Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Refleksi HUT RI: Merdeka dengan Islam


Topswara.com -- Indonesia telah memasuki usia 76 tahun. Euforia perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia masih terasa hingga saat ini. Dalam peringatan HUT RI tahun ini, pemerintah mengusung tema "Indonesia Tangguh Indonesia Tumbuh". Tampak sekali semangat optimisme dibalik tema tersebut. "Indonesia Tangguh menghadapi berbagai krisis yang selama ini menempa," kata Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono pada Kamis (17/6/2021) lalu.

Benar, Indonesia saat ini sedang menghadapi berbagai krisis. Negeri ini memang sudah "merdeka" dari penjajahan fisik, namun Indonesia masih harus menghadapi berbagai penjajahan nonfisik. Bahkan penjajahan jenis ini mampu memberikan pengaruh besar dalam perpolitikan dan arah kebijakan negara. 

Tidak heran jika sering muncul retorika "Sudahkah kita merdeka?" di setiap perayaan kemerdekaan. Pertanyaan ini bukan sekedar omong kosong tanpa makna. Jika kita refleksikan bersama, terdapat banyak indikator yang menjadikan Indonesia belum merdeka seutuhnya.

Pertama, secara ideologi, Indonesia masih terbelenggu dalam jeratan kapitalisme. Ideologi kapitalisme sukses mempengaruhi perpolitikan dan perekonomian Indonesia. Dari aspek politik, terlihat dari arah kebijakan pemerintah yang masih berkiblat pada kepentingan kapitalis (baca: pemegang modal) yang membentuk kekuasaan oligarki. Bukti nyata adalah dari undang-undang yang dihasilkan, seperti UU Omnibus Law Cipta Kerja, UU Minerba, dan lainnya.

Dari aspek ekonomi, sudah sangat jelas adanya liberalisasi dan kapitalisasi ekonomi yang dampaknya dirasakan masyarakat. Bagaimana tidak, isu kemiskinan dan kesejahteraan masih menjadi problem yang tidak pernah tuntas penyelesaiannya. Kebijakan tambal sulam dan pragmatis yang tidak pernah menyentuh akar permasalahan selalu muncul. Dalam pemenuhan kebutuhan pangan, misalnya, pemerintah masih saja bergantung pada impor yang berdampak pada 'lemahnya' produk lokal. Termasuk proyek infrastruktur dan investasi yang berorientasi profit. Serta derasnya TKA yang masuk ke negeri ini menjadi bukti kentalnya pengaruh kapitalisme neoliberal pada aspek ekonomi.

Kedua, budaya dan moral. Sekularisme, liberalisme, hedonisme, dan budaya permisif masih melekat pada masyarakat. Imbas dari 'racun' ini adalah rusaknya generasi bangsa. Menurut Komnas Perlindungan Anak (KPAI) dan Kementerian Kesehatan hasil survei pada 2019 menunjukkan bahwa 62,7 persen remaja Indonesia pernah melakukan hubungan seks bebas atau seks pranikah. 

Ketiga, utang negeri ini semakin berlipat. Indonesia seolah sulit terlepas dari jeratan utang yang terus menggunung. Hal ini menyebabkan Indonesia tidak mandiri dan belum mampu berdikari. Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah sampai akhir Juni 2021 sebesar Rp6.554,56 triliun. Angka tersebut 41,35 persen dari rasio utang pemerintah terhadap PDB. Adapun komposisi utang tersebut terdiri dari pinjaman sebesar Rp842,76 triliun (12,86 persen) dan SBN sebesar Rp5.711,79 triliun (87,14 persen).(Merdeka.com, 24/7/2021).

Ketergantungan Indonesia pada utang luar negeri menjadi bukti bahwa negeri ini masih terjajah. Pasalnya jeratan utang ini memiliki risiko dan konsekuensi besar, hingga mempertaruhkan kekayaan SDA yang diperjualbelikan kepada investor dan negara kreditur.

Krisis di negeri ini juga terlihat dari penyelesaian persoalan pandemi Covid-19. Karut marut kebijakan berdampak pada masih tingginya kasus Covid-19 dan bertambahnya beban yang harus ditanggung rakyat. 
Alhasil, memaknai kemerdekaan janganlah sebatas seremonial tahunan. 

Sistem kapitalis sekuler telah terbukti gagal mewujudkan kemerdekaan hakiki dan hanya menghasilkan pertumbuhan semu serta menjadikan negeri ini semakin rapuh. Padahal negeri ini kaya akan SDA dan memiliki SDM unggul.

Mampukah Indonesia menjadi negara tangguh dan tumbuh? Jika masih berharap pada sistem yang tegak sekarang tentu jauh dari harapan. Untuk itu, mari maknai kemerdekaan dengan perubahan mendasar. Yakni dengan mengubah wajah sistem hari ini, menuju perubahan sistem shahih yang akan mewujudkan perubahan hakiki. Negeri ini membutuhkan penerapan Islam secara utuh dan sistemik. Mengapa?

Dengan penerapan Islam secara sempurna akan mengarahkan manusia pada penghambaan yang benar yakni hanya kepada Allah Yang Maha Esa. Menghamba kepada Allah bermakna ketaatan dan ketundukan secara total kepada hukum Allah di segala aspek kehidupan. Termasuk penerapan syariat Islam dalam bernegara. Penerapan sistem Islam, dalam institusi khilafah, terbukti mampu mewujudkan kegemilangan dan kesejahteraan. 

Dengan sistem Islam, akan terwujud negara tangguh yang telah terbukti di pentas peradaban selama 13 abad lamanya. Kuncinya adalah dengan menerapkan Islam dan syariahnya secara kaffah. Sebagaimana firman Allah"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh nyata kalian" (TQS al-Baqarah [2]: 208).

Waallahu a'lam bishawwab

Oleh: Rani Zalfa
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar