Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Tolak Pengarusan Rekontekstualisasi Fikih


Topswara.com -- Kegaduhan kembali terjadi akibat pernyataan seorang pejabat saat pembukaan Annual in International Conference of Islamic Studies/AICIS ke 20, yang diadakan di Surakarta Jawa Tengah dengan tema "Islam in A Changing Global Contex: Rethingking Fiqh Reactualization and Public Policy. Hal ini berpotensi membahayakan pemahaman kaum Muslim. 

Pejabat tersebut menyatakan bahwa norma-norma agama bersifat universal dan tidak berubah. Misalnya keharusan seseorang berusaha mencapai kesempurnaan moral dan spiritual. Atau bisa juga bersikapfleksibel jika dihadapkan pada masalah spesifik yang muncul dalam situasi waktu dan tempat yang selalu berubah.

Selain itu dia juga menyatakan bahwa setiap usaha mendirikan negara Islam al Imamah wl Uzmah universal atau Imamamah Agung juga dikenal sebagai al Khilafah hanya akan menimbulkan bencana bagi umat Islam karena akan ada banyak pihak yang memperebutkan. (ngopibareng.id, 25/10/2021).                    

Pernyataan tersebut merupakan bagian 14 kondisi yang dijelaskan oleh pejabat agama sebagai alasan kuat mengapa perlu adanya rekontekstualisasi fikih di era global. Bahkan dia juga menjelaskan jika dunia membutuhkan sebuah ortodoksi Islam alternatif yang akan dirangkul dan diikuti oleh sebagian besar umat Islam di dunia (antaranews, 24/10/2021).

Hal tersebut sebenarnya sudah menjadi trend sejak lama. Ada kecenderungan menundukkan pemikiran Islam termasuk syariat kepada pemikiran Barat. Seperti pandangan Islam tentang Khilafah pun disesuaikan dengan pemikiran Barat yakni sekularisme.

Dalam tema "Fokus Kontekstualisme Fikih, Adakah?" di Channel YouTube Ustadz Ismail Yusanto Official,  Ahad ( 31/10/2021) disampaikan oleh KH. Siddiq al Jawi, bahwa Barat mempunyai pemikiran bahwa agama harus dipisahkan dari pemerintahan atau politik. Akibat dari proses penundukan terhadap peradaban barat itu menghasilkan penolakan terhadap khilafah.

Memang para pendukung moderasi Islam sering melakukan penafsiran terhadap Al-Qur'an sesuai keinginan mereka dan menjadikan produk hukum Barat berlandaskan sekularisme sebagai pijakan dalam menghukumi suatu fakta. 

Rekontekstualisasi fikih yang diaruskan oleh pemerintah justru memiliki bahaya besar. Sebab kaum Muslim akan menafsirkan Al-Qur'an dan sunah sesuai dengan kepentingan hawa nafsu manusia. Jika hukum Syariat dianggap sebagai ancaman/kurang menguntungkan maka hukum tersebut diotak-atik, dikriminalisasi, dikucilkan hingga dimonsterisasi. 

Sebagai contoh terkait harta waris, pada masa Menag, Munawwir Syadzali yang mau diubah satu banding satu dengan alasan perempuan sudah bekerja. Padahal dalam hukum syariat sudah jelas nash/aturannya bahkan kalau dirunut yang menjadi dasar pembagian waris 1:1 itu adalah hukum perdata Belanda pasal 852 bahwa laki dan perempuan dimungkinkan mendapat hak waris yang sama. Demikian juga dengan ajaran khilafah yang jelas-jelas ajaran Islam namun ditolak mentah-mentah karena mengancam posisi pemilik status quo.

Dalam Islam sebagaimana yang telah masyhur diketahui kaum Muslim memiliki metode yang khas dalam menggali hukum yaitu dengan metode Ijtihad. Ijtihad adalah proses menggali hukum yang baru dari nash-nash Al-Qur'an untuk menghukumi fakta atau kondisi yang baru ditemukan. 

Ijtihad bukan mengubah hukum yang ada kemudian disesuaikan dengan fakta seperti prinsip rekontekstualisasi. Jika sudah ada penjelasan dari nash maka tidak diperlukan lagi ijtihad. Fikih adalah ilmu tentang hukum syariat yang bersifat praktis. Digali dari dalil-dalilnya yang terperinci bukan hasil dari buah pikiran manusia sebagaimana pendapat filsuf atau pemikir. Fikih sudah berkembang dan dikodifikasi oleh para ulama. 

Fikih Islam telah menjadi body of knowledge yang kukuh secara metodologi. Di dalamnya termasuk konsep terkait pemerintahan atau imamah, jihad, futuhat,  konsep ad darul Islam, darul kufur, darul harbi, ghonimah, fai', jizyah, kharaj dan lain-lain. Inilah kekayaan khazanah fikih kaum Muslim yang sangat luar biasa. Sekaligus menjadi alasan mengapa syariat Islam telah sesuai dengan kondisi zaman baik masa lalu yang berkembang selama 1300 tahun lamanya dan dalam institusi negara khilafah sekarang maupun yang akan datang.

Oleh karena itu yang dibutuhkan kaum Muslim pada saat ini adalah ijtihad ulama dan pengamalan fikih. Bukan fikih alternatif dan rekontekstualisasi fikih. Kaum Muslim harus kokoh dalam pendirian yang bersumber dari Allah SWT yaitu Al-Qur'an dan sunah sehingga memahami ajaran Islam yang sempurna secara kaffah.  Hal ini hanya bisa terwujud ketika semua hukum Islam diterapkan secara sempurna dalam seluruh aspek kehidupan.

Wallahu a'lam bishawwab

Oleh: Soelijah Winarni
(Sahabat Topswara)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar