Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Dana Bantuan Naik, Akankah Fungsi Parpol Lebih Baik?


Topswara.com -- Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengusulkan menaikkan bantuan dana untuk partai politik (parpol) tiga kali lipat, dari Rp 1.000 menjadi Rp 3.000 per suara dengan harapan agar parpol dapat meningkatkan kemandirian keuangan partai.

Sejalan dengan Mendagri, Anggota Dewan Pengawas KPK Syamsuddin Haris mengatakan jika selama ini subsidi dari negara untuk bantuan keuangan partai nilainya tidak signifikan atau hanya memenuhi sekitar 1 persen dari kebutuhan partai. Ia mengusulkan agar subsidi negara mencakup 50 persen dari kebutuhan partai sehingga membuka peluang bagi parpol untuk memiliki otonomi secara finansial. (mediaindonesia.com 17/9/2022)

Di Indonesia, pendanaan terhadap parpol memang sudah diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU No 8 Tahun 2008 pasal 34 yang menjelaskan bahwa keuangan partai politik bersumber dari iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum dan bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Jika melihat kondisi keuangan Indonesia saat ini yang sedang kolaps akibat utang dan defisit anggaran. Sebagaimana yang disampaikan oleh Menkeu Sri Mulyani beberapa waktu lalu bahwa subsidi BBM membebani APBN hingga pemerintah tega menaikkan harga BBM yang tentu saja hal itu akan menambah beban masyarakat. 

Maka, usulan kenaikan dana bantuan parpol, apalagi sampai tiga kali lipat sangat tidak tepat dan tidak pantas. Harusnya pemerintah lebih mementingkan kebutuhan masyarakat luas daripada kebutuhan parpol.

Dalam sistem demokrasi seperti saat ini, pendanaan memang menjadi hal yang vital buat organisasi, termasuk bagi parpol. Sebab, melalui dana yang terkumpul, parpol bisa menjalankan program yang dirancang untuk mencapai tujuannya. Betapa tidak, selain pendidikan politik bagi anggota parpol dan biaya operasional, biaya politik untuk pelaksanaan pemilu juga sangat tinggi.

Porsi paling besar dari biaya politik adalah dana kampanye dan konsolidasi partai terkait pesta lima tahunan. Berdasarkan riset KPK tahun 2015 seorang calon bupati/walikota membutuhkan  dana Rp 20-30 miliar, sedangkan calon gubernur membutuhkan Rp 20-100 miliar untuk pencalonannya. Bahkan, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan menurut riset, untuk menjadi presiden membutuhkan dana Rp 8 triliun.

Tingginya biaya politik yang dibutuhkan, seringkali membuat para kandidat parpol mengandalkan sumbangan dana dari konglomerat atau korporasi yang memegang kekuatan finansial. Sayangnya, dalam sistem kapitalis demokrasi ini tak ada makan siang gratis dan selalu ada politik balas budi. 

Bagi pemodal, sumbangan yang diberikan kepada kandidat parpol bertujuan untuk memuluskan bisnisnya, sehingga ia bebas menjalankan bisnis tanpa tersentuh hukum. Simbiosis mutualisme seperti ini tentu akan menghasilkan kebijakan atau regulasi yang tidak berorientasi pada kepentingan masyarakat

Jika usulan kenaikan bantuan dana parpol disetujui, toh berdasarkan undang-undang yang ada parpol masih boleh menerima kucuran dana dari para pemodal. Maka, simbiosis mutualisme seperti diatas masih akan terus terjadi. Sebab, sedikit saja dana kampanye berkurang, maka parpol akan sepi peminat dan ditinggal oleh pemilihnya. Masyarakat terlanjur memahami bahwa aktivitas politik hanya sekedar mencoblos dan menunggu jatah amplop dari tim sukses.

Dari sini jelas bahwa usulan kenaikan tersebut hanya demi kepentingan parpol dan segelintir pihak, bukan demi rakyat. Rakyat hanya diperhatikan saat mendekati pemilihan. Setelah itu, rakyat dilupakan, aspirasi mereka nyaris tak pernah didengar apalagi disuarakan di meja-meja sidang penentuan kebijakan. Alhasil, keberadaan parpol dalam sistem demokrasi sebenarnya tidak ada manfaatnya sama sekali.

Dalam teori sistem kapitalis demokrasi, ada yang namanya partai oposisi dan koalisi. Partai oposisi  berfungsi untuk menjadi penyeimbang partai yang sedang berkuasa. Agar kebijakan yang ditetapkan oleh partai berkuasa tidak semena-mena. Sedangkan partai koalisi, bertugas untuk mendukung segala kebijakan yang dibuat oleh partai berkuasa, meskipun kebijakan tersebut menzalimi rakyat.

Seperti yang terjadi baru-baru ini saat sidang paripurna, PKS dan Demokrat sebagai partai oposisi menentang kebijakan kenaikan BBM. Bahkan, kader PKS sampai walkout dari ruang sidang. Sedangkan selain dari kedua partai tersebut, semua setuju dengan kebijakan pemerintah, sebab mereka adalah partai koalisi. Hal yang sama juga terjadi saat dulu Demokrat memimpin. Saat SBY menaikkan harga BBM, yang lantang menolak adalah PDIP yang saat itu menjadi partai oposisi.

Konsep check and balance yaitu adanya partai oposisi dan partai koalisi merupakan konsep demokrasi, yang tidak dikenal dalam Islam. Sebab dalam Islam, seorang kader parpol yang terpilih menjadi penguasa harus melepaskan diri dari partainya. Sehingga tidak ada yang namanya partai berkuasa. Individu tersebut akan fokus mengurusi urusan umat, sebab sudah tidak menjadi bagian internal partai.

Selain itu, tidak boleh ada partai penentang penguasa, sebab seluruh kebijakan harus dipatuhi oleh seluruh warga termasuk anggota partai. Adapun jika ada kebijakan yang dianggap dzalim dan melanggar syariat, maka ada caranya yaitu muhasabah lil hukam (mengoreksi penguasa) yang merupakan tugas utama parpol dan kewajiban seluruh rakyat.

Jadi, parpol dalam sistem Islam akan melakukan koreksi tatkala terjadi penyimpangan dan pelanggaran terhadap hukum syara’. Namun, jika kebijakan negara sejalan dengan syariat Islam maka parpol wajib mendukung. Dengan demikian, parpol tidak berpihak, baik untuk kepentingan penguasa maupun kepentingan rakyat. Ia berdiri untuk beramar makruf nahi mungkar. Jika penguasa salah, ia mengoreksi penguasa, jika rakyat yang salah, ia akan mengoreksi dan mendidik rakyatnya.



Oleh: Annis ZM
Sahabat Topswara
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar