Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Polemik Pembatasan Fungsi Masjid


Topswara.com -- Istilah tahun politik sudah dimulai bahkan dua tahun ke belakang. Namun tahun ini bisa jadi adalah puncak segala aktivitas yang berhubungan dengannya. 

Sejalan dengan hal tersebut, Wapres Makruf Amin pun menyampaikan dengan tegas agar para partai politik ini tidak melakukan aktivitas kampanye nya di masjid. Pernyataan tersebut untuk menyikapi kejadian baru-baru ini di Cirebon, dimana ada bendera partai politik yang dikibarkan dalam masjid. (Republika, 08/01/2023) 

Pernyataan sekaligus himbauan ini terus membumi mendekati masa-masa kampanye partai politik saat ini. Seperti apa fakta tentang fungsi masjid sebenarnya? Apakah benar pernyataan bahwa kita tidak diperkenankan menyampaikan atau melakukan aktivitas politik di dalam masjid? Lantas bagaimana pemanfaatan masjid di masa Rasulullah dahulu dan para khalifah setelahnya? 

Masjid, merupakan tempat ibadah dalam agama Islam. Bangunan ini dirancang khusus untuk umat Islam melaksanakan shalat, baik secara jama'ah maupun sendiri. 

Selain untuk menjalankan shalat, masjid juga seringkali digunakan umat Islam untuk membaca Al-Quran, belajar tentangnya, dan menyebarkan isinya. Aktivitas ini seringkali dilakukan baik dalam forum besar (seperti majelis taklim, kajian bakda subuh dan dhuha) atau juga forum-forum diskusi kecil.

Sebelum akhirnya disambungkan dengan fakta di atas, perlu lah kiranya kita menilik kembali definisi politik itu sendiri. Politik secara bahasa berasal dari bahasa Yunani 'politika' yang memiliki arti urusan kota. 

Adapun secara istilah, politik adalah serangkaian kegiatan terkait pengambilan keputusan dalam suatu kelompok tertentu. Politik juga merupakan bentuk lain dari hubungan kekuasaan individu, distribusi sumberdaya dan status.(wikipedia.org) 

Lantas jika kita lihat dalam kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI), politik bisa bermakna tiga hal, yakni : pengetahuan tentang ketatanegaraan atau kenegaraan; segala urusan dan tindakan mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain; dan juga cara bertindak dan kebijaksanaan.(kbbi.web.id) 

Adapun dalam Islam, politik lebih diartikan sebagai pengaturan urusan umat, baik di dalam maupun luar negeri. Dilakukan oleh negara dan umat, atas dasar ideologi (mabda). Dengan kata lain, politik dalam Islam mencakup hal yang lebih luas daripada sekedar urusan pemerintahan. Ia juga mencakup segala urusan keumatan, baik terkait muamalah, pendidikan ataupun yang lainnya.

Dengan mengetahui makna serta hakikat kata politik, maka sudah seharusnya kita tidak lagi men-cap politik dengan pandangan negatif semata. Justru sebaliknya, politik akan bermakna positif. 

Apalagi jika disandingkan dengan rasa kepedulian dan proses penyelesaian masalah yang terjadi di tengah masyarakat. Hal tersebut sepadan dengan perumpamaan satu tubuhnya umat Islam, yang mana telah Allah sampaikan melalui hadis Rasulullah SAW yang artinya, 

"Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi dan saling berempati bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya merasakan sakit, seluruh tubuh turut merasakannya dengan berjaga dan merasakan demam.” (HR Bukhari, Muslim)

Selain pengertian politik yang ternyata lebih luas dari sekedar pemerintahan, kenyataan bahwa tidak semua urusan politik kenegaraan bersifat kotor dan penuh dengan intrik, itu harus kita terima. 

Oleh karena itu, jelas saja jika Islam tidak pernah membatasi umatnya dalam membicarakan urusan politik, baik waktu, siapa yang membicarakan ataupun terkait dengan tempat. 

Lihatlah bagaimana Baginda Rasulullah SAW menjadikan masjid sebagai tempat ibadah sekaligus pusat pemerintahan. Rasulullah shalat di dalamnya, menyampaikan ayat-ayat Al-Qur'an, menyatukan orang yang berselisih, menyelesaikan segala urusan kaum muslimin. Begitupun saat mendiskusikan strategi negara dalam hal dakwah dan peperangan, Rasulullah melakukannya di dalam masjid. 

Artinya, tidak pernah ada larangan untuk membicarakan politik di dalam masjid. Sebaliknya, mayoritas pembicaraan yang menyangkut politik saat itu justru dibicarakan di dalam masjid. Lantas kenapa saat ini berbeda? Masjid justru hanya dikhususkan untuk hal-hal yang bersifat ibadah saja, semacam shalat dan mengaji. 

Sedangkan untuk hal-hal yang berbau politik dijauhkan. Bahkan jika ada khutbah ataupun isi ceramah yang berbau politik, itupun jadi masalah. Teks khutbah ditinjau, penceramah dipilih-pilih, dibuatkan sertifikasinya, bukan berdasar keilmuan, melainkan pemahaman yang harus sesuai dengan sang pengambil kebijakan.Semua itu terjadi sebab bercokolnya sistem sekuler di negeri ini. 

Sistem sekuler yang senantiasa memisahkan agama dari kehidupan, selalu menstereotipkan agama sebagai sesuatu yang netral. Hanya bertujuan untuk ibadah saja, menjalin hubungan dengan Allah. Begitupun dengan tema-tema yang disampaikan di dalamnya. 

Adapun untuk tema-tema yang dekat dengan perpolitikan, akan dihindarkan. Hal yang serupa pun dilakukan untuk para ustaz, kyai, dan ulama. Mereka didorong untuk berkutat hanya seputar bahasan fikih shalat dan thaharah saja. 

Adapun untuk urusan politik, apalagi pemerintahan, mereka pun dilarang. Yang menarik bahkan, para ulama dan asatiz ini didorong untuk mengkhususkan diri berdakwah dengan tema-tema tertentu, yang jauh dari tema-tema politik. 

Miris, kondisi semacam itu jauh berbeda dengan masa pemerintahan Rasulullah dan para khalifah setelahnya. Masa dimana para ulama tak hanya diperkenankan untuk mengurusi urusan perpolitikan, mereka bahkan dijadikan pendamping dan penasihat saat khalifah memutuskan kebijakan ataupun strategi perpolitikan. Yang mana proses pengambilan kebijakan tersebut dilakukan di dalam masjid. 

Alhasil, bisa ditarik kesimpulan bahwa tidak pernah ada larangan (baik secara khusus ataupun umum) untuk membicarakan atau melakukan aktivitas politik di dalam masjid, selama semua orang yang terlibat tetap menjaga adab di dalamnya. Terkait dengan hal yang ramai dibicarakan akhir-akhir ini, juga himbauan agar tidak melakukan aktivitas politik di masjid, murni sebab ketidaktahuan, dan pemikiran sekuler yang sudah menjalar di tengah masyarakat. 

Padahal, fungsi utama masjid tidak hanya sebagai tempat untuk pelaksanaan aktivitas ibadah ritual seperti yang disebutkan di atas tadi, namun juga sebagai sentral dalam aktivitas umat Islam. 

Lihatlah bagaimana ketika Rasulullah SAW kali pertama tiba di kota Yastrib (sekarang Madinah), beliau tidak membangun benteng sebagai tembok pertahanan untuk menahan serangan dari luar kota Yastrib, namun beliau SAW memerintahkan para sahabatnya untuk membangun sebuah masjid, dan beliau ikut serta dalam pembangunan masjid tersebut dan kemudian masjid tersebut diberi nama Masjid Nabawi.

Bahkan, masih dalam peristiwa hijrah, sebelum tiba di kota Madinah, yakni beberapa kilometer sebelum beliau dan Abu Bakar ra sampai di pusat kota Madinah, beliau singgah di desa Quba, yang masih masuk wilayah Kota Madinah. 

Beliau bersama Abu Bakar tinggal selama empat hari, kemudian membangun masjid yang kemudian diberi nama masjid Quba.
Rasulullah SAW tidak hanya menjadikan Masjid sebagai tempat ibadah ritual, namun masjid dijadikan sebagai sentral aktivitas umat Islam. 

Di dalam masjid Rasulullah membicarakan masalah umat sekaligus memberikan solusinya, bahkan mengatur strategi perang pun beliau SAW lakukan di dalam masjid, seperti strategi perang uhud. inilah aktivitas politik yang dilakukan oleh Rasulullah SAW di dalam masjid. Karena politik (siyasah)sendiri adalah sebagai pemeliharaan urusan umat (ri'âyah syu'ûn al-ummah).

Sebagaimana Rasulullah SAW :
“Dulu Bani Israel diurus (tasusuhum) oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudah aku. Yang akan ada adalah para khalifah dan mereka banyak.” Para Sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi bersabda, “Penuhilah baiat yang pertama. Yang pertama saja. Berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa yang diminta agar mereka mengurusnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan Ibn Majah).

Sehingga aktivitas politik adalah segala aktivitas yang terkait dengan pengaturan urusan masyarakat (ri’ayah syu’un al-ummah), baik yang terkait dengan kekuasaan (as-sulthan) sebagai subyek (al-hakim) yang melakukan pengaturan urusan masyarakat secara langsung, maupun yang terkait dengan umat sebagai obyek (al-mahkum) yang melakukan pengawasan (muhasabah) terhadap aktivitas kekuasaan dalam mengatur urusan masyarakat (Mafahim Siyasiyah li Hizb at-Tahrir, 2005, hlm. 5).

Runtuhnya Khilafah Turki Utsmaniy pada 3 Maret 1924, menjadi awal dari sekulerisasi terhadap Islam dan simbol-simbolnya. Mustafa Kemal At Tarturk yang memang berhaluan sekuler, ketika berhasil menghapuskan sistem khilafah, ia kemudian mengubah Turki menjadi sekuler.

Tahun 1925 ia mengeluarkan aturan yang melarang penggunaan pakaian Muslim baik untuk laki-laki Muslim dan juga wanita Muslimah, salam dalam Bahasa arab diganti dengan anggukan kepala. 

Tahun 1928, keluar keputusan tentang penghapusan pelajaran agama, merubah bacaan Al-Qur'an dan azan dengan bahasa Turki, mengganti huruf arab dengan latin, menyamakan hak waris antara laki-laki dengan wanita, dan aturan lainnya yang mulanya berasal dari Islam diganti dengan alasan pembaharuan untuk Turki yang modern. 

Sekulerisasi ini juga yang digunakan barat untuk menjajah kembali negeri-negeri Islam yang sudah terpecah-pecah menjadi lebih dari 57-an negara. Di Indonesia misalnya, akibat dari penjajahan yang sangat lama tersebut, proses sekulerisasi telah kental di negeri ini. Ditanamkan oleh penjajah bahwa tidak ada hubungan antara agama dan negara. 

Agama tidak mengatur urusan negara. Harus dipisahkan urusan agama dengan kehidupan. Inilah sekuler, yakni fasluddin 'anil hayah yang berarti memisahkan agama dari kehidupan, baik kehidupan bermasyarakat hingga kehidupan bernegara. Hingga munculah opini misalnya “jangan membicarakan urusan politik di dalam masjid”, dan sebagainya.

Oleh karena itu, penting kiranya terus difahamkan dan disadarkan kepada sebagian umat Islam, bahwa Islam adalah agama yang tidak hanya mengatur aspek ibadah ritual yakni hubungan antara hamba dan pencipta-Nya seperti dalam perkara aqidah dan ibadah saja, namun juga Islam menurunkan syariah Islam untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam masalah mu’amalah (kehidupan social, politik, hukum, budaya, dan lainnya) serta uqubat. 

Serta syariah Islam yang diturunkan untuk mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri dalam perkara akhlaq, pakaian, makanan, dan minuman.

Masjid adalah sentral dakwah pusat aktivitas umat Islam, sehingga masjid tidak hanya dijadikan tempat untuk pelaksaan sholat, dzikir, baca Qur’an dan ibadah ritual lainnya, namun juga dijadikan sebagai tempat untuk membina dan menyarkan umat Islam dengan aktivitas-aktivitas politik, karena seluruh kehidupan masyarakat tidak lepas dari kebijakan politik yang diterapkan oleh penguasa, baik kebijakan politik dalam hal ekonomi, sosial, budaya dan lainnya. Wallahu a’lam bisshawab.


Oleh: Tri Setiawati, S.Si
Sahabat Topswara 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar