Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Omicron Muncul, Masihkah Mempertahankan Sistem Kapitalisme?


Topswara.com -- Pandemi global belum usai. Peningkatan kasus akibat virus Covid-19 di sejumlah negara masih terjadi. Ditambah munculnya varian baru dari virus ini membuat dunia kembali terguncang. Setelah muncul varian Delta, kini muncul varian jenis baru berjuluk Omicron. Disebut-sebut varian Omicron ini muncul pertama kali di Afrika. Akibatnya banyak negara yang meningkatkan kewaspadaan, salah satunya adalah melarang masuk para pelaku perjalanan dari sejumlah perjalanan di Afrika.

Seperti diberitakan, Afrika Selatan melaporkan kasus pertama varian Omicron ke WHO pada 24 November 2021. Dua hari kemudian, atau pada 26 November 2021, WHO langsung mengategorikan SARS-CoV-2 B.1.1.529 sebagai variant of concern atau varian yang perlu diwaspadai (beritasatu.com, 4/12/2021).

Sejumlah ilmuwan menyebutkan bahwa varian Omicron ini dapat menular lebih cepat dibandingkan dengan varian sebelumnya, yakni 4 - 5 kali lebih cepat. Hal ini berdampak mengurangi efektivitas vaksin atau pengobatan Covid-19. 

Tak butuh waktu lama, Omicron telah menyebar di lima benua. Per 3 Desember 2021, sedikitnya ada 27 negara yang sudah melaporkan varian Omicron, tiga diantaranya adalah negara tetangga, Australia, Malaysia, dan Singapura.

Pemerintah Indonesia juga telah meningkatkan kewaspadaan. Diantaranya dengan melakukan pembatasan pelaku perjalanan internasional yang hendak masuk ke wilayah Indonesia.

Jika menilik perjalanan munculnya virus Covid-19 ini, banyak negara yang terlambat dalam menangani penyebarannya. Akibatnya sejumlah negara lumpuh, termasuk pertumbuhan ekonomi melemah. 

Hingga ditemukannya vaksin Covid-19 dan sudah digunakan banyak negara, membuat negara-negara tadi merasa 'aman' dan mulai 'membuka' pintu perekonomian. Akibatnya mereka mulai fokus dengan pertumbuhan ekonomi dengan menerapkan kebijakan new normal life.

Inilah yang menjadi ciri negara-negara pengemban kapitalisme. Saat pandemi belum usai, mereka justru disibukkan dengan pertumbuhan ekonomi, bahkan dalam penanganan pandemi sering terjadi kapitalisasi (baca: mengedepankan materi). 

Sejumlah negara meraup untung dengan 'bisnis' vaksin. Di Indonesia terjadi kapitalisasi tarif tes PCR. Belum lagi adanya sejumlah kasus manipulasi hasil rapid tes, yang tak lepas dari unsur suap.

Terbukti, negara-negara penganut sistem kapitalisme telah gagal menyelesaikan pandemi. Alih-alih menghentikan arus penyebarannya, justru muncul lagi momok varian baru yang berpotensi lebih cepat menyebar. Standar mereka dalam membuat kebijakan adalah materi, yaitu ada tidaknya manfaat yang diraih bukan pada keselamatan nyawa manusia. 

Berbeda dengan sistem Islam. Islam memiliki seperangkat aturan yang mengatur kehidupan. Tentu saja aturan ini datang dari sang Khaliq sekaligus Al Mudabbir (Maha Pengatur), Allah ta'ala. Dalam Islam pun mengatur bagaimana solusi dalam mengatasi pandemi. Dan solusi ini pernah diterapkan oleh Rasulullah Muhammad SAW serta diikuti oleh para khalifah setelahnya. 

Sebagaimana dalam hadist “Dari Siti Aisyah ra, ia berkata, ‘Ia bertanya kepada Rasulullah SAW. perihal tha’un, lalu Rasulullah SAW. memberitahukanku, ‘Zaman dulu, Thaun adalah azab yang dikirimkan Allah  SWT. kepada siapa saja yang dikehendaki oleh-Nya, tetapi Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang beriman. Tiada seseorang yang sedang tertimpa Tha’un, kemudian menahan diri di rumahnya dengan bersabar serta mengharapkan rida ilahi seraya menyadari bahwa Tha’un tidak akan mengenainya selain karena telah menjadi ketentuan Allah Swt. untuknya, niscaya ia akan memperoleh ganjaran seperti pahala orang yang mati syahid.” (HR Ahmad).

Juga hadis “Dari Abdullah bin Amir bin Rabi’ah, Umar bin Khattab ra. menempuh perjalanan menuju Syam. Ketika sampai di Sargh, Umar mendapat kabar bahwa wabah sedang menimpa wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf mengatakan kepada Umar bahwa Rasulullah saw pernah bersabda, ‘Bila kamu mendengar wabah di suatu daerah, maka kalian jangan memasukinya. Tetapi jika wabah terjadi wabah di daerah kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.’ Lalu Umar bin Khattab berbalik arah meninggalkan Sargh” (HR Bukhari dan Muslim).

Ketundukan para pemimpin (khalifah) pada sistem Islam serta apa-apa yang dicontohkan oleh Rasulullah adalah bukti keimanan mereka kepada Allah SWT dan RasulNya. Standar mereka dalam menjalankan pemerintahan adalah halal haram. Dan kepentingan mereka hanyalah untuk menjalankan amanah sebagai 'pelayan' umat. Inilah pemimpin yang lahir dari sistem Islam.

Tak heran, mereka tidak lagi mempertimbangkan masalah ekonomi dalam menyelesaikan pandemi. Bagi mereka nyawa manusia lebih utama dari dunia dan seisinya,
"Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang Mukmin tanpa hak.” (HR. An Nasa’i dan Turmudzi)

Saatnya umat Islam bersatu, mengambil Islam sebagai satu-satunya pengatur kehidupan dan mencampakkan sistem kapitalisme yang telah terbukti gagal dan membawa kesengsaraan umat manusia.

Waallahua'lam bi ash-shawwab

Oleh: Rany Setiani, S.Km.
Sahabat Topswara
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar