Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Keji, Inilah Negeri Korupsi


Topswara.com -- Mata boleh saja buta, telinga boleh saja tuli, mulut boleh saja bisu. Namun hati yang sakit, sebab selalu tersakiti tak mungkin lama di sembunyikan. Kelak akan tiba segala unek-unek yang terpendam akan meledak. Sehingga ledakannya menggentarkan tahta kuasa orang-orang tamak.

Mari renungkan satu dari jutaan suara perwakilan, tertuang dalam karya menyadarkan, inilah sepenggal puisi karya Aileen Hanna berjudul "Negeri Korupsi" yang diadopsi langsung dari bukunya, Juang. 

Korupsi. Inilah sebutan untuk negeri ini. Negeri yang hilang identitas diri. Negeri rakus "rezeki". Penguasanya ongkang kaki. Rakyatnya dipecundangi. Bukan lagi sejuta, miliaran dan triliun jadi cipoa. Lakukan demi harta dan tahta. Atau untuk modal bertarung di "ronde" berikutnya. Negeri korupsi, rakyatnya biasa tak makan berhari-hari. Nafasnya tersengal-sengal diikat pajak yang harus tetap dilunasi. Langkah kakinya berat diberi beban berkali-kali. Katanya korupsi harus segera diberantas. Tapi tak pula lekas. Malah tambah bebas. Hukum semakin tak jelas.

Sungguh keji, ngeri, tak punya malu penguasa saat ini. Mau sampai kapan korupsi melanda negeri, mau berapa banyak lagi penguasa yang terjerat hukum pidana karena korupsi? Harus menunggu berapa lama lagi agar rakyat tak dibuat menjerit lapar. Susah, menderita, karena ulah penguasa tamak yang mengincar harta rakyat? Bagaimana rakyat bisa sejahtera? 

Faktanya bukan lagi ilusi. Korupsi memang ada dan marak terjadi, dan data berdasar angka telah menjadi satu bukti yang nyata. Berdasarkan data hasil pengamatan ICW (Indonesia Corruption Watch), jumlah kasus korupsi di Indonesia selama enam bulan pada awal tahun 2021 mencapai 209 kasus. Jumlah tersebut naik dibanding pada periode yang sama ditahun sebelumnya sebesar 169 kasus. 

Dari kasus korupsi ini, nilai kerugian negara terus meningkat. Pada semester 1, 2020 nilai kerugian negara dari kasus korupsi telah mencapai Rp.18,173 triliun. Di semester berikutnya yaitu semester 1 tahun 2021 nilainya mencapai Rp.26, 83 triliun. Itu artinya akibat kasus korupsi, telah terjadi kenaikan kerugian negara sebesar 47,6 persen. Selama empat tahun belakangan ini, nilai kerugian negara kian melonjak, sedangkan upaya penindakan kasus korupsi diambang stagnan.

Sadar ataukah tidak, tindakan korupsi telah menjadi budaya dalam kehidupan orang-orang tamak, bernafsu jahat. Seperti yang kita tahu, banyak dari pelakunya adalah aparatur negara yang berjibaku di pemerintahan negara. Demi meraup keuntungan pribadi, dengan cara tak mau susah, rakyat pun menjadi imbasnya. 

Lihatlah, ketika penguasa berpesta ria dengan limpahan kekayaannya, jauh di sudut terpencil, tak hanya satu, tapi jutaan rakyat menanggung sulitnya mencari penghidupan. Sesuap nasi pun luntang-lantung mendapatkannya. Bekerja sepanjang hari, tanpa kenal lelah beriring keluh, demi keluarga di rumah. Demi bertahan hidup di bawah naungan negeri marak korupsi.

Tak ada kata tidak, semua menyetujui bahwa tindakan korupsi telah menjadi musuh besar kemanusiaan. Korupsi adalah musuh bersama semua masyarakat. Korupsi pantas dianggap kejahatan luar biasa, dengan begitu, korupsi memerlukan usaha yang juga luar biasa untuk memberantasnya. Bukan orang per orang yang harus diubah untuk disadarkan. Akan tetapi upaya tersebut sia-sia jika sistem yang menghakimi masih sistem yang jauh dari kata adil. Bisa saja, kasus korupsi tak kenal selesai dan terus meningkat. Selama sistem yang digunakan bukanlah sistem yang antikorupsi.
Hanya akan menjadi harapan kosong apabila maraknya kasus korupsi diberantas dengan sistem demokrasi sekuler yang korup. 

Oleh sebab itu, pemberantasan korupsi harus diawali dengan meninggalkan sistem yang terbukti korup dan gagal dalam memberantas korupsi. Kemudian dilanjutkan dengan mengambil dan menegakkan sistem yang benar-benar antikorupsi. Itu hanya ada dalam sistem Islam.

Dalam sistem Islam, tak sedikit pun celah terbuka untuk para petinggi negeri yang saling bersekongkol curang dalam memperebutkan jabatan demi kepuasan pribadi. Dalam sistem Islam, hukum yang mengatur manusia, tidak bisa diutak-atik, apalagi ditetapkan sesuka hati oleh penguasa. Sebab hukum yang dipakai bukanlah hukum rancangan manusia sendiri, melainkan hukum yang berasal dari Rabb semesta alam, Allah SWT. 

Hukum tersebut bersumber dari Al-Qur'an dan sunah. Sehingga tidak akan ada lagi undang-undang yang dapat melemahkan pemberantasan korupsi, terlebih melemahkan lembaga pemberantasan korupsi sebagaimana yang terjadi di negeri ini.

Selain itu, sistem yang benar-benar antikorupsi tidak dapat berjalan sendiri. Dibutuhkan aparatur yang benar-benar antikorupsi. Maka, sejauh ini jelas sekali, bahwa kita memerlukan pemimpin atau komandan yang teladan, yang antikorupsi. Memiliki komitmen serius yang tidak diragukan lagi. Komitmennya terlihat jelas dalam ucapan, karakter dan kebijakannya.

Pemimpin seperti itu hanya ada jika sistem Islam yang menjadikan Al-Qur'an dan sunah sebagai pegangan hukumnya. Semua korupsi, kecurangan, pengkhianatan, ketidakadilan, perlahan sirna, berganti kesejahteraan dan rahmat yang menaungi segala penjuru negeri.

Wallahu a'lam bishawwab

Oleh: Najwa Azahra
(Siswi SMA Durrotul Ummah Tangerang)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar