Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Demokrasi Gagal Memberantas Korupsi


Topswara.com -- Ibarat penyakit kanker, korupsi telah menggerogoti setiap tubuh dalam lembaga negara ini. Mulai dari level teri yaitu lembaga terkecil sampai dengan level kakap sekelas hakim. Belum lama tepatnya September lalu tertangkap hakim MA (Sudrajad Dimyati) yang menerima suap pengurusan perkara. 

Kini yang terbaru KPK tetapkan hakim tersangka ke-14 dugaan korupsi di Mahkamah Agung. Tersangka kasus suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA), Hakim Yustisial/Panitera Pengganti Mahkamah Agung (MA) EW, dikawal petugas untuk dilakukan penahanan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (19/12/2022). 

Dilansir dari BBC.com (20/12/2022) pengamat korupsi mengatakan terjadinya korupsi di lembaga peradilan karena penegak hukum memiliki kewenangan besar, dengan kontrol yang sangat kecil. Pengamat juga mengatakan bahwa celah korupsi dalam lembaga peradilan hukum adalah ketika mendapatkan promosi jabatan ataupun mutasi.

Jika lembaga peradilan hukum bahkan sudah pada jenjang kehakiman yang tinggi bermain kotor (korupsi), maka sudah dapat dipastikan bahwa peradilan yang menjadi peran dan fungsi mereka patut diragukan. Dengan kata lain lembaga peradilan justru miskin akan keadilan dalam menindak suatu perkara. Nyata, Indonesia darurat hukum.

RKHUP Jalan Mulus Untuk Para Koruptor
OTT yang menjadi salah satu Langkah yang dilakukan oleh KPK dalam menindak koruptor nyatanya tidak dipandang baik oleh Menko Marves, Luhut. Menteri yang terkenal dengan pernyataannya yang kerap kali fenomenal. Kali ini ia turut berkomentar soal kinerja KPK yang kerap melakukan OTT dianggapnya merusak citra bangsa.

Dalam acara Aksi Pencegahan Korupsi 2023-2024 di Jakarta, secara daring, Selasa (20/12/2022) Luhut menyatakan untuk KPK tidak melulu main tangkap dan pernyataan LBP ini menjadi fenomenal bahwa kalua mau “kerja bersih” di Surga. 
Seolah menyatakan bahwa kerja dengan kecurangan adalah sebuah keniscayaan hari ini. Jelas ini adalah bentuk toleransi yang tidak sepatutnya dilakukan terlebih para pejabat yang harusnya kerja melayani dan menegakkan keadilan untuk rakyat justru bermain belakang. Jelas ini adalah keburukan.

Hal ini menandakan rusaknya sistem hukum di Indonesia. Terlebih adanya anggapan OTT merusak citra bangsa.  Maka pemberantasan korupsi pun laksana mimpi melihat berbagai pembelaan terhadap koruptor.

Terlebih pasca disahkannya RKHUP 6 Desember lalu yang ada pasalnya justru memberangus dan memandulkan peran KPK. Juga hukumannya yang justru menguntungkan koruptor.

Berdasarkan catatan tren vonis ICW sepanjang tahun 2021, dari 1.282 perkara korupsi, rata-rata hukuman penjaranya hanya 3 tahun 5 bulan. Persoalan ini semakin diperparah dengan disahkannya UU Pemasyarakatan yang memberikan kemudian bagi terpidana kasus korupsi
untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat tanpa harus melunasi pidana tambahan
denda dan uang pengganti, serta tidak harus menjadi justice collaborator.

Pertanyaanya bagaimana mungkin pemerintah Bersama DPR mensahkan RKHUP ditengah meningkatnya kasus korupsi justru hukuman bagi para tikus berdasi malah disunat?

Sungguh korupsi ini menjadi penyakit yang berbahaya dinegara ini. Sebab negara kehilangan pejabat yang amanah dalam mengemban tugasnya. Orientasi profesionalisme bukan lagi menjadi tujuan utama dalam bekerja namun bisa tergadaikan dengan cuan yang menggiurkan. 

Memberantas Korupsi Hingga Akarnya

Sebagaimana yang dicontohkan khalifah Umar bin Khattab untuk menyelesaikan kasus korupsi dengan membuat kebijakan agar kekayaan para pejabatnya dihitung sebelum dan sesudah menjabat, jika ada selisih positif, maka dilarang untuk mengambil kelebihan gaji selama masa jabatannya, maka beliau tidak segan-segan menunjuk pengawas khusus yang mempunyai tanggung jawab untuk mengawasi kekayaan para pejabat. 

Berdasarkan laporannya, Umar kemudian membagi kekayaan Abu Hurairah(gubernur Bahrain,) Amru bin Ash (Gubernur Mesir), Mali’ bin Amr Al- Khazai (gubernur Makkah dan lain-lain. Pada zamannya, beliau juga melarang para pejabat berbisnis, agar tidak ada konflik antara jabatan dan kepentingan muamalahnya

Secara garis besar bagaimana aturan Islam mencegah aparatur negara melakukan korupsi, yaitu pertama: negara memberikan gaji yang memadai kepada para aparaturnya, dengan begitu gaji mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder hingga tersier mereka. 

Kedua, dalam dengan katanya syarat perfeksionalitas, dengan begitu, mereka memiliki self control yang kuat. Ketiga, untuk mengetahui apakah mereka melakukan korupsi atau tidak khilafah juga menetapkan kebijakan perhitungan kekayaan mereka sebelum dan sesudah menjabat, jika ada kelebihan harta yang tidak dapat dijelaskan darimana asalnya maka dianggap bahwa pejabat tersebut melakukan korupsi. 

Keempat, khilafah juga menerapkan hukuman yang berat, bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk, hingga hukuman mati, inilah cara yang dilakukan oleh Islam untuk mencegah korupsi. Wallahu A’lam Bishawab


Oleh: Nurhayati, S.S.T.
Sahabat Topswara
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar