Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Petani Lesu, Impor Cabai Diserbu


Topswara.com -- Baru-baru ini viral beredar video seorang petani cabai yang mengamuk dan merusak kebun cabai miliknya. Petani tersebut diduga kesal akibat harga cabai di pasaran turun. Video tersebut diunggah oleh akun Instagram @andreli48, Rabu (4/8) lalu. Lantas video tersebut mengundang reaksi dari berbagai pihak. 

Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Yogyakarta Hempri Suyatna menyayangkan kebijakan adanya impor cabai yang dilakukan pemerintah Indonesia pada saat pandemi. Impor cabai di semester I pada 2021 sebesar 27,851 ton atau senilai Rp 8,58 triliun. Naik 54 persen dibanding tahun 2020 sebesar 18.075 ton. (AYOYOGYA.COM, 29/8/2021)

Negara importir cabai terbesar di Indonesia selama tahun 2021 adalah India dan Cina. India telah memasok cabai sebanyak 24. 606,32 ton atau setara dengan 52,65 juta dollar AS. Sedangkan Cina sepanjang Januari-Juni telah memasok 3.062,54 ton senilai dengan 6,11 juta dollar AS. Selain dari kedua negara tersebut Indonesia juga rutin mengimpor dari Malaysia tercatat sebesar 76,1 ton, dari Spanyol tercatat sebanyak 57,2 ton, dan dari Australia sebanyak 9,1 ton. (Kompas.com, 2/9/2021) 

Padahal menurut data dari Food Agriculture Organization (FAO), Indonesia merupakan negara penghasil cabai terbesar keempat di dunia pada tahun 2018. Selain itu, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) produksi cabai nasional mencapai 2,77 juta ton pada tahun 2020. Jadi, impor cabai yang dilakukan pemerintah saat ini sangat tidak masuk akal bila melihat potensi dan hasil produksi cabai dalam negeri yang melimpah. Terlebih bulan Juli hingga Agustus ini musim panen sayur dan cabai sedang bagus-bagusnya. 

Kini cabai telah resmi dilegalkan menjadi komoditas impor. Anehnya impor dilakukan saat kondisi cabai lokal sedang surplus. Pemerintah berdalih melakukan impor untuk menstabilkan harga. Namun, kebijakan tersebut justru merugikan para petani. Karena, harga cabai lokal justru anjlok di pasaran dan itu tidak seimbang dengan biaya produksi yang telah dikeluarkan. Pemerintah sepertinya hanya berdalih untuk lepas tanggung jawab mengurusi petani. Padahal kebijakan pangan yang tertuang dalam nawacita kedaulatan pangan muaranya adalah peningkatan kesejahteraan kaum petani. 

Sebenarnya negara telah membentuk lembaga-lembaga yang berfungsi mewujudkan ketahanan pangan seperti Bulog dan Kementan. Namun, keberadaan mereka seolah tak berfungsi. Sebagaimana kita ketahui ketahanan pangan di Indonesia masih sangat buruk. Seharusnya lembaga-lembaga seperti itu dioptimalkan perannya untuk mewujudkan slogan “Stop Impor Pangan” yang selama ini digembar-gemborkan oleh negara.  

Sungguh lucunya negeri ini. Di balik slogan-slogan yang seolah menghidupkan kaum petani, para penguasa internal justru sibuk berebut kursi dan jabatan. Sedangkan para mafia kartel terus menguasai bahan pasokan makanan. Rakyat terus dihimpit berbagai persoalan. Para petani yang ingin bangkit di tengah pandemi untuk menyambung hidupnya justru dizalimi oleh penguasa. Rezim demokrasi nyata-nyata telah gagal mengurus pemenuhan kebutuhan rakyat karena lebih berorientasi untuk mengembalikan modal politik dan mempertahankan kursi daripada urusan rakyatnya. 

Oleh karena itu, rakyat butuh pemimpin yang mampu mengayomi dan meriayah. Penguasa yang berkarakter sebagai periayah atau pengurus umat tentu akan membentuk kebijakan yang memanfaatkan potensi negeri ini sebagai negara agraris. Yakni, surga yang tertimbun oleh kekuatan penguasa kapitalis dan tenggelam di kedalaman kezaliman penguasa.

Negara yang kaya dan memiliki segala potensi sumber daya alam yang melimpah justru berada di bawah ketiak antek-antek asing, aseng maupun asong. Wibawa dan kedaulatan bangsa dipandang rendah karena pengelolaan yang tidak tepat guna dan tidak tepat sasaran.

Maka, Indonesia sebagai negara agraris rasanya sangat tidak tepat bila terus melakukan impor pangan. Kini saatnya negara harus berani mengambil tindakan dan menghentikan impor produk pangan untuk wujudkan kedaulatan pangan. 

Pemanfaatan yang benar akan potensi sumber daya alam ini tentu akan menutup kran ‘banjir impor’ yang mematikan nasib para petani. Karena itu hendaknya penguasa menerapkan politik tepat guna dan tepat sasaran. Jangan hanya memandang cabai sebagai komoditas bernilai ekonomi tinggi. Sebaiknya para petani dan konsumen sama-sama memperoleh harga komoditas yang stabil. Selama ini yang terjadi harga di pasaran selalu berubah setiap minggunya. Hal ini tentu sangat tidak pas untuk kemaslahatan kaum petani, pedagang ataupun konsumen. 

Seharusnya pengelolaan sumber daya pangan mengarah pada distribusi di tengah masyarakat. Rakyat juga diberikan perlindungan akan hak dan kesejahteraan kaum petani. Selain itu, terjaminnya kualitas produksi juga harus diperbaiki untuk distribusi yang merata kepada seluruh masyarakat. Negara juga melakukan pengoptimalan lahan untuk pertanian. Dengan pemberian modal tanpa riba, pemberian benih, pupuk, fasilitas budi daya dan teknologi pertanian. Selain itu teknologi pangan dan pengolahan pasca panen juga diperlukan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan ekonomi. Inilah peran negara yang akan mengantarkan ketahanan pangan dalam negeri. 

Namun, itu tidak akan terwujud kecuali dengan penerapan sistem Islam secara kaffah. Karena, hanya daulah khilafah yang mampu meriayah rakyat sebagai bentuk kewajiban yang diberikan Allah kepada penguasa. Para penguasa dalam sistem Islam bekerja atas dasar keimanan dan disertai ruh, yakni kesadaran hubungan antara dirinya dengan Allah SWT. Maka ia akan mencurahkan segala pemikiran, tenaga ataupun harta yang dimiliki untuk kemaslahatan rakyatnya. 

Apakah kita rindu dengan pemimpin yang seperti itu?

Wallahu a’lam bishawab

Oleh: Anisa Alfadilah 
(Sahabat Topswara)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar