Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Jangan Dibuang


Topswara.com -- Ada yang mengatakan, "buang saja ilmu astronomi jika dalam praktik rukyatul hilal tidak digunakan!" Saya paham bahwa ungkapan tersebut merupakan bentuk sindiran (dalam ilmu balaghah disebut ta'ridh). Namun sindiran tersebut sebenarnya kurang tepat. Mengapa? Karena ilmu astronomi sangat diperlukan dan pada faktanya digunakan dalam aktivitas rukyatul hilal. Hanya saja digunakan pada porsinya secara tepat. Apalagi dalam konteks yang lain, ibadah shalat misalnya, hisab astronomis sangat dominan. Saya akan mencoba perincian sebagai berikut:

Pertama, pada praktik rukyatul hilal, hisab astronomis jelas sangat diperlukan. Karena hisab berbicara tentang konjungsi, sudut elevasi, waktu bulan dan matahari terbenam, ketinggian bulan, jarak bulan dengan matahari, dan lain-lain. Semua digunakan dalam memastikan akurasi aktivitas rukyatul hilal. Namun jika sudah sampai pada tahap verifikasi atas kesaksian hilal, maka yang dijadikan pertimbangan bukan lagi hisab astronomi, melainkan aspek pembuktian (bayyinat) dan persaksian (syahadah). 

Kedua, pada penentuan masuknya waktu shala, kita boleh menggunakan hisab astronomis. Bahkan hari ini kita tergantung dengan perhitungan tersebut. Jarang diantara kita yang melakukan pengamatan langsung terhadap matahari atau bayangan benda. Dalam penyusunan kalender juga sama, menggunakan hisab astronomis. Mengapa pada kasus shalat bisa menggunakan hisab astronomis secara dominan? Jawabnya karena sabab kewajiban shalat dengan sabab kewajiban puasa berbeda. 

Jika kita menelaah nash-nash yang dinyatakan tentang puasa, maka ia akan mendapati hal itu berbeda dari nash-nash yang dinyatakan tentang shalat. Misalnya Sabda Rasulullah, 

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِه

“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal.” 
(HR. al-Bukhari dan Muslim)

Adapun nash-nash tentang shalat telah dikaitkan dengan terealisasinya waktu. Misalnya firman Allah Ta'ala,

 أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ

“Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir.” (QS Al-Isra’ [17]: 78)

Jadi shalat bergantung pada terealisasinya waktu. Oleh karenanya, dengan wasilah apa pun kita tetapkan waktu, maka kita harus shalat. Jika kita tidak melakukan pengamatan langsung terhadap matahari dan bayangan benda, tetapi kita menghitungnya secara astronomis, maka shalat telah sah. 

Dari sini kita pahami bahwa sabab puasa adalah terlihatnya hilal (bukan terwujudnya hilal), sedangkan sabab kewajiban shalat adalah terealisasinya waktu dan menyerahkan kepada kita penetapan masuknya waktu tanpa menentukan tata caranya.

Perkataan syaikh Atha’ bin Khalil ketika menyikapi masalah ini penting jadi perhatian,

إنَّ الله سبحانه طلب منا أن نتعبدَّه كما طلب سبحانه، فإن عبدناه بغير ما طلب نكون قد أسأنا حتى ولو ظننا أننا نحسن صنعاً

“Sesungguhnya Allah telah meminta kita untuk beribadah kepadaNya seperti apa yang Dia -Yang Maha Suci- telah memintanya. Maka jika kita beribadah kepadaNya dengan selain apa yang Dia minta, maka kita telah melakukan keburukan meskipun kita telah menduga bahwa kita melakukan kebaikan secara dugaan.”

Jadi, data hisab astronomis sangat urgen dan ini juga sebagai pertanda bahwa pada zaman dulu, para ilmuan muslim telah menemukan ilmu astronomi dengan semangat iman dan ketaatan. Semua dalam kerangka merespon seruan syariat untuk melakukan "iqra'". 

Saat Barat tidak mampu menjawab bagaimana titik temu agama dan sains, kaum muslim sejak berabad-abad telah membuktikan harmonisasi itu dengan mendorong perkembangan sains. Namun "iqra'" tersebut harus dengan "menyebut Nama Tuhanmu Yang Menciptakan". Ujung dari semua pencapaian ilmu pengetahuan tersebut adalah agar kita sujud dan mendekat kepada Allah (Lihat QS. al-Alaq).


Oleh: Ajengan Yuana Ryan Tresna
Mudir Ma'had Khadimus Sunnah Bandung
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar