Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Anggaran Besar Pemilu 2024, Mahalnya Pesta Demokrasi?


Topswara.com -- APBN defisit namun pemilu meminta jatah. Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) diberitakan surplus pada akhir Februari 2022. Sebulan kemudian, di akhir bulan Maret 2022 kondisi APBN tercatat defisit. Hal ini karena perealisasian belanja negara lebih besar sekalipun kinerja pendapatan membaik. Defisit tersebut mencapai Rp 5,81 triliun atau 0,67 persen dari target. 

Pada tahun 2022, APBN tetap ekspansif untuk mengantisipasi Covid-19 sehingga harus dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung pemulihan Ekonomi. Keadaan APBN yang defisit tersebut masih dibebani anggaran sebesar Rp 76,6 triliun yang diajukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk Pemilihan umum (Pemilu) 2024. 

Terkait dengan dukungan infrastruktur, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian menjelaskan adanya pemangkasan anggaran lantaran pemerintah masih bersiaga menghadapi Covid-19, masa pemulihan ekonomi pasca-pandemi, banyaknya program-program strategis nasional dan daerah yang belum selesai, serta adanya pemekaran daerah. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo sempat mengatakan perkiraan anggaran untuk Pemilu 2024 mencapai Rp 110,4 triliun, termasuk alokasi untuk KPU di dalamnya. 

Mahalnya Pesta Demokrasi

Konotasi diksi yang dipilih saja yaitu “pesta demokrasi” sudah menunjukkan suatu acara yang memakan banyak biaya, melibatkan banyak orang, mengorbankan tenaga, pikiran, dan waktu yang tidak sedikit, bahkan nyawa. Istilah demokrasi tidak asing di telinga; yaitu sebuah sistem kufur produk Barat yang berdasarkan dua ide, yaitu (1) kedaulatan di tangan rakyat; (2) rakyat merupakan sumber kekuasaan.  Demokrasi juga merupakan sistem pemerintahan mayoritas. Pemilihan penguasa dan anggota dewan perwakilan diselenggarakan berdasarkan suara mayoritas para pemilih. Semua keputusan-keputusan dalam lembaga tersebut juga berdasarkan pendapat mayoritas.

Demokrasi menyatakan adanya empat macam kebebasan yang bersifat umum, yaitu: (a) kebebasan beragama (freedom of religion); (b) kebebasan berpendapat (freedom of  speech); (c) kebebasan kepemilikan (freedom of ownership); (d) kebebasan berperilaku (personal freedom).  Dari keempat kebebasan inilah dikenal paham liberalisme yang dipropagandakan Barat ke negeri-negeri Islam agar umat Islam melepaskan syariat aturan dari Allah SWT, Sang Mudabbir.

Mengapa pesta demokrasi dikatakan mahal? Fakta membuktikan bahwa biaya pelaksanaan Pemilu 2024 yang diajukan KPU mencapai 76,6 Trilyun. Metode pelaksanaan tidak praktis, tidak efektif dan tidak efisien. Negara Indonesia dengan kekayaan wilayah dan jumlah penduduk mencapai 273,5 juta jiwa, hasil statistik Kemendagri ini tercatat yang memiliki hak pilih dalam Pemilu 2024 mendatang sebesar 206 juta jiwa, data dari Ditjen Dukcapil. 

Dapat dibayangkan betapa pengurusan sejak persiapan, pelaksanaan, dan evaluasinya sangat tidak praktis dan rumit karena harus menjangkau ke seluruh penduduk di seluruh wilayah Indonesia.  Belum lagi dari sisi para caleg, capres dari partai-partai terpilih dan para pendukungnya dengan kampanye-kampanye yang hingar-bingar bak pesta.  

Tentu semua itu tidak gratis, bahkan berlomba-lomba menarik massa dengan bagi-bagi angpao, yang merupakan riswah. Kentara sekali bahwa sistem demokrasi sekuler tidak memiliki standar halal dan haram,  maka suap menyuap pun banyak terjadi. 

Sistem ini juga tidak dapat menjaga akidah karena saat-saat kampanye para caleg banyak yang melakukan ritual-ritual kesyirikan, misalnya datang kepada dukun, menjalankan ritual kungkum, bertapa, membuat sesajen-sesajen dan lain-lain, semuanya adalah kesyirikan. 

Darimana biaya tersebut? Darimana lagi kalau tidak dari APBN yang diambil dari uang rakyat. Maka tidaklah heran jika rezim saat ini menerapkan pajak pada semua sektor kehidupan rakyat, kemudian juga menaikkan semua barang-barang kebutuhan pokok rakyat. Masih banyak lagi kezaliman-kezaliman demokrasi yang hari-demi hari makin membabi buta menyerang rakyat. Ideologi ini gagal menyejahterakan rakyat, malah sebaliknya menyengsarakan rakyat.

Prosedur Praktis Pengangkatan dan Pembaiatan Khalifah 

Metode pengangkatan khalifah murah, sederhana, dan praktis. Uslub dalam pengangkatan khalifah tidak harus sama seperti yang dilakukan para sahabat. Metode tersebut yang penting dapat menyempurnakan pengangkatan khalifah sebelum dibaiat. Hal ini sebagaimana yang pernah terjadi secara langsung pada Khulafaur Rasyidin setelah wafatnya Rasulullah SAW. 

Beliau adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali ra. Seluruh tatacaranya disetujui para Sahabat. Tatacara itu seandainya bertentangan dengan syariah termasuk perkara yang harus diingkari. Sebab, berkaitan dengan perkara terpenting yang menjadi sandaran keutuhan insitusi kaum Muslim dan keberlangsungan pemerintahan yang melaksanakan hukum Islam. 

Dalam Kitab Ajhizah Daulah Khilafah, dijelaskan peristiwa yang terjadi dalam pengangkatan keempat Khalifah itu. Berdasarkan penelitian didapati bahwa sebagian kaum Muslim telah berdiskusi di Saqifah Bani Saidah. Dalam diskusi tersebut mereka yang dicalonkan sebagai Khalifah adalah Saad, Abu Ubaidah, Umar, dan Abu Bakar. 

Umar bin al-Khaththab dan Abu Ubaidah tidak rela menjadi pesaing Abu Bakar kemudian mundur dari pencalonan sehingga pencalonan itu hanya terjadi di antara Abu Bakar dan Saad bin Ubadah saja, bukan yang lain. Dari hasil diskusi itu dibaiatlah Abu Bakar. Kemudian pada hari kedua, kaum Muslim diundang ke Masjid Nabawi, lalu mereka membaiat Abu Bakar di sana. Dengan demikian, baiat di Saqifah adalah baiat in‘iqâd. Dengan itulah Abu Bakar menjadi khalifah kaum Muslim. Sementara itu, baiat di masjid pada hari kedua merupakan baiat taat. 

Suatu saat Abu Bakar merasakan semakin berat sakitnya yang akan mengantarkannya pada kematian. Kala itu perang besar sedang terjadi di Romawi dan Persia, maka Abu Bakar memanggil kaum Muslim untuk meminta pendapat mereka mengenai siapa yang akan menjadi khalifah kaum Muslim sepeninggalnya. 

Dimulailah proses pengumpulan pendapat yang berlangsung selama tiga bulan. Ketika Abu Bakar telah selesai meminta pendapat kaum Muslim dan ia akhirnya mengetahui pendapat mayoritas kaum Muslim, maka Abu Bakar menunjuk Umar yakni mencalonkannya, sesuai dengan bahasa sekarang agar Umar menjadi khalifah setelahnya. 

Apa yang dilakukan Abu Bakar di atas hanya untuk mengetahui aspirasi kaum Muslim saja. Tidak berarti suatu kepastian bahwa suara terbanyak itulah yang menjadi khalifah. Penunjukkan atau pencalonan itu bukanlah merupakan akad pengangkatan Umar sebagai khalifah setelah Abu Bakar. 

Sebab, setelah wafatnya Abu Bakar, kaum Muslim datang ke masjid dan tetap membaiat Umar untuk memangku jabatan kekhilafahan. Ini berarti baiat merupakan metode shahih bahwa Umar sah menjadi khalifah kaum Muslim; tanpa adanya baiat jelas tidak akan sah jabatan kekhalifana Umar. 

Dengan kata lain, bukan dengan proses pengumpulan pendapat kaum Muslim, juga bukan dengan proses penunjukkan oleh Abu Bakar. Seandainya pencalonan oleh Abu Bakar merupakan akad Kekhilafahan kepada Umar tentu tidak lagi diperlukan baiat kaum Muslim. 

Contoh berikutnya, ketika Umar tertikam, kaum Muslim memintanya untuk menunjuk penggantinya, namun Umar menolaknya. Atas desakan kaum Muslin, beliau menunjuk enam orang untuk diajukan sebagai calon kepada kaum Muslim. Beliau menunjuk Suhaib untuk mengimami masyarakat dan untuk memimpin enam orang yang telah dicalonkan itu hingga terpilih seorang khalifah dari mereka dalam jangka waktu tiga hari, sebagaimana yang telah beliau tentukan bagi mereka. 

Umar berkata kepada Suhaib, “.... Jika lima orang telah bersepakat dan meridhai seseorang (untuk menjadi khalifah, peny.), sementara yang menolak satu orang, maka penggallah orang yang menolak itu dengan pedang....” Demikianlah, itu terjadi sebagaimana yang diceritakan oleh ath-Thabari dalam Târîkh ath-Thabari, oleh Ibn Qutaibah pengarang buku Al-Imâmah wa as-Siyâsah yang lebih dikenal dengan sebutan Târîkh al-Khulafâ’, dan oleh Ibn Saad dalam Thabaqât al-Kubrâ. 

Umar menunjuk Abu Thalhah al-Anshari bersama lima puluh orang lainnya untuk mengawal mereka. Miqdad diberi tugas untuk memilih tempat bagi para calon itu untuk mengadakan pertemuan. Kemudian setelah Beliau wafat dan setelah para calon berkumpul, Abdurrahman bin Auf berkata, “....Siapa di antara kalian yang bersedia mengundurkan diri dan bersedia menyerahkan urusannya untuk dipimpin oleh orang yang terbaik di antara kalian?” Semuanya diam. 

Abdurrahman bin Auf berkata lagi, “Aku mengundurkan diri.” Lalu Abdurrahman mulai meminta pendapat mereka satu persatu. Ia menanyai mereka, seandainya perkara itu diserahkan kepada masing-masing, siapa di antara mereka yang lebih berhak. Akhirnya, jawabannya terbatas pada dua orang: Ali dan Utsman. Setelah itu, Abdurrahman mulai merujuk kepada pendapat kaum Muslim dengan menanyai mereka siapa di antara kedua orang itu (Ali dan Utsman) yang mereka kehendaki. 

Ia menanyai baik laki-laki maupun perempuan dalam rangka menggali pendapat masyarakat. Abdurrahman bin Auf melakukannya bukan hanya pada siang hari, tetapi juga pada malam hari. Imam al-Bukhari mengeluarkan riwayat dari jalan al-Miswar bin Mukhrimah yang berkata, “Abdurrahman mengetuk pintu rumahku pada tengah malam, Ia mengetuk pintu hingga aku terbangun. Ia berkata, ‘Aku melihat engkau tidur. Demi Allah, janganlah engkau menghabiskan tiga hari ini yakni tiga malam dengan banyak tidur.’” Ketika orang-orang melaksanakan shalat subuh, sempurnalah pembaiatan Utsman. 

Dengan baiat kaum Muslim itulah Utsman menjadi khalifah, bukan dengan penetapan Umar kepada enam orang di atas. Kemudian Utsman terbunuh. Lalu mayoritas kaum Muslim di Madinah dan Kufah membaiat Ali bin Abi Thalib. Dengan baiat kaum Muslim itu pula Ali menjadi khalifah. 

Dengan meneliti tatacara pembaiatan Khulafaur Rasyidin di atas oleh para sahabat semoga Allah meridhai mereka  jelaslah bahwa orang-orang yang dicalonkan itu diumumkan kepada masyarakat, dan jelas pula bahwa syarat in‘iqâd terpenuhi dalam diri masing-masing calon.  

Kemudian diambillah pendapat dari Ahl al-Halli wa al-’Aqdi di antara kaum Muslim, yaitu mereka yang merepresentasikan umat. Mereka yang merepresentasikan umat ini telah dikenal luas pada masa Khulafaur Rasyidin, karena mereka adalah para sahabat semoga Allah meridhai mereka atau penduduk Madinah. Siapa saja yang dikehendaki oleh para Sahabat atau mayoritas para Sahabat untuk dibaiat dengan baiat in‘iqâd, yang dengan itu ia menjadi khalifah, maka kaum Muslim wajib pula membaiatnya dengan baiat taat. 

Demikianlah proses terwujudnya khalifah yang menjadi wakil umat dalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan. Inilah yang dapat dipahami dari apa yang terjadi pada proses pembaiatan Khulafaur Rasyidin semoga Allah meridhai mereka. 

Ada dua perkara lain yang dapat dipahami dari pencalonan Umar kepada enam orang dan dari prosedur pembaitan Utsman. Dua perkara itu adalah: adanya amir sementara yang memimpin selama masa pengangkatan khalifah yang baru dan pembatasan calon sebanyak enam orang sebagai batasan maksimal. Wallahu’alam


Sumber:

Kitab Ajhizah Daulah Khilafah
https://bit.ly/37gIAM6
https://bit.ly/3xqG40s


Oleh: Setyo Soetrisno
Mubaligah Solo Raya
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar