Topswara.com -- Baru-baru ini kita dikejutkan oleh berita tindak pidana pencabulan oleh seorang guru pesantren yang disinyalir juga sebagai pimpinan pesantren tersebut terhadap santriwatinya di Bandung.
Dalam kasus ini Herry Wirawan alias Herry bin Deden telah tega merenggut kegadisan belasan santriwatinya hingga sembilan anak lahir dan dua lainya tengah mengandung buah kebengisan dari sang guru. Bahkan ada yang sampai hamil dua kali.
Mirisnya lagi, kasus ini sudah dimulai sejak tahun 2016 namun baru terkuak pada Mei 2021. Ironisnya ketika lembaga pendidikan yang seharusnya sebagai tempat menimba ilmu, memberikan teladan yang baik, mengayomi anak didiknya tapi justru merenggut masa depan mereka.
Namun Hukuman apa yang pantas untuk pelaku pemerkosaan tersebut?
Wakil ketua komisi III DPR RI Ahmad Sahroni mengaku geram dengan pemerkosaan yang dilakukan oleh pelaku. Sahroni pun mendesak agar pelaku dihukum seberat-beratnya serta para korban diberikan konseling yang dibutuhkan.
"Ini kejadian luar biasa yang tak masuk di akal sehat kita. Pelaku biadab ini harus dihukum seberat-beratnya atas apa yang dia lakukan. Di sisi lain saya ingin menyoroti tentang pentingnya layanan konseling bagi para korban, mengingat para korban masih dibawah umur. Mereka pasti mengalami trauma yang luar biasa." Ujar Sahroni kepada wartawan, Jumat (10/12/2021)
Lebih dari itu, Sahroni menyambut baik draf Rancangan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang akhirnya akan dibawa ke paripurna DPR selanjutnya akan dibahas bersama DPR dan pemerintah. Menurutnya draf RUU TPKS sudah disetujui oleh delapan fraksi dan akan segera dibawa ke paripurna.
"Ini perkembangan yang sangat baik, namun kita tidak bisa berhenti sampai disahkan. Saya akan meminta pada kepolisian untuk segera mensosialisasikan aturan ini hingga ke bawah dan buat aturan aturan turunan jika diperlukan, agar praktiknya di lapangan betul betul mampu memberantas kekerasan seksual di masyarakat," pungkas legislator asal Tanjung Priok ini.
Lain halnya dengan Majelis Ormas Islam (MOI) yang meminta kepada DPR untuk mengkaji ulang draf RUU TPKS karena seperti Permendikbud nomor 30 yang disinyalir menggunakan paradigma sexual consent dan relasi gender, ternyata dalam RUU TPKS juga mengandung paradigma sexual consent.
Untuk itu MOI menyatakan sikapnya kepada DPR. Pertama, menghimbau kepada DPR untuk melakukan uji publik atas Naskah Akademik (NA) agar tidak terkesan terburu-buru.
Kedua, menghimbau agar DPR menghilangkan seluruh paradigma sexual consent dalam draf RUU TPKS dan kerangka berfikir feminist legal theory sebagaimana pasal 1,4,5,6,7 dan 8.
Ketiga, menolak redaksi yang hanya pada perspektif hak asasi manusia (HAM).
Keempat, mengingatkan DPR tentang amanah Mahkamah Konstitusi atas putusan judisial Review KUHP pasal 284, 285 dan 292 untuk mengisi kekosongan hukum atas tindak pidana kejahatan seksual atau kejahatan kesusilaan. Seharusnya DPR segera mengesahkan RUU KUHP bukan membuat RUU TPKS.
Kelima, menghimbau Badan legislatif dan komisi III DPR saling bekerjasama dalam menyelesaikan RUU KUHP (amanah periode DPR RI 2019) sebagai payung tindak pidana di Indonesia.
Keenam, mengingatkan DPR bahwa RUU TPKS ini berpotensi menjadi landasan hukum oleh kaum feminis radikal dalam mengembangkan pendidikan seks yang aman. Menggunakan kondom, dan sejenisnya kepada murid sejak usia dasar atau sering disebut comprehensive sexual education. Dimana generasi kita diarahkan untuk melihat kehalalan perzinaan dari sudut pandang diluar agama.
Ketujuh, menghimbau agar istilah "kekerasan seksual" diganti dengan "kejahatan seksual"
Kedelapan, menghimbau kepada DPR dan pemerintah untuk memasukkan norma agama dalam RUU TPKS. Serta melibatkan pakar agama yang mewakili seluruh ormas Islam dalam penyusunannya.
Akankah RUU TPKS buah dari pemikiran feminis sekularis akan berbuah manis dengan mampu menyelesaikan masalah seperti kasus pencabulan Herry Wirawan atau kasus-kasus serupa diluar sana. Baik yang sudah terungkap maupun yang belum terkuak? Atau cukupkah usaha yang telah dilakukan MOI untuk menyelesaikan semua kasus ini?
Hukum yang telah dibuat manusia dengan revisi aturan dan berbagai istilah ternyata tak mampu menyelesaikan kasus kekerasan seksual dari zaman dahulu hingga sekarang. Sebaliknya semakin bertambah marak kasus kekerasan seksual dengan varian yang semakin bertambah pula.
Sungguh sejak lebih dari 1400 tahun yang lalu telah ada hukum jitu yang mampu mengatasi kasus serupa sampai ke akar akarnya. Syariat Islam secara kaffah jika ditegakkan maka tak hanya kasus kekerasan seksual, kekerasan pada anak, eksplorasi anak, dan semua kasus akan sirna. Berganti dengan ketenangan, kebahagiaan hidup di dunia. Itulah jaminan dari Sang Maha Kuasa Allah SWT.
Dalam Islam, butuh pembenahan dimulai dari individu, masyarakat dan sistem dalam pemerintahan. Tak bisa hanya satu aspek saja yang harus dibenahi.
Pembinaan Individu Masyarakat
Ketika setiap individu dibina menjadi pribadi yang bertakwa. Memiliki sifat muraqabatullah maka sulit bagi mereka untuk melakukan perbuatan yang melanggar aturan Allah. Dalam hal ini butuh peran negara dalam memfasilitasi ketersediaan tenaga pendidik yang tentunya mempunyai kriteria sesuai kriteria yang telah ditetapkan oleh Allah, di mulai dari pendidikan dasar.
Pada tataran individu, terkait dengan pencegahan kasus kekerasan seksual adalah adanya larangan untuk berbuat zina yang tercantum dalam Al-Qur'an Surat al-Isra ayat 32 yang artinya: "Janganlah kamu mendekati zina. (Zina) itu sungguh suatu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk."
Islam juga mengharamkan perilaku seksual yang tidak pada tempatnya. Seperti anal seks (hubungan seksual melalui dubur), oral seks (hubungan seksual melalui mulut), lesbian (hubungan seksual antara perempuan dengan perempuan), dan homoseks (hubungan seksual antara laki laki dengan laki laki) sesuai Al Quran Surat Al a'raf : 81.
Setelah individu telah terbentuk menjadi individu yang bertakwa, maka dibutuhkan juga pembenahan masyarakat. Fungsinya akan mengingatkan bagi mereka yang melakukan penyimpangan syariat Islam serta mengajak pada ketaatan dalam menjalankannya atau sering disebut aktivitas amar makruf nahi mungkar. Tak hanya mengingatkan individu, masyarakat lain namun juga mengingatkan negara ketika menyimpang dari aturan Allah.
Pada level ini, Islam menetapkan hukum pergaulan untuk menekan angka kekerasan seksual.
Berbeda dengan era kapitalisme, ketika pergaulan bebas, berpacaran, perzinaan, sexual consent, hingga penyimpangan perilaku yang lainya digaungkan, Islam justru melarang praktek tersebut untuk dilakukan. Sehingga menutup kemungkinan terjadinya kekerasan seksual.
Tataran selanjutnya adalah peran negara dalam mencegah kekerasan seksual. Negara berperan sangat penting karena di tangan negaralah semua hukum bisa terlaksana.
Negara dengan departemen penerangannya akan menyaring seluruh tayangan yang layak dilihat dan dinikmati pemirsa. Tayangan yang bisa meningkatkan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Tentunya tayangan pornografi, pornoaksi dan yang serupa dilarang tayang karena jelas dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.
Negara harus memfasilitasi dan menjamin pelaksanaan tersebut serta memberi sanksi yang melanggarnya.
Dalam Islam, sanksi bagi pelaku zina yang sudah menikah adalah rajam yaitu dilempari dengan batu sampai mati. Sedangkan bagi yang belum menikah adalah wajib mendapat dera 100 kali cambuk dan boleh mengasingkannya selama setahun.
Allah SWT berfirman: "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya. Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat,dan hendaklah pelaksanaan hukuman bagi mereka disaksikan oleh sekumpulan orang yang beriman." ( TQS An-Nur : 2)
Adapun sanksi bagi orang yang memfasilitasi orang lain untuk berzina dengan sarana apapun dan dengan cara apapun baik dengan dirinya sendiri atau orang lain akan tetap terkena sanksi.
Menurut Islam sanksi bagi mereka adalah penjara lima tahun dan mencambuknya. Jika orang tersebut adalah suami atau mahramnya maka sanksi akan diperberat menjadi 10 tahun (Sistem Sanksi dalam Islam,238).
Demikian Islam dengan tegas mengharamkan sexual consent, perzinaan dan aktivitas lain yang menyimpang.
Hal ini akan terwujud saat khilafah tegak, sanksi tersebut dapat mencegah (zawajir) masyarakat agar tidak berzina, juga mampu sebagai penebus dosa (jawabir), atau membuat jera para pezina.
Wallahu a'lam bishawwab
Oleh: Sri Fatona W, Amd.
(Pemerhati Sosial)
0 Komentar