Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Anggaran Fantastis Pemilu, Seberapa Manfaat untuk Rakyat?


Topswara.com -- Pemilu dalam demokrasi adalah momen agung yang tak boleh dilewatkan. Seberapapun rumitnya dan seberapapun banyaknya biaya yang harus dikeluarkan tetap akan diupayakan secara maksimal. Meskipun pandemi yang menghalangi kerumunan masa, tetap dicari cara untuk mengatasinya. Pun jumlah penduduk besar dengan sebaran di ribuan pulau tak menghalangi semangat heroik pengumpulan suara. Segala daya dikerahkan all out.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengusulkan anggaran sebesar Rp 86 triliun untuk membiayai penyelenggaraan Pemilu 2024. Untuk pilkada, anggaran yang diusulkan mencapai Rp 26,2 triliun. (Beritasatu, 19/09/21). Sebuah angka yang fantastis. Belum lagi ongkos politik yang harus dikeluarkan setiap calon. Setiap calon setidaknya harus menyediakan mahar pada parpol pengusung, masih ditambah biaya kampanye yang tentu tidak sedikit.

Pemilu adalah sarana untuk mendapatkan seorang pemimpin baik di tingkat pusat atau daerah termasuk juga anggota legislatif. Namun, apakah besarnya biaya yang dikeluarkan adalah jaminan dihasilkannya pemimpin dan sistem yang berkualitas?

Seleksi Calon Pemimpin dalam Demokrasi

Mahalnya ongkos politik dalam sistem demokrasi menjadikan kepemimpinan menjadi barang mahal. Hanya calon yang berkantong tebal yang bisa maju dalam kontestasi pemilu. Ini saja sudah merupakan seleksi awal yang tidak sehat.

Kompetensi tidak terlalu penting. Banyak jasa konsultan politik yang dapat memoles calon yang tidak kompeten menjadi glowing dengan polesan pencitraan di sana-sini hingga mampu memikat rakyat.

Jikapun seorang calon tidak berkantong tebal, ia bisa mencari pihak lain sebagai sponsor. Jalan pintas ini tentu mengandung resiko yakni hutang jasa yang harus dibayar dikemudian hari jika terpilih. Dia tidak akan independen sebagai pemimpin karena tersandera oleh kepentingan pemilik modal. Dari sini akan muncul celah penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pemilik modal dan kepentingan rakyat pun menjadi tumbal.

Disisi lain ongkos politik yang mahal akan mendorong terjadinya korupsi, sebagai pengganti atas biaya yang dikeluarkan. Maka tak heran mesin politik demokrasi terus menerus memproduksi koruptor. Pejabat menggunakan jaket oranye KPK menjadi pemandangan biasa. 

Pemilu Mahal, Jaminan Sistem Berkualitas?

Cacat bawaan sistem demokrasi adalah menjadikan kedaulatan di tangan rakyat. Rakyat melalui wakilnya berhak untuk membuat aturan berupa undang-Undang. Manusia, seberapapun jeniusnya ketika membuat aturan pastilah memiliki keberpihakan. Misalnya, seseorang yang gemar mengkonsumsi miras tentu tidak akan membuat aturan yang melarang miras meskipun dia tau miras berbahaya bagi dirinya dan masyarakat.

Isi kepala manusia pun berbeda-beda, ada yang kekanan dan kekiri. Sungguh tidak mungkin mengambil satu kata sepakat dari ratusan anggota legislatif, selalu terjadi pro dan kontra terhadap suatu aturan. Solusinya adalah vooting alias penghitungan suara. Siapa yang menguasai parlemen maka merekalah penentunya.

Vooting adalah kegagalan demokrasi membuat keputusan. Bak hukum rimba, siapa kuat dia menang. Tidak ada standar baik buruk, benar salah, yang ada hanyalah adu kuat jumlah suara. Walaupun buruk jika didukung suara mayoritas maka itulah yang diputuskan. Kiranya terbayang didepan mata efek bahaya yang ditimbulkan. 

Kedaulatan di tangan rakyat pun nyatanya hanyalah slogan kosong. Walaupun rakyat protes hingga berdarah-darah namun jika tak sejalan dengan partai penguasa tidak akan digubris. Peran rakyat hanya ketika di bilik suara, itu pun jika suara mereka tak dimanipulasi. Selepas itu pasrah saja menunggu nasib baik. 

Kepemimpinan dan Sistem Politik Islam

Jika demokrasi berasal dari peradaban barat. Maka sesungguhnya Islam telah memiliki metode pemilihan pemimpin dan sistem politik sendiri yang mapan. Metode sederhana, murah namun berkualitas.

Kompetensi seorang pemimpin negara atau khalifah dalam Islam harus memenuhi sejumlah syarat, yakni: muslim, laki-laki, baligh, berakal, mampu dan adil. Metodenya pun tidak harus dengan pemilihan langsung yang melibatkan seluruh rakyat, dapat diwakilkan pada Ahlul halli wal aqdi atau Majelis Umat sehingga tidak memerlukan biaya besar. Adapun pemimpin di tingkat daerah langsung ditunjuk oleh khalifah.

Hal yang paling mendasar dalam aistem khilafah adalah penerapan undang-undang yang berasal dari syariat. Ini adalah jaminan aturan yang terbaik karena berasal dari Zat yang Maha Mengetahui. 

Khalifah hanyalah penerap syariat, sehingga dia tidak berhak menetapkan aturan yang bertentangan dengan syariat. Jika khalifah melanggarnya maka harus dikoreksi hingga dia mencabutnya. Jika dia bersikeras maka dia akan diberhentikan meskipun baru sehari menjabat sebagai khalifah. Karena tegaknya syariat adalah harga mati.

Penerapan syariat Islam ini akan menjadi jaminan kebaikan. Standar peraturannya jelas, tidak bisa ditunggangi pihak manapun dan jaminan keadilan bagi semua rakyat. Ada kah hukum yang lebih baik daripada Syariat?

Allah Swt. berfirman dalam Qs. Al-Maidah: 50

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ 

"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?"

Sesungguhnya petunjuk itu sudah ada di hadapan kita, mengambilnya adalah sebuah kewajiban bagi kaum Muslim dan kebaikan bagi semua manusia. Tidak selayaknya kita mengambil pilihan lain, karena tidak akan membawa kemanfaatan kecuali kemudharatan semata.

Wallahu a'lam bishawwab

Oleh: Ersa Rachmawati
(Pegiat Literasi)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar