Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Haram Hukumnya Menukarkan Kulit Kurban dengan Daging


Topswara.com -- Ahli Fikih Islam K.H. Muhammad Shiddq Al Jawi menerangkan, haram hukumnya menukarkan kulit kurban dengan daging.

"Haram hukumnya bagi shahibul kurban (al mudhahhi) atau panitia kurban yang mewakilinya untuk menukarkan kulit kurban dengan daging," ujarnya kepada Topswara.com, Ahad (3/7/2022).

Ia mengambil pendapat beberapa ulama, di antaranya Hisamuddin ‘Ifanah dalam Al Mufashshal fii Ahkam Al Udh-hiyyah, halaman 154-155, Nada Abu Ahmad, Al Jami’ Li Ahkam Al Udh-hiyah, halaman 55-56, Abu Abdirrahman M. Al ‘Alawi, Fiqh Al Udh-hiyah, halaman 127-132. 

"Karena menukarkan kulit kurban dengan daging itu sebenarnya juga termasuk dalam istilah jual beli (al bai’). Padahal syariah Islam telah mengharamkan menjualbelikan kulit kurban, sebagaimana pendapat jumhur ulama, yaitu ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah," tegasnya.

Menurutnya, menukarkan kulit kurban dengan daging termasuk dalam jual beli, karena jual beli itu ditinjau dari segi barang dagangannya (al mabii’) merupakan istilah umum yang mencakup tiga macam jual beli berdasarkan pendapat Shalah Al Shawi dan Abdullah Al Mushlih, Maa Laa Yasa’u Al Taajir Jahluhu, halaman 75.

"Pertama, menukarkan uang dengan barang, yang disebut jual beli mutlak (al bai’ al muthlaq). Kedua, menukarkan uang dengan uang, yang disebut jual beli valuta (mata uang) (bai’ ash sharaf). Ketiga, menukarkan barang dengan barang, yang disebut jual beli barter (bai’ al muqaayadhah)," paparnya.

Ia menyimpulkan bahwa keharaman menjualbelikan kulit kurban dapat diberlakukan pada pertukaran kulit kurban dengan daging. "Karena pertukaran ini termasuk juga dalam keumuman istilah jual beli (al bai’), walaupun disebut dengan istilah 'pertukaran' (al mubadalah)," simpulnya.

Dalil-Dalil 

Ia juga membeberkan, dalil-dalil yang menunjukkan haramnya menjual kulit kurban antara lain,

"Pertama, dari Abu Hurairah RA, Nabi SAW telah bersabda, 'Man untuk baa’a jilda udh-hiyatihi fa-laa udh-hiyata lahu', Barangsiapa yang menjual kulit kurbannya, maka tidak ada (pahala) kurban baginya," tuturnya.

Menurutnya hadis di atas juga diriwayatkan oleh Al Hakim, Al Mustadrak ‘Ala Al Shahihain, Juz II, halaman 286, nomor 3468, dan Al Baihaqi, Sunan Al Baihaqi, Juz IX, halaman 294. "Ini adalah hadis shahih, demikian menurut Imam As Suyuthi dalam Al Jami’ Al Shaghir Juz II halaman 167,  juga menurut Syeikh Nashiruddin Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhiib halaman 455 dan Shahih Al Jami’ Al Shaghir, Juz II, halaman1055," yakinnya.

Kedua, dari Qatadah bin An Nu’man RA, Nabi SAW bersabda, "Wastamti’uu bi-juluudihaa wa laa tabii’uuhaa." Manfaatkanlah kulit-kulit kurban itu, tapi janganlah kamu menjualnya.

Ia melanjutkan, hadis di atas juga diriwayatkan oleh Ahmad, Juz IV, halaman15. "Dalam Majma’uz Zawaid, Imam Al Haitsami mengatakan hadits ini adalah hadits mursal yang shahih isnadnya. Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, halaman 1019, hadis no 2138," sarannya. 

"Berdasarkan dalil-dalil seperti inilah para ulama mengharamkan jual beli kulit kurban. Imam Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, Juz VII, halaman 385 berkata, 'Tidak halal bagi orang yang berkurban untuk menjual sedikit pun dari kurbannya setelah dia selesai menyembelihnya, baik itu kulitnya, bulunya, rambutnya," ungkapnya.

Demikian juga dengan Imam Nawawi dalam Raudhat Al Thalibin, Juz II, halaman 493, berkata, 'Tidak boleh menjual kulit kurban, tidak boleh pula menjadikan kulit kurban sebagai upah bagi penjagal, meskipun itu kurban sunnah. Yang harus dilakukan adalah menyedekahkan kulit kurban itu.'

"Imam Ibnu Qudamah dalam Al Mughni, Juz IX, halaman 356 juga berkata, 'Secara umum bahwa tidak boleh menjual sesuatu pun dari kurban baik itu dagingnya maupun kulitnya, baik itu kurban sunnah maupun kurban wajib'," tambahnya.

Ia meyimpulkan, maka dari itu, haram hukumnya menukarkan kulit kurban dengan daging. "Karena pertukaran ini sebenarnya juga termasuk dalam keumuman istilah jual beli (al bai’). Kaidah ushuliyah menetapkan Al ‘aam yabqaa ‘alaa ‘umuumihi maa lam yarid daliil at takhshiish. Dalil yang umum tetap dalam keumumannya selama tidak terdapat dalil yang mengkhususkannya," pungkasnya.[] Nabila Zidane
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar