pelaku penganiayaan atau pembunuhan maka pelakunya mendapat sanksi qishas.

Sistem sanksi dalam Islam memberi efek jera dan sebagai penebus dosa bagi para pelaku (jawabir) dan sebagai pencegah (zawajir). Al-hasil negara tidak memberikan ruang sedikitpun bagi para pemuda untuk melakukan tindakan kemaksiatan.

Demikianlah penjagaan khalifah terhadap para generasi dengan penjagaan paripurna sehingga mampu melahirkan generasi mulia dan berkualitas.

Dengan demikian, jika kita mengharapkan perubahan hakiki pada kondisi generasi muda saat ini, sudah saatnya kita mencampakkan kapitalisme sekularisme. Wallahu’alam bissawab.


Oleh: Kamilah Azizah
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar