Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Harga BBM Melejit, Rakyat Menjerit


Topswara.com -- Pemerintah resmi menaikkan harga tiga jenis BBM sejak tanggal 3 September 2022 pukul 14.30 WIB. Tiga jenis BBM tersebut adalah pertalite dari harga Rp7.600,00 menjadi Rp10.000,00, Solar dari harga Rp5.000,00 menjadi Rp6.800,00 dan Pertamax dari harga Rp12.500,00 menjadi Rp14.500,00.

Efek Domino Kenaikan Harga BBM

Kenaikan harga BBM memberi efek domino. Seperti di sektor pangan. Untuk mengangkut hasil pangan dari petani ke pasar, diperlukan jasa transportasi. Petani juga memerlukan jasa transportasi untuk mengangkut benih dan pupuk. Jika harga BBM naik maka biaya jasa transportasi pun ikut naik. Sektor pangan yang menggunakan jasa transportasi pun akan terkena efek domino. Jadi, kenaikan harga BBM akan memicu naiknya harga pangan.

Di sektor industri. BBM diperlukan untuk menghidupkan mesin-mesin produksi. Harga bahan baku juga ikut naik. Tidak menutup kemungkinan, pemilik pabrik akan melakukan efisiensi. Hal logis yang bisa dilakukan pemilik pabrik adalah mengurangi pegawai. Maka, kenaikan harga BBM akan memicu terjadikan PHK massal.

Di sisi lain, kenaikan BBM akan menurunkan daya beli masyarakat. Masyarakat miskin semakin bertambah. Ekonomi nasional akan mengalami stagflasi. Padahal baru mulai menggeliat pasca dua tahun pandemi.

Pemerintah mengklaim bahwa keputusan menaikkan harga BBM ini adalah pilihan sulit. Namun kondisi APBN yang jebol karena subsidi BBM memaksa pemerintah untuk melakukan penyesuaian harga BBM. Subsidi telah membebani APBN, klaim pemerintah. Menurut pemerintah, harga saat ini (pasca kenaikan) masih lebih murah dibandingkan harga BBM sebenarnya, jika subsidi benar-benar dicabut.

Kesalahan Paradigma dan Tata Kelola BBM

Paradigma bahwa subsidi BBM membebani APBN melahirkan kebijakan yang menzalimi rakyat. Padahal, jika benar-benar menginginkan efisiensi anggaran, pemerintah bisa membuat skala prioritas dalam pengeluaran APBN. Misal, membatalkan proyek pembangunan ibu kota negara baru.

Sistem kapitalisme neo-liberal merupakan sumber dari paradigma tersebut. Teori ekonominya menyebutkan bahwa intervensi pemerintah dalam ekonomi adalah “ancaman yang paling serius” bagi mekanisme pasar. Dan subsidi adalah bentuk intervensi pemerintah. Ringkasnya, sistem kapitalisme neo-liberal ini antisubsidi.

Negara diposisikan hanya sebagai regulator dan fasilitator. Para kapitalis dipersilakan memiliki apa pun dan mengendalikannya dengan orientasi keuntungan. Termasuk SDA. Swasta individu maupun korporasi diberikan kewenangan untuk mengelolanya mulai dari hulu hingga hilir. Negara hanya mengambil pajak yang jumlahnya tak seberapa dibandingkan kekayaan SDA jika dikelola sendiri oleh negara.

Sistem pemerintahan demokrasi yang berbiaya mahal menjadikan penguasa tunduk pada kepentingan pengusaha. Dengan modal besarnya, para kapital mampu memuluskan jalan calon penguasa untuk duduk di singgasana kekuasaan. Politik balas budi pun dijalankan penguasa, meskipun harus mengkhianati rakyat. Simbiosis mutualisme diantara penguasa dan pengusaha hanya melahirkan penderitaan rakyat.

Negeri ini kaya SDA, namun kekayaan SDA ini tak dirasakan kebermanfaatannya oleh rakyat. Bukan kemakmuran dan kesejahteraan yang didapat rakyat. Sebaliknya, kesulitan hidup senantiasa menemani hari-hari rakyat. Kesalahan tata kelola SDA termasuk BBM merupakan efek dari penerapan sistem kapitalisme neo-liberal demokrasi.

Pengelolaan SDA di Sistem Islam

Berbeda dengan sistem Islam, pengelolaan SDA dilakukan berdasarkan prinsip menyejahterakan rakyat. Standar akidah menjadikan penguasa negeri berlaku adil dan bertanggung jawab atas jabatan yang menjadi amanahnya.

Dalam sistem ekonomi Islam, SDA terkategori dalam kepemilikan umum. Sebagaimana hadits Rasul SAW, "Kaum muslimin berserikat pada tiga hal, yaitu air, padang gembalaan dan api" (HR. Abu Dawud). Sebagai harta milik umum, SDA wajib dikelola oleh negara. Haram menyerahkan pengelolaannya pada pihak swasta individu maupun korporasi.

Tidak sedikit biaya untuk mengeksploitasi sumber daya alam hingga menjadi produk yang bisa dimanfaatkan oleh rakyat. Untuk itu, negara khilafah akan mengambil dana dari kas baitul mal melalui pos kepemilikan umum. Tak kurang-kurang harta di pos kepemilikan umum.

Kita menyaksikan sendiri fakta saat ini, ketika seseorang menguasai tambang batubara di sebuah kabupaten saja, telah menjadikannya raja di daerah tersebut. Terbayang jika dikelola negara dan dikembalikan kepada rakyat, maka keadilan dan kesejahteraan bukan sekedar kata-kata.

Dalam mendistribusikan BBM, negara khilafah bisa membagikannya secara gratis kepada rakyat. Atau menjualnya kepada rakyat dengan harga semurah-murahnya yaitu sesuai dengan biaya produksi atau mengikuti harga pasar.

Jika kebutuhan BBM dalam negeri telah terpenuhi, negara khilafah bisa mengekspornya dan mengelola keuntungan dari hasil ekspor. Haram bagi negara mengambil keuntungan dari penjualan harta milik umum. Keuntungan yang didapat, akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk uang atau penyediaan kebutuhan publik seperti kesehatan dan pendidikan gratis.

Demikianlah pengelolaan BBM di sistem Islam. Penerapan syariat Islam kaffah sebagai konsekuensi keimanan, telah menihilkan kezaliman penguasa. Sebaliknya, keadilan, kesejahteraan dan keberkahan negeri akan dirasakan oleh semua manusia. Sebagaimana janji Allah SWT. dalam Al-Qur'an surah Al-A'raf ayat 96: "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." Wallahu a'lam []


Oleh: Mahrita Julia Hapsari
(Aktivis Dakwah Muslimah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar